"WOI!"
Diva melepaskan pelukannya dengan kesal, sangat mengganggu.
"KITA KHAWATIR DAN KALIAN DENGAN TENANGNYA PELUKAN?"
Rupanya yang berteriak adalah Abang Justin. Diva mendengkus kesal, abangnya itu tidak tahu kondisi saja. Dengan langkah lebar Abang Justin menghampiri Diva yang memanyunkan bibirnya.
"Jangan gitu mukanya," tegur Adit.
"Kesal. Lagi enak peluk kamu juga." Muka Diva semakin tertekuk lucu.
"Kamu ini, kita khawatir karena kamu belum pulang. Malah pelukan disini, ayo masuk," ajak Abang Justin menarik tangan Diva.
"Lo enggak mau masuk?" tanya Abang Justin kepada Adit. Meskipun dia sedang kesal dengan sepasang kekasih ini, namun dia masih memiliki rasa sopan. Apalagi Adit sudah mengantarkan Diva pulang dengan selamat.
"Maaf, Bang. Gue langsung pulang aja, nitip salam buat om dan Tante," jawab Adit datar namun sopan.
"Oke. Makasih ya," ucap Abang Justin menarik Diva untuk masuk.
"B
Saat ini Diva sedang tertidur pulas setelah meminum obat penurun panas. Tadi setelah mengetahui bahwa Diva demam, Mama Githa langsung mengambil obat sebelum panasnya semakin tinggi.Papa Afnan dan Abang Justin sedang berada di ruang kerja, membahas surat teror tadi."Pa, isi suratnya?" tanya Abang Justin penasaran."Kamu baca aja sendiri." Papa Afnan menyodorkan kertas yang terdapat noda darah itu ke Abang Justin.Dengan menahan mual, Abang Justin mengambil surat itu. Siapa yang tidak akan mual jika mencium aroma darah yang begitu menyengat.Tangan Abang Justin yang memegang surat menjadi bergetar setelah membaca tulisan yang ada disana. Di takut, kenapa adik kecilnya harus mengalami hal seperti ini?"Pa." Suara Abang Justin seakan tercekat di tenggorokan. Surat ini lebih mengerikan dibandingkan dengan isi kotak hitam tadi."Papa juga sama takutnya, Bang. Mulai sekarang kita harus menjaga Diva lebih ketat," ucap Papa Afnan yang
"Sayang!"Mereka berempat melerai pelukannya, menoleh ke arah pintu yang terdapat Papa Afnan dan Abang Justin dengan napas naik turun. Tidak lupa juga di wajah keduanya tersirat kepanikan. Tadi sewaktu berunding di ruang kerja, Papa Afnan tidak sengaja melihat cctv yang memperlihatkan Diva menangis histeris, alhasil mereka berlari kencang untuk melihat keadaan Diva. Mereka khawatir dan takut terjadi sesuatu dengan putri kesayangan keluarga purnama itu."Sayang," panggil Papa Afnan berjalan mendekati Diva yang masih sesenggukan.Diva tidak menjawab melainkan langsung memeluk tubuh kekar sang Papa, super heronya. Dia selalu merasa aman dan nyaman jika berada di dekapan keluarganya."Cup cup, jangan nangis terus nanti sesak," ucap Papa Afnan mengelus punggung Diva lembut.Brak!"Diva kenapa?" tanya Mama Githa panik yang memasuki kamar dengan membanting pintu."Ma, kaget tahu."Mama Githa tidak mempedulikan ucapan
"Loh, itu," tunjuk Diva kearah motor yang begitu familiar di matanya. Tetapi, seperti ada yang beda, motor itu ditumpangi oleh dua orang berbeda jenis."Lihat apa, Va?" tanya Nisa yang ikut melihat arah pandang Diva."Itu Adit bukan?" tanya Diva memastikan.Ketiga sahabatnya mengangguk, sebenarnya Mira dan Tika sudah melihat Adit terlebih dahulu. Tetapi mereka memilih diam, karena jika Diva melihat akan merasa sakit hati. Namun, tanpa diberi tahu oleh mereka sekalipun ternyata Diva sudah mengetahui dengan sendirinya.Diva tetap memperhatikan kedua sejoli yang sedang bercanda, terlihat seperti pasangan yang bahagia. Dia tidak pernah berangkat sekolah bersama Adit, berbeda dengan Karin yang mulai menjadi murid baru sudah berangkat bersama. Apa sebenarnya Adit hanya menjadikan dia pelampiasan kala Karin ada di tempat jauh? Dengan segera Diva menggelengkan kepala, menepis segala pikiran buruk, dia harus percay
"Ayo ke kantin," ajak Mira yang kesekian kalinya. Sedari tadi dia mengajak sahabatnya ke kantin dan Diva menolak, alasannya menunggu Adit."Mungkin Adit udah di kantin," celetuk Tika."Iya udah, ayo," sahut Diva. Mungkin memang benar apa yang diucapkan Tika, Adit sudah di kantin. Padahal dia berharap Adit akan menjemputnya kesini, seperti awal mereka pacaran. Oh iya, dia lupa kalau Adit sekarang sudah ada Karin."Kenapa enggak dari tadi aja lo ngomong gitu, Jaenab," ucap Mira gregetan.Tika melirik sinis Mira. "Dih, gue juga enggak tahu."Karena kesal mendengar keributan kedua sahabatnya, Nisa langsung saja menarik mereka untuk ke kantin. Mereka suka memancing dan kepancing emosi jika sedang lapar."Diva mana?" tanya Mira saat sadar mereka hanya bertiga."Udah duluan, lo 'kan tahu kalau sahabat lo yang satu itu bucinnya kebangetan," jawab Nisa yang masih m
