"Besok pagi Juragan Jupri akan melamarmu, tidak ada kata penolakan!" Suara Sang Bapak terdengar begitu tegas. Sedikit pun tak memikirkan bagaimana perasaan sang anak. Risa yang sedang memindahkan sepiring nasi, sayur dan lauk seketika terhenti. Perut yang sedari tadi terasa lapar, kini hilang sudah. Tak ada lagi selera makan. Risa meletakkan sendok sayur dengan kasar, lalu ia menoleh ke arah sang bapak yang tengah duduk di kursi yang sedang lahap menyantap menu sarapan paginya."Bapak ini gila apa gimana sih kok bisa-bisanya menjodohkan Risa dengan lelaki tua, beristri empat pula!" Risa berucap dengan bersungut-sungut. Dan ucapan perempuan itu membuat emosi sang bapak seketika meluap. Namun, sang bapak berusaha mengendalikan perasaannya. Ia berusaha bersikap lembut, barangkali dengan cara seperti itu berhasil membuat sang anak luluh lalu menerima keputusannya. Dihelanya napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara perlahan. "Kebahagiaan itu yang terpenting uang, uang dan uang, Ris. Ti
Setelah selesai berucap, Risa pun melangkah pergi. Wanita itu berjalan dengan lesu menuju kamar. Brak!Risa menutup pintu dengan membantingnya. Hingga ciptakan suara dentuman yang memekakkan gendang telinga akibat beradunya daun pintu dengan dinding kamar. Sejenak ia menyandarkan tubuh di pintu kamar, berusaha meredam emosi dan kekecewaan yang melebur secara bersamaan. Ada yang terasa nyeri di dalam sana. Dihelanya napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara perlahan.Wanita itu pun bergegas mengemasi pakaian yang ia bawa. Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, ia bergegas melangkah keluar kamar. Wanita muda itu pun berjalan menuju meja makan. Begitu sampai, ia melihat sang ibu yang tengah terduduk sembari memijit pelipisnya. Pecahan piring dan butiran-butiran nasi masih berserakan di tempatnya semula. Risa melangkah lebih dekat lagi ke arah sang ibu. "Ibu tidak memberitahukan kepergianku pada bapak kan?" Mendengar suara sang anak, lantas membuat kepala sang ibu terangk
Arjuna pun beranjak dari tempat duduknya, lalu ia pun berucap dengan nada yang keras. "Aku sudah katakan, aku lelaki beristri. Jadi, jangan berharap aku akan menikahimu! Selamanya ... Rahma akan menjadi satu-satunya di hidupku." Seketika saja semua mata tertuju ke arah sumber suara. Lalu, tak menunggu lama pandangan mereka beralih ke arah Sisil yang menatap ke sekeliling. Sebagian orang menyorot Sisil dengan pandangan mencemooh dan menjatuhkan. Bahkan, ada beberapa pengunjung yang tersenyum sinis ke arah Sisil. Wajar saja bukan, sebab kata-kata yang keluar dari bibir Arjuna itu menggema dan terdengar begitu jelas di telinga mereka."Kamu berniat mempermalukan aku?" tanya SisiliaArjuna mencebik. Tanpa memberikan respon, lelaki itu pun melangkah pergi meninggalkan Sisil yang sedang diselimuti oleh rasa malu. "Aku lelah ...," lirih wanita berusia 35 tahun itu. "Setelah ini lihat saja, Mas. Meskipun pada akhirnya aku akan menanggung konsekwensinya, tapi setidaknya aku akan melihatmu hi
Rahma terdiam, ia berpikir bagaimana cara agar bisa masuk ke dalam kamar tersebut. Dan tak menunggu lama tiba-tiba saja ia teringat soal pintu berbentuk bundar yang ukurannya tak begitu besar ada di dinding kamar yang tembus dengan bagian belakang. Bergegas wanita itu melangkah keluar lalu menuju sisi samping rumah. Perempuan itu tampak menelusuri setiap inchi dinding. Mencari dimana keberadaan pintu tersebut. "Dimana pintu itu," lirih Rahma saat ia tak kunjung menemukannya. Tangannya tak berhenti meraba-raba dinding.Rahma berjalan kesana kemari, namun ia tak kunjung menemukannya juga. "Tapi aku yakin, pasti ada akses buat Mas Arjuna keluar masuk kamar Risa. Cctv tidak mungkin salah." Ia pun akhirnya berusaha mengingat-ingat dimana letak lemari Sang Art berdiri. Ia merasa setiap dinding, berharap menemukan sesuatu yang beda pada dinding tersebut. Rahma berjongkok saat ia melihat ada sesuatu yang tertangkap di kedua bola matanya."Apa ini?" lirih Rahma menatap sebuah benang yang u
