Rahma tak putus asa, ia terus berusaha menutup daun pintu. Namun pada akhirnya Arjuna mendorong pintu hingga akhirnya terbuka dan hampir saja membuat tubuh Rahma terjatuh andai ia tak berpegangan pada sandaran sofa. "Maaf," lirih Arjuna. Gegas Rahma meraih tubuh mungil yang berada di dalam kereta. Ia menggendongnya sembari mendekap tubuh mungil itu dengan kuat. "Jangan khawatir, aku tidak akan mengambil anakmu." Ucapan Arjuna sedikit membuat Rahma bernapas lega. Namun, ia tak memberikan respon apapun. "Ada yang ingin aku bicarakan dan ini sangatlah penting sekali." Hening. Hanya suara detak jarum jam yang berhasil menelusup kedua gendang telinga keduanya. Arjuna dan Rahma masih bertahan di tempatnya berdiri. Seolah-olah telapak kakinya mengakar kuat di lantai. "Bisa kita duduk, Rahma? Sebentar saja. Hanya 30 menit." "30 menit terlalu lama, 10 menit.""20 menit.""5 m
"Gila! Bisa-bisanya kamu memberikan syarat seperti itu!"Melihat respon lelaki yang ada di hadapannya, membuat Rahma tersenyum samar. "Kalau untuk syarat yang kedua, okelah tak mengapa. Aku akan menurutinya. Bahkan sampai aku mati pun tidak akan mengganggu kalian lagi. Tapi, untuk syarat yang pertama, itu benar-benar sangat berat, Rahma. Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak apa yang kamu minta?" Lagi, Rahma tersenyum samar. Lalu ia menjawab, "Ya aku nggak peduli kamu dapat dari mana. Aku hanya mau tau, uang itu ada dan kamu berikan ke aku untuk membeli satu video klarifikasi seperti yang kamu inginkan itu." Arjuna menggeleng, tak menyangka jika mantan istrinya sedang berusaha memeras dirinya. "Rahma, apa susahnya untuk mengambil video yang durasinya tak lebih dari 1 menit? Tak adakah sedikit pun belas kasihan di hatimu?" "Nggak ada! Walau hanya setitik!" ucap Rahma dengan nada penuh penekanan. Arjuna terkesi
Di sepanjang perjalanan, Arjuna terus merutuk. Kepalanya saat ini benar-benar terasa seperti akan pecah. "Aku benar-benar tidak menyangka, ternyata seperti itulah karakter asli seorang Rahma. Benar-benar manusia berhati batu!"Sungguh, Arjuna adalah definisi manusia tak tau diri. Bisa-bisanya ia menyalahkan Rahma yang enggan membantunya untuk keluar dari jurang yang telah ia ciptakan sendiri. Kendaraan itu mulai melambat saat kemacetan mulai terjadi. Berkali-kali Arjuna memukul setir mobil untuk meluapkan kekesalannya. Tak dipedulikannya ponsel yang ada di dalam sakunya yang terus bergetar. Puluhan menit kemudian, kendaraan yang dilajukan oleh Arjuna memasuki halaman rumah. Dan begitu Arjuna masuk, sepasang matanya mendapati sang istri yang tengah berdiri di teras dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Sejenak Arjuna masih terduduk di atas kursi setelah mobil terhenti. Namun, pada akhirnya ia keluar juga dan melangkah mendekat ke arah sang istri yang menatapnya dengan nyalang
Wanita paruh baya bercelana kulot dengan baju tunik dengan warna senada melangkah keluar rumah. Ia mendekati seorang tukang ojek yang sejak lima belas menit lalu menunggunya di depan rumah. "Lama banget sih, Bu? Waktu itu sangat berharga loh, Bu," sungut tukang ojek itu saat Bu Susan sudah dekat dengannya. Tangan tukang ojek itu mengulurkan sebuah helm. "Halah, nunggu bentar saja kok gitu amat! Kalau nggak aku pakai, belum tentu juga udah dapat orderan!" Bu Susan tak kalah bersungut-sungut. Tukang ojek itu tak menjawab, hanya suara dengkusan yang keluar darinya. Ia pun bergegas menyerahkan helem kepada penumpangnya. Dan, dengan kasar Bu Susan mengambilnya lalu memakaikan benda itu di kepalanya. Tak menunggu lama untuk kendaraan roda dua itu mulai melaju dan membelah jalan raya. Untuk sampai ke rumah Sang mantan menantu, Bu Susan membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dengan mengendarai sepeda motor. Puluhan menit kemudian kendaraan yang ditumpangi oleh Bu Susan berhenti di depan
"Sudah, Nak." Bu Susan mengangguk. "Tapi aku percaya, kamu bukanlah wanita yang mendewakan uang. Ibu percaya kalau kamu perempuan yang begitu baik, berhati lembut dan tidak akan membiarkan sesama saudara merasa sedih," lanjut Bu Susan. "Sebelumnya maaf, Bu. Sekarang, pikiran saya sudah terbuka.""Maksudnya?""Ada uang, apapun akan aku lakukan," ucap Rahma. Terlihat emosi mulai bergejolak di dalam dada Bu Susan, namun cepat-cepat ia berusaha meredamnya. Ia tak ingin rencananya kali ini gagal. "Nak, darimana kami bisa dapatkan uang sebanyak itu? Kamu tau sendiri, kami bukanlah keluarga kaya," ucap Bu Susan memasang wajah semenyedihkan mungkin. Berharap lawan bicaranya itu akan merasa kasihan lalu bersedia untuk membantunya. "Rahma nggak tau dan tak mau tau soal itu, Bu. Kalau kalian memang membutuhkan video itu, maka siapkan dulu uang 500 juta.""Nak ....""Maaf, Bu. Rahma nggak bisa bantu." "Apa ibu harus bersujud di kedua kakimu agar kamu berkenan untuk membantu kami?" Melihat san
"Enak aja. Bagaimana pun juga, kebahagiaan Putri itu juga penting! Jangan egois lah! Semua ini terjadi juga karena kesalahan kamu. Dan satu lagi, misal kami nggak dapat video itu, ya pada akhirnya kamu akan dipecat dari perusahaan! Mau jadi pengangguran?!" Bu Susan tersenyum miring. "Pokok ibu nggak mau tau, kamu harus siapin uang sebanyak itu, syukur-syukur kamu bisa nego tuh Si Rahma.""Lalu darimana Arjuna bisa dapat uangnya, Bu? Ibu jangan membebankan semua pada Arjuna dong!""Soal itu, ibu nggak perduli. Mau jual ginjal kamu sekalipun ya terserah."Arjuna mendengkus, selanjutnya ia melangkah menuju ke arah kamar. Dan begitu pintu ia buka, tak dilihatnya sosok sang istri di dalamnya. "Risa mana, Bu?" "Ibu suruh belanja ke minimarket," seru sang ibu, dan lagi-lagi tanpa menatap ke arah sang putra. Akhirnya, Arjuna pun melangkah masuk setelah menutup kembali pintu kamar. Gegas Arjuna meletakkan tas kerja di atas nakas lalu ia mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. Tangan kanan
"Sebenarnya kenapa? Jangan bikin penasaran gitu dong.""Sebenarnya aku butuh uang 500 juta. Dan ini sangat dan sangat penting sekali," ucap Arjuna dan berhasil membuat kedua bola mata Sisilia mendelik dengan sempurna. "Apa kamu bisa membantuku?" imbuh Arjuna tanpa sedikit pun rasa malu."500 juta? Untuk apa? Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu, Mas? Sejuta dua juta, oke, aku bisa nyari. Tapi ini 500 juta loh!" ucap Sisilia dengan lirih namun penuh dengan penekanan. "Tapi ini benar-benar butuh, Sayang. Keluargaku dalam masalah besar, dan aku harus menyiapkan uang sebanyak itu," ucap Arjuna. Wajahnya memasang wajah semenyedihkan mungkin, berharap wanita yang ada di depannya itu memberikan belas kasihan. "Tapi aku nggak punya uang sebanyak itu, Mas! Darimana aku bisa mendapatkannya? Masa iya aku harus jual toko-toko kueku? Nggak mungkin dong, itu kan sumber keuanganku, Mas." "Apa kamu sudah nggak sayang aku lagi?" Pertany
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 3 sore. Sepasang ibu dan anak itu kini berada di teras rumah. Rendy yang didudukkan pada kursi bayi, sedangkan Rahma berjongkok di hadapan putra semata wayangnya. "Makan yang banyak, Sayang. Biar sehat dan tumbuh kuat," ucap Rahma sembari menyuapi sang buah hati. Sebuah mobil brio berwarna putih berhenti di bahu tepat di depan rumah Rahma. Rahma yang tengah asyik menyuapi sang anak tak menyadarinya. Bahkan, saat pemilik mobil itu keluar lalu melangkah masuk ke halaman rumah, Rahma masih tak menyadarinya. "Permisi," ucap pengendara mobil begitu ia sudah berada di depan teras. Suaranya, sontak saja membuat Rahma menoleh. Dan menyadari adanya orang asing, gegas Rahma berdiri dari posisinya berjongkok. "Ya, Mbak? Ada yang bisa dibantu?" tanya Rahma sembari meraih tubuh Rendy dari tempatnya duduk, lalu ia menggendongnya. "Maaf, Mbak, ada yang ingin saya bicarakan dengan Mbak Rahma." Kening Rahma berkerut. Dari ucapan wanita yang ada di hadapanny
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum