Seseorang yang Diva panggil, langsung mendongakkan kepalanya.
"Ngapain lo disini, Karin?" tanya Diva datar. Ya, ternyata seseorang yang duduk di samping Ayah Aryo adalah Karin. Sahabat Adit dan sekaligus duri di dalam hubungannya.
"Memangnya enggak boleh?" tanya Karin melirik Diva sinis.
"Diva, mau ketemu Adit ya?" tanya Bunda Desi menyela, dia tidak mau ada keributan disini. Walaupun sebenarnya sedari tadi dia sudah gedek ingin mencakar wajah Karin.
"Iya, Bunda," jawab Diva.
Karin yang melihat cara bicara Bunda Desi pun menjadi kesal. Sedari tadi, mereka tidak ada yang mengajaknya berbicara. Sekalipun ada, nada bicara mereka akan ketus, tidak seperti kepada Diva yang lemah lembut.
Gue akan balas lo, Va, Batin Karin tersenyum miring.
"Pa, Adit," ucap Diva meminta Papa Afnan mendorong kursi rodanya mendekati pintu ruangan Adit. Papa Afnan me
"Lo ngomong apa, Bar?" tanya Revan yang samar-samar mendengar ucapan Bara. "Itu ... hidungnya Diva keluar darah," jawab Bara menunjuk darah yang menetes ke lantai. Mendengar ucapan Bara, sontak semuanya langsung mengalihkan pandangannya ke arah Diva yang memejamkan matanya. "Nak," panggil Mama Githa menepuk pipi Diva pelan. "Bawa ke ruangannya, Bang!" perintah Papa Afnan cemas. Dia takut terjadi apa-apa dengan Diva. Apalagi Diva yang baru saja sadar dan langsung mendapat kabar tentang Adit. Tanpa berkata apa pun, Abang Justin langsung berlari kencang, tetapi tetap hati-hati dan diikuti Papa Afnan dan Mama Githa. Sahabat Diva dan Adit yang baru saja akan menyusul, langsung menghentikan langkahnya kala mendengar ucapan dari Karin. "Itu karma karena sudah mengambil Adit dari gue," ucap Karin tersenyum puas. "Karma? Seharusnya yang dapat karma itu lo, karena sudah menjadi orang ketiga di hubungan Adit dan Diva. Lagian dulu lo nolak Adit 'k
Mereka menjadi terdiam dengan kepala yang menunduk, merasa bersalah. Mereka tidak ada pikiran sampai sejauh itu. Jika tahu begini, mungkin mereka akan mengiyakan ajakan Diva tanpa berpikir dua kali."Sorry, Va. Kita enggak tahu," sesal Mira menatap Diva dengan raut sendunya. Dia terus merutuki dirinya sendiri yang kalau berbicara suka asal ceplos.Dada Diva menjadi sesak, air matanya berlomba-lomba untuk keluar. "Apa kalian pikir, gue mau dance itu cuma untuk have fun aja?""Dek, sudah. Mereka lagi capek, belum istirahat dari tadi. Kamu tidur aja yuk!" ajak Abang Justin melerai."Maaf," ucap Diva menghapus air matanya lalu berbaring. Mungkin dengan tidur bisa menenangkan hati dan pikirannya.Setelah memastikan bahwa Diva sudah tertidur lelap, Abang Justin berjalan menuju sofa, tempat para sahabat adiknya berada. Dia merasa tidak enak, padahal mereka telah membantu dia menyelamatkan Diva."Obati dulu luka kalian dan maaf karena ucapan Diva ta
Sudah terhitung satu minggu sejak Diva keluar dari rumah sakit. Semuanya berjalan dengan lancar, sekolah seperti biasa. Namun, yang membedakan adalah tidak ada Adit dan Karin disekitar mereka. Jika Adit masih berada di Singapura, berbeda dengan Karin yang hilang seperti ditelan bumi."Va," panggil Tika. Saat ini mereka sedang berada di sekolah, lebih tepatnya di dalam kelas. Tadi, mereka berangkat terlalu pagi. Itu semua karena Mira yang mengajak berangkat bersama dan menjemput mereka satu-persatu. Kalau kata Mira sih, dia kangen kebersamaan mereka berempat. Jika dulu mereka kemana-mana selalu bersama, berbeda dengan sekarang yang berkumpul hanya ketika di sekolah saja. Apalagi setelah kejadian Diva kemarin, mereka jadi dilarang main."Apa?" tanya Diva yang tersadar dari lamunannya."Lo mikirin apa sih?" tanya Mira penasaran karena sedari tadi Diva terus melamun. Bahkan, ketika mereka berbicara Diva hanya merespon seperlunya, setelah itu kembali melamun. Diva se
Mereka semua langsung memusatkan fokusnya ke seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping Adit. Bahkan Diva sampai membulatkan matanya tidak percaya. Karin, seseorang yang selama seminggu ini tidak ada kabarnya dan sekarang tiba-tiba datang bersama Adit. Apa Karin memang menyusul ke Singapura?"Heh, lo kenapa bisa sama Adit?" tanya Mira mewakili yang lain."Memangnya ada yang salah?" tanya Karin angkuh."Ya salah, dia itu sudah punya pacar," sahut Tika kesal."Oh ya? Coba kalian tanya sendiri sama Adit." Karin menyunggingkan senyum miringnya."Adit, kenapa kamu bisa berangkat sama Karin?" tanya Diva menatap lekat mata tajam Adit."Pacar," jawab Adit singkat.Tubuhnya mematung sejenak. Pasokan oksigen di sekitarnya seakan menipis. Pandangannya mulai memburam, karena air mata yang berlomba-lomba untuk keluar."Maksud kamu apa? Pacar kamu itu