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul empat sore, waktu dimana Arjuna akan mengakhiri pekerjaannya hari ini. Lelaki berperawakan tampan itu gegas merapikan meja kerjanya–menumpuk kertas yang sedari tadi berserakan–dan mematikan lalu menutup laptop yang sedari tadi menyala di hadapannya. Arjuna menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi setelah mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja kerja. Jemarinya menekan menu buka pada pesan yang dikirim oleh Risa. [Sayang, kalau kesini bawakan makanan ya. Aku lupa tidak membelinya, sedangkan perut terasa begitu lapar.] Di akhir kalimat, Risa membubuhi emotikon dengan wajah yang berderai air mata. Gegas Arjuna pun mengetikkan pesan balasan.[Baik, Sayang. Aku ke sana sekarang ya, tunggu aku.] Arjuna menyelipkan empat emotikon bergambar cium-cium. Setelah memberikan pesan balasan, lelaki itu memasukkan ponsel ke dalam tasnya lalu ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari ruangan kerjanya. Arjuna melang
"Sayang, enakan gini ajalah. Aku nggak usah balik ya. Aku tinggal di sini saja. Kalau pun kemahalan, ya cari perumahan yang minimalis. Gimana?" tanya Risa yang berbaring di atas ranjang dengan lengan Arjuna ia gunakan sebagai bantalnya. Jemari lentiknya menari-nari di atas dada sang kekasih. Risa mendongak, menatap penuh permohonan pada sang kekasih. Ia berharap, jika Arjuna akan menyanggupi permintaannya. Tak bisa dipungkiri, ia sudah merasa lelah karena setiap hari harus menjadi pembantu di rumah kekasihnya sendiri. Andai rasa cinta itu tak benar-benar besar dan ada, tak mungkin Risa mau berada di posisi itu. "Kalau cari perumahan setidaknya harus ada uang mukanya. 50 juta loh. Sabar ya, ini Mas lagi usaha agar proyek bersama tim berhasil." Risa mendengkus kesal. "Kalau kamu ngontrak, kita nggak bisa ketemu setiap waktu. Bukankah kamu menginginkan setiap hari berjumpa walau hanya sekedar menatap saja?" Risa bangkit dari baringnya. Lantas ia pun mendudukkan tubuhnya dengan tubuh
Tak bisa dipungkiri, mendengar ucapan sang istri membuat dada Arjuna terasa berdebar-debar. "Siapa, Sayang? Astaga! Kamu jangan keluar, tetaplah di dalam kamar. Jangan lupa kunci pintu kamar ya. Sekarang Mas langsung pulang." "Iya, Mas. Cepat pulang, aku takut. Apalagi ada bayi. Gimana kalau–""Jangan bicara yang macam-macam. Mas pulang segera, kalau perlu telfon dulu security komplek, biar mereka cek.""Iya, Mas."Panggilan pun diakhiri. Arjuna meletakkan ponsel dengan asal lalu ia pun mulai melajukan kendaraan roda empatnya keluar dari area parkir dan lelaki itu melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. ****Arjuna menghentikan kendaraannya dengan asal. Ia tak memasukkan ke dalam garasi, namun ia berhenti di teras tepat di depan pintu rumah. Ia bergerak keluar dari mobil lalu tergesa-gesa lelaki itu melangkah. Tok!Tok!Arjuna mengetuk pintu beberapa kali dengan kepala yang celingukan–menatap ke segala penjuru untuk mencari seseorang yang katanya sedari tadi mengganggu sa
"Kamu ini aneh banget sih, Mas, tiap bahas soal Risa selalu tingkahnya begitu," ucap Rahma dengan santai sembari melirik ke arah sang suami yang mengusap area bibir yang terkena air. "Begitu gimana? Mas hanya bingung apa yang Mas katakan pada Risa kalau sampai harus dipecat. Bagaimana Mas harus menghadapi keluarganya? Mas kan nggak enak, Sayang," ucap Arjuna setelah berhasil menguasai diri. Ia menatap ke arah sang istri yang tengah menatap fokus ke arah layar ponsel. "Ngapain kamu bingung? Katakan saja kalau sudah tidak cocok, toh kamu nggak pernah pulang kampung kan, jadi gimana kamu mau ketemu dengan keluarga Risa? Ya kan?," ucap Rahma dengan begitu entengnya, membuat Arjuna menggaruk kepalanya yang terasa tak gatal, sebab ia tak tau lagi harus menjawab ucapan sang istri harus bagaimana lagi. Pasalnya setiap kata yang keluar adalah benar."Ya sudah, coba saja hubungi Risa. Siapa tau besok bisa balik." Rahma mengangguk. Setelahnya ia membuka aplikasi WhatsApp lalu mencari nomor sa
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum