Semenjak usia kandungan tujuh bulan. Aku mulai rajin memeriksakan diri ke dokter. Hari itu aku berencana untuk periksa di rumah sakit favorit kami. Setelah mengantri lama, kami pun mendapat giliran. Masuk ke sebuah ruangan bercat putih.
Berbekal hasil USG sebelumnya, akhirnya aku kembali di USG.
"Posisinya sudah bagus, plasenta nya juga udah naik," ujar sang Dokter sambil memutar-mutar sebuah alat yang telah diolesi cairan dingin di atas perutku.
"Jadi gimana, Dok? Apa saya bisa melahirkan di sini?"
Pengalaman saat persalinan Fariz di tempat ini membuatku nyaman dan ingin kembali melahirkan di sini. Namun, jawaban dokter membuatku patah hati.
"Posisi bayi normal, Ibu juga riwayat melahirkan normal semua, sebaiknya cari bidan terdekat saja."
"Kalau pengen lahiran di sini nggak bisa?"
"Boleh, tapi tidak ditanggung sama asuransi. Jadi bayar sendiri. Di Rumah sakit itu khusus untuk yang memiliki kendala, sepe
Aku segera menghubungi Mas Fadil. Memberitahukan bahwa anaknya akan segera lahir.[Aku sudah di klinik, sudah pembukaan empat][Allhamdulilah, aku segera putar balik ke sana]Chat pun berakhir karena sakit di perut mulai terasa kembali. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat beberapa wanita hamil sedang menunggu sambil meringis seperti diriku. Mereka di dampingi suami dan kerabatnya.Aku hanya tersenyum getir melihat diriku yang seorang diri di klinik ini. Selang beberapa menit Ibu datang bersama adik bungsuku."Sudah pembukaan berapa sekarang?" tanya Ibu khawatir."Nggak tahu, belum periksa lagi.""Suami kamu sudah dihubungi?""Sudah."Aku kembali duduk, para petugas klinik tampak memakai APD atau alat perlindungan diri. Aku hamil di masa pandemi menyerang, sebuah penyakit yang datang dari negeri tirai bambu yang telah mewabah ke seluruh wilayah Indonesia. Kami pun diwajibk
Di dalam ruang persalinan bayi sungsang. Dua orang dokter, dua bidan dan dua perawat mengerumuni diri ini. Aku dibaringkan dengan posisi kaki terbuka lebar. Kedua kaki diangkat dan diletakkan di sebuah penyangga, persis seperti di film-film barat.Aku pasrah mengikuti semua perintah Dokter. Mas Fadil dan Ibu terus menemani, menatapku dengan ekspresi cemas, tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka seolah terhipnotis dengan suasana tegang dan kepanikan petugas kesehatan.Dokter kembali berteriak agar aku tidak mengejan. Aku pun juga tidak ingin mengejan, tapi bayi yang ada di dalam sini, terus mendorong untuk keluar."Tahan, Bu. Jangan ngerjain dulu!' hardik seorang Dokter.Aku tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi, hanya mengangguk perlahan dengan isyarat. Tenaga sudah habis untuk menahan bayi agar tidak mendorong keluar." Pakai maskernya!" bentak seorang dokter saat masker yang aku pakai mulai merosot ke bawa
Aku masih terbaring lemah, terkulai di atas ranjang ruang persalinan. Mas Fadil pergi ke ruang bayi, sedangkan ibu sudah pulang ke rumah. Di dalam ruangan itu, hanya ada aku seorang diri. Merasakan sisa-sisa sakit pasca melahirkan. Perut masih terasa mulas dan melilit. Tapi, tidak seorang pun yang datang menghampiri.Netraku mengedar ke sekeliling. Tenggorokan terasa kering, hanya ada teh hangat yang diberikan Ibu di atas nakas yang berada di samping ranjang. Namun, sekedar untuk menggapai plastik teh hangat itu pun , rasanya begitu sulit. Tubuh ini rasanya lemas tak bertulang, untuk begeser demi menggapai teh hangat pun rasanya tidak berdaya.Aku masih menahan sakit, bekas jahitan dan bekas melahirkan. Aku hanya bisa beristigfar di dalam hati, sambil nunggu seseorang datang membantu.Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seorang petugas keamanan datang bersama seorang suster yang membawa berkas-berkas di tangannya. Sang suster dan p
