"Adit!" teriak Karin yang menghentikan pertengkaran antara Adit dan Revan. Saat Adit menoleh ternyata Karin sudah duduk di lantai.
"Kamu kenapa?" Adit dengan sigap membantu Karin berdiri.
Diva dan yang lain hanya memperhatikan apa yang dilakukan keduanya. Hati Diva seakan teriris saat mendengar nada bicara Adit yang begitu lembut, berbeda saat berbicara dengan dirinya tadi. Ada sedikit rasa iri di hati Diva, ingin sekali dia berada di posisi Karin. Jika menjadi sahabat bisa diprioritaskan, dia dengan senang hati lebih memilih menjadi sahabat Adit daripada pacar.
"Aku didorong, Adit," cicit Karin dengan air mata buayanya
Mira langsung memalingkan muka, muak dengan drama sepasang sahabat yang berada di hadapannya ini.
"Siapa?" tanya Adit menatap tajam ke arah sahabatnya.
Mereka kompak menggelengkan kepalanya. Karena mereka memang tidak berbuat apa pun sama Karin.
"Adit, sakit," rengek Karin.
"Gue tanya sekali lagi. Siapa?"
Wajar saja jika seorang sahabat tidak ingin terjadi sesuatu kepada sahabatnya. Mereka terlalu takut untuk melihat salah satu sahabatnya terluka. Dan itu semua yang dirasakan oleh ketiga sahabat Diva. Sewaktu di kantin yang keadaannya banyak orang saja Adit berani berbicara kasar kepada Diva, apalagi sekarang yang hanya berdua.Setelah dibujuk, mereka menjadi yakin untuk meninggalkan Diva bersama Adit."Ada apa?" tanya Diva saat Adit tidak kunjung membuka suara."Aku mau minta maaf," ucap Adit bersungguh-sungguh.Diva menatap mata Adit, berusaha mencari kebohongan. Namun, yang dia dapat adalah sebuah ketulusan dan penyesalan."Karin dimana?" tanya Diva."Kenapa tanya karin?""Kalau ada karin kamu enggak akan ngomong halus seperti ini." Diva sama sekali tidak bermaksud menyindir. Namun memang itu kenyataannya bukan?"Maaf, Va. Karin masih be
"Sekarang kamu boleh ketawa, tetapi jangan keras-keras ya," bisik Diva. Adit menjauhkan kepalanya dari Diva. Merasa geli saat embusan napas Diva tepat di telinganya. "Kenapa?" tanya Diva bingung ketika Adit menggosok-gosok telinganya. "Geli, Va," jawab Adit. "Padahal aku belum selesai ngomong loh," ujar Diva seraya duduk di hadapan Adit. "Kamu enggak bisu, Va. Ngomong biasa aja, enggak usah bisik-bisik segala. Geli!" gerutu Adit. Bukannya merasa kesal, Diva justru tertawa keras. Menurutnya, Adit sangat lucu jika menggerutu seperti itu. Dia memang sengaja mengembuskan napasnya di telinga Adit, untuk mengetes Adit mudah geli atau tidak. Ternyata Adit sangat parah. "Ketawa aja terus sampai ngompol." Adit melirik Diva sinis, rasa kesalnya menambah dua kali lipat. Bukannya meminta maaf, malah tertawa. Kelihatan sekali kalau Diva mengejeknya.
"WOI!"Diva melepaskan pelukannya dengan kesal, sangat mengganggu."KITA KHAWATIR DAN KALIAN DENGAN TENANGNYA PELUKAN?"Rupanya yang berteriak adalah Abang Justin. Diva mendengkus kesal, abangnya itu tidak tahu kondisi saja. Dengan langkah lebar Abang Justin menghampiri Diva yang memanyunkan bibirnya."Jangan gitu mukanya," tegur Adit."Kesal. Lagi enak peluk kamu juga." Muka Diva semakin tertekuk lucu."Kamu ini, kita khawatir karena kamu belum pulang. Malah pelukan disini, ayo masuk," ajak Abang Justin menarik tangan Diva."Lo enggak mau masuk?" tanya Abang Justin kepada Adit. Meskipun dia sedang kesal dengan sepasang kekasih ini, namun dia masih memiliki rasa sopan. Apalagi Adit sudah mengantarkan Diva pulang dengan selamat."Maaf, Bang. Gue langsung pulang aja, nitip salam buat om dan Tante," jawab Adit datar namun sopan."Oke. Makasih ya," ucap Abang Justin menarik Diva untuk masuk."B
Saat ini Diva sedang tertidur pulas setelah meminum obat penurun panas. Tadi setelah mengetahui bahwa Diva demam, Mama Githa langsung mengambil obat sebelum panasnya semakin tinggi.Papa Afnan dan Abang Justin sedang berada di ruang kerja, membahas surat teror tadi."Pa, isi suratnya?" tanya Abang Justin penasaran."Kamu baca aja sendiri." Papa Afnan menyodorkan kertas yang terdapat noda darah itu ke Abang Justin.Dengan menahan mual, Abang Justin mengambil surat itu. Siapa yang tidak akan mual jika mencium aroma darah yang begitu menyengat.Tangan Abang Justin yang memegang surat menjadi bergetar setelah membaca tulisan yang ada disana. Di takut, kenapa adik kecilnya harus mengalami hal seperti ini?"Pa." Suara Abang Justin seakan tercekat di tenggorokan. Surat ini lebih mengerikan dibandingkan dengan isi kotak hitam tadi."Papa juga sama takutnya, Bang. Mulai sekarang kita harus menjaga Diva lebih ketat," ucap Papa Afnan yang