"Kok kesini?" tanya Diva menatap bingung jalan di depannya."Iya, kita bolos. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," jawab Adit. Dia yang mengerti kebingungan Diva langsung menyingkirkan rumput-rumput yang menutupi pagar. Sebenarnya pagar ini dibuat oleh ketua danger yang pertama, dengan tujuan memudahkan mereka untuk keluar dari sekolah saat keadaan darurat.Diva masih terbengong tidak percaya, ternyata di balik rumput yang sangat rimbun itu terdapat pintu rahasia. Sudah dua kali dia menilai sesuatu dari luarnya dan itu semua dengan orang yang sama, Adit."Hei, ayo. Apa kamu mau terus berdiri disini?" tanya Adit menepuk pelan pundak Diva."Enggak lah, ayo," ajak Diva yang berjalan terlebih dahulu. Dalam hati Diva berharap semoga tidak ada ulat atau semacamnya, apalagi melihat kondisi rumput yang sangat tinggi, bahkan sampai pinggang orang dewasa.Setelah keluar melewati gerbang tadi, Diva melihat sekelilingnya. Ini dimana? Kenapa dia sangat m
"Kalian disini?" tanya Bara yang baru saja keluar dengan membawa mangkok dan dibelakangnya ada Revan serta Daniel.Diva mengangguk dan tersenyum. "Hai, kalian bawa apa?" tanya Diva penasaran saat melihat asap yang mengepul dari mangkok mereka."Ini mie rebus, Va," jawab Revan mendudukkan dirinya di bangku panjang."Makan, Va?" tanya Daniel saat melihat Diva terus memperhatikan mie yang ada di mangkok nya.Diva menoleh ke arah Adit. "Adit, boleh?" tanya Diva dengan puppy eyes nya. Mereka yang melihat menjadi tidak tahan, sangat gemas. Apalagi Bara yang baru saja menyuapkan mie nya sampai tersedak. Gila, sangat imut sekali."Enggak," tolak Adit mentah-mentah menutup mata Diva supaya teman-temannya tidak melihat wajah menggemaskan Diva."Meskipun lo tutup, kita sudah lihat kali, Bos," celetuk salah satu anggota danger tertawa."Adit mau mie itu," rengek Diva."Enggak. Ayo katanya mau ke suatu tempat," ajak Adit mengalihkan p
Rasa bahagia masih hinggap di hati Diva. Dia terus tersenyum, membayangkan kebersamaannya bersama Adit di pantai kemarin. "Loh, ini masih sangat pagi, Nak," ucap Mama Githa saat Diva menuruni tangga dengan seragam yang sudah lengkap. "Enggak papa, supaya Diva bisa santai, Ma," jawab Diva tersenyum. Bukan itu alasan yang sebenarnya, melainkan dia tidak sabar untuk sekolah dan bertemu Adit. Dia sudah berpakaian rapi sejak selesai sholat subuh tadi. "Iya sudah. Lebih baik sekarang kamu duduk aja, Mama mau ke dapur dulu." Mama Githa mengelus rambut Diva yang hari ini dikuncir satu dengan lembut, lalu berjalan menuju dapur untuk membantu bibi memasak. "Iya," jawab Diva mengangguk patuh. Sebenarnya Diva jago memasak, tetapi keluarganya sangat melarang. Takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada putri satu-satunya. Jadi jika Diva ingin memasak sesuatu harus ditemani salah satu keluarganya. Diva menopang dagu dan mendongak, membayangk
"Ini Diva kok lama banget ya?" tanya Nisa gelisah karena jam pelajaran sudah berganti, tetapi Diva tidak kunjung kembali dari toilet."Mungkin Diva ada urusan. Kita tunggu sampai jam istirahat," ucap Mira mencoba menenangkan kedua sahabatnya, meskipun di dalam hatinya sendiri Mira juga sangat khawatir. Jika dia ikut panik, siapa yang akan menenangkan sahabatnya?"Kalau istirahat kita ke toilet ya?" pinta Tika.Mira mengangguk mantap. "Iya."Nisa tidak berhenti bergerak gelisah di tempat duduknya, sesekali matanya melihat ke arah kursi Diva yang ada di sampingnya. Perasaan dia menjadi tidak enak."Berhubung enggak ada guru, kita ke toilet yuk," ajak Nisa. Dia sudah sangat khawatir dengan Diva, ingin memastikan bahwa sahabatnya itu dalam keadaan baik-baik saja.Mira dan Tika mengangguk setuju.Mereka bertiga bergegas menuju toilet. Saat diperjalanan mereka tidak ada yang membuka suara, mereka sibuk menghalau rasa tidak enak di hati. Ses