Suara dehaman seseorang membuat mereka langsung menoleh, terutama Diva yang sedang meyakinkan Adit."Lo kalau mau deham bisa lihat kondisi enggak sih?" tanya Diva kesal kepada seseorang yang menurutnya pengganggu dan orang itu adalah Bara."Kok gue sih?" tanya Bara yang tidak terima. Sedangkan Revan dan Daniel yang memang berada di sebelah Bara hanya bisa menahan tawa. Tadi mereka berdua sudah mengingatkan Bara untuk tidak menganggu, tetapi dengan entengnya Bara bilang bahwa dia ingin menjadi host, gila memang."Ya memang salah lo. Gue itu lagi ngomong sama Adit dan dengan seenaknya lo nyela. Kalau mau gabung ya diam, cukup perhatikan, enggak usah pakai deham-deham segala," sungut Diva dengan wajah yang mulai memerah karena emosi. Seharian ini Diva sensitif karena Adit tidak mengenalinya, wajar saja kalau ada yang berbuat salah sedikit saja langsung berkobar."Bar, minta maaf!" perintah Daniel menyenggol l
Ternyata yang datang adalah Adit dan Karin. Mereka langsung menoleh ke arah Diva yang terpaku pada tautan tangan kedua sejoli itu. Kenapa tangan mereka seakan ada lemnya? Terlihat begitu nyaman dan tidak rela untuk dilepas."Kamu kenapa ikut kesini?" tanya Bunda Desi mencoba mencairkan suasana, apalagi setelah melihat tatapan mata Diva yang mengisyaratkan kecemburuan. Dia tidak tega, lagi pula perempuan mana yang akan sanggup melihat kekasihnya berpegangan tangan dengan perempuan lain, tepat di hadapannya."Saya masih kangen sama Adit, Tan," jawab Karin dengan nada manjanya."Heh, Ulat bulu. Seharian di sekolah memang enggak cukup ya? Apalagi itu tangannya sudah mirip cicak, nempel ke tembok terus," ketus Tika menatap tidak suka ke arah Karin. Sejak pertama kali datang, dia sudah tidak suka dengan Karin.Bara dan Revan menundukkan kepalanya menahan tawa, begitu pula dengan Bunda Desi. Ucapan Tika sangat jujur, sangat mewakili mereka."Adit, dia nga
"Jaga ucapan kamu, Adit!" teriak Bunda Desi kesal. Kenapa anaknya menjadi seperti ini? Semua ini pasti ada hubungannya dengan Karin."Bun, enggak papa. Diva memang aneh kok, aneh karena masih mencintai Adit yang jelas-jelas menggoreskan luka paling dalam di hati. Adit, saat ini kamu memang tidak mengingat aku, karena kamu amnesia. Namun itu hanya sementara, suatu saat akan kembali dan aku pastikan kamu menyesal telah mengatakan kalau aku perempuan aneh, murahan yang mau merusak hubungan orang," ucap Diva panjang lebar, bibirnya bergetar menahan tangis yang akan pecah."Bun, Diva pulang dulu ya," pamit Diva mencium punggung tangan Bunda Desi. Kemudian mengambil tasnya yang berada di sofa dan berjalan cepat keluar dari rumah Adit. Dia tidak tahan jika harus berlama-lama disana. Cintanya pada Adit memang masih utuh, tidak berkurang secuil pun. Namun ketika mendengar ucapan Adit, hatinya merasa sakit. Meskipun dia terkenal dengan kesabarannya, tetapi dia juga manusia, sama
Diva berjalan menelusuri koridor menuju kelasnya dengan santai, meskipun di dalam hati dia merasa risih. Sejak kakinya menginjak halaman sekolah, semua mata langsung mengarah padanya. Dia memang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tetapi kalimat penyemangat dan tatapan iba yang mereka tujukan kepadanya membuat sedikit tidak nyaman. Dia senang karena banyak yang peduli dengannya, tetapi hati dia tidak nyaman dengan tatapan iba itu. Entah darimana asalnya, yang jelas berita tentang Adit amnesia sudah menyebar luas di sekolahnya."Diva!" teriak Bara dari arah belakang seraya berlari kecil dengan Daniel dan Revan di belakangnya.Diva menghentikan langkahnya dan menoleh. "Ada apa?" tanya Diva saat mereka bertiga sudah sampai di depannya."Semangat ya! Kita pasti bantu lo untuk mengembalikan ingatan Adit," ujar Bara menepuk bahu Diva pelan. Dia merasa kasihan dengan kisah percintaan Adit dan Diva. Masih beberapa bulan sudah banyak sekali masalah, apalagi sekarang
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s