"Sayang!"Mereka berempat melerai pelukannya, menoleh ke arah pintu yang terdapat Papa Afnan dan Abang Justin dengan napas naik turun. Tidak lupa juga di wajah keduanya tersirat kepanikan. Tadi sewaktu berunding di ruang kerja, Papa Afnan tidak sengaja melihat cctv yang memperlihatkan Diva menangis histeris, alhasil mereka berlari kencang untuk melihat keadaan Diva. Mereka khawatir dan takut terjadi sesuatu dengan putri kesayangan keluarga purnama itu."Sayang," panggil Papa Afnan berjalan mendekati Diva yang masih sesenggukan.Diva tidak menjawab melainkan langsung memeluk tubuh kekar sang Papa, super heronya. Dia selalu merasa aman dan nyaman jika berada di dekapan keluarganya."Cup cup, jangan nangis terus nanti sesak," ucap Papa Afnan mengelus punggung Diva lembut.Brak!"Diva kenapa?" tanya Mama Githa panik yang memasuki kamar dengan membanting pintu."Ma, kaget tahu."Mama Githa tidak mempedulikan ucapan
"Loh, itu," tunjuk Diva kearah motor yang begitu familiar di matanya. Tetapi, seperti ada yang beda, motor itu ditumpangi oleh dua orang berbeda jenis."Lihat apa, Va?" tanya Nisa yang ikut melihat arah pandang Diva."Itu Adit bukan?" tanya Diva memastikan.Ketiga sahabatnya mengangguk, sebenarnya Mira dan Tika sudah melihat Adit terlebih dahulu. Tetapi mereka memilih diam, karena jika Diva melihat akan merasa sakit hati. Namun, tanpa diberi tahu oleh mereka sekalipun ternyata Diva sudah mengetahui dengan sendirinya.Diva tetap memperhatikan kedua sejoli yang sedang bercanda, terlihat seperti pasangan yang bahagia. Dia tidak pernah berangkat sekolah bersama Adit, berbeda dengan Karin yang mulai menjadi murid baru sudah berangkat bersama. Apa sebenarnya Adit hanya menjadikan dia pelampiasan kala Karin ada di tempat jauh? Dengan segera Diva menggelengkan kepala, menepis segala pikiran buruk, dia harus percay
"Ayo ke kantin," ajak Mira yang kesekian kalinya. Sedari tadi dia mengajak sahabatnya ke kantin dan Diva menolak, alasannya menunggu Adit."Mungkin Adit udah di kantin," celetuk Tika."Iya udah, ayo," sahut Diva. Mungkin memang benar apa yang diucapkan Tika, Adit sudah di kantin. Padahal dia berharap Adit akan menjemputnya kesini, seperti awal mereka pacaran. Oh iya, dia lupa kalau Adit sekarang sudah ada Karin."Kenapa enggak dari tadi aja lo ngomong gitu, Jaenab," ucap Mira gregetan.Tika melirik sinis Mira. "Dih, gue juga enggak tahu."Karena kesal mendengar keributan kedua sahabatnya, Nisa langsung saja menarik mereka untuk ke kantin. Mereka suka memancing dan kepancing emosi jika sedang lapar."Diva mana?" tanya Mira saat sadar mereka hanya bertiga."Udah duluan, lo 'kan tahu kalau sahabat lo yang satu itu bucinnya kebangetan," jawab Nisa yang masih m
"Kok kesini?" tanya Diva menatap bingung jalan di depannya."Iya, kita bolos. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," jawab Adit. Dia yang mengerti kebingungan Diva langsung menyingkirkan rumput-rumput yang menutupi pagar. Sebenarnya pagar ini dibuat oleh ketua danger yang pertama, dengan tujuan memudahkan mereka untuk keluar dari sekolah saat keadaan darurat.Diva masih terbengong tidak percaya, ternyata di balik rumput yang sangat rimbun itu terdapat pintu rahasia. Sudah dua kali dia menilai sesuatu dari luarnya dan itu semua dengan orang yang sama, Adit."Hei, ayo. Apa kamu mau terus berdiri disini?" tanya Adit menepuk pelan pundak Diva."Enggak lah, ayo," ajak Diva yang berjalan terlebih dahulu. Dalam hati Diva berharap semoga tidak ada ulat atau semacamnya, apalagi melihat kondisi rumput yang sangat tinggi, bahkan sampai pinggang orang dewasa.Setelah keluar melewati gerbang tadi, Diva melihat sekelilingnya. Ini dimana? Kenapa dia sangat m
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s