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Perasaan gelisah, memikirkan sang buah hati yang belum mendapatkan setetes pun ASI sedari lahir. Perut tiba-tiba terasa kosong dan perih, tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalam perut pasca melahirkan.Tubuh ini semakin lemah dan lemas. Aku berusaha untuk menggapai kantong plastik yang berisi makanan yang telah dibeli dari toko swalayan oleh Mas Fadil. Tidak tega rasanya untuk membangunkan lelaki yang tampak tidur terlelap itu. Dia sudah capek seharian mengurus diriku dan sang bayi.Aku menatap nanar sepotong roti yang tersisa dan memakannya perlahan, sambil membayangkan bayi kecil yang belum sempat merasakan ASI. Sesaat kemudian, Mas Fadil tampak terbangun dan menatapku heran."Ayah lapar?" tanyaku seraya menatapnya lekat. Ia terlihat mengangguk pelan. Aku pun membagi du potongan roti yang masih tersisa. Kami kelaparan di rumah sakit itu, jangankan untuk penunggu pasien untuk pasiennya pun tidak ada yang diberi
"Lalu, apa Ibu dikasih snack setelah melahirkan?" tanyanya kepadaku."Boro-boro, Pak. Di Kasih minum aja nggak jawabku tegasLelaki berpostur gempal itu kembali melirik tajam ke arah karyawannya." Saya sebagai Direktur Utama Rumah Sakit ini minta maaf atas kelalaian karyawan kami. Tapi alangkah baiknya jika Ibu langsung mengadu ke ke pihak kami langsung. Bisa ke bagian informasi. Kami jadi malu karena ditegur langsung dari atas dan semua rumah sakit yang lain mengetahuinya."Sang Direktur Utama tampak kesal dan menatapku sedikit tajam. Ia mungkin menyayangkan laporanku atas pelayanan rumah sakit yang ia kelola. Akan tetapi, aku hanya ingin memberikan efek jera terhadap seluruh petugas Rumah sakit agar lebih profesional dan tidak menyepelekan pasien.Bukan pertama kalinya pasien yang mengeluh akan buruknya pelayanan rumah sakit tersebut. Sebelumnya banyak yang mengeluh lewat kolom komentar di akun media sosial. Tapi, m
Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan sebuah kandang burung ukuran besar yang dibeli oleh Mas Fadil. Padahal untuk menutupi biaya melahirkan saja, kami harus meminjam uang kepada saudaranya. Entah apa yang dipikirkan lelaki yang sudah memiliki empat orang anak itu.Langkahku terhenti tepat di depan kandang burung."Ini apa, Mas?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi." Oh, itu buat kandang burung. Biar ayah ada kegiatan, nggak mainan HP terus," jawabnya polos tanpa rasa berdosa."Oh, kirain buat kandang apa," sahutku sambil tersenyum tipis.Biarlah Mas Fadil menyalurkan hobi barunya. Daripada harus selalu sibuk dengan gawai, mungkin hobi barunya bisa membuat dia lebih betah di rumah. Aku pun masuk di papah oleh Mas Fadil ke dalam rumah.Di depan pintu, tampak Luna dan Kia berdiri untuk menyambut sang penghuni baru. Aku m
Kehadiran anak ke empat membuat Mas Fadil semakin betah di rumah. Ia pulang tepat waktu dan selalu ikut membantu mengurus bayi kecilku.Hobinya memelihara burung, semakin hari semakin menjadi. Bukan hanya satu atau burung. Kini, ia memiliki hingga dua belas ekor burung yang berharga di atas setengah jutaan.Aku tidak menghalangi atau pun melarang hobi barunya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama burung-burung kesayangan saat berada di rumah dan terlihat lebih jarang bermain gawai. Satu hal yang aku mau, Mas Fadil tidak lagi stalking atau mencari tahu tentang perempuan menakutkan itu.Aku hanya mencoba untuk berpikir positif dan ikut menikmati hobi baru Mas Fadil."Yah, kenapa beli burung banyak-banyak, kan repot ngurusinya?" tanyaku pada suatu malam, saat kami sedang bersantai bersama anak-anak."Nggak repot, kok. Burung-burung itu sebagai per
Pagi-pagi sekali, kami sudah sibuk dan bersiap untuk mengantar si sulung ke pondok. Sebelum mereka masuk pondok, ada acara serah terima dari orang tua murid kepada pihak pondok dan kami harus menghadirinya terlebih dahulu.Barang bawaan telah siap, berjejer di depan teras rumah. Si sulung tampak sudah rapi, memakai gamis abu muda dan hijab dengan warna senada."Ayo, Kak!" ajakku seraya menatapnya nanar.Luna mengangguk dengan ekspresi sedih. Sepertinya gadis kecilku, merasa berat untuk meninggalkan rumah. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, aku pun tidak mau dan tidak tega berpisah dengannya.Namun, ini adalah jalan yang terbaik untuk dirinya agar ia mendapatkan bekal agama untuk mengarungi dunia yang penuh dengan jalan yang menyesatkan.Selama dalam perjalanan, Luna banyak berdiam diri. Ia hanya menatap nanar ke luar jendela. Sedangkan anak ke dua
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya