Kehadiran anak ke empat membuat Mas Fadil semakin betah di rumah. Ia pulang tepat waktu dan selalu ikut membantu mengurus bayi kecilku.
Hobinya memelihara burung, semakin hari semakin menjadi. Bukan hanya satu atau burung. Kini, ia memiliki hingga dua belas ekor burung yang berharga di atas setengah jutaan.
Aku tidak menghalangi atau pun melarang hobi barunya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama burung-burung kesayangan saat berada di rumah dan terlihat lebih jarang bermain gawai. Satu hal yang aku mau, Mas Fadil tidak lagi stalking atau mencari tahu tentang perempuan menakutkan itu.
Aku hanya mencoba untuk berpikir positif dan ikut menikmati hobi baru Mas Fadil.
"Yah, kenapa beli burung banyak-banyak, kan repot ngurusinya?" tanyaku pada suatu malam, saat kami sedang bersantai bersama anak-anak.
"Nggak repot, kok. Burung-burung itu sebagai per
Pagi-pagi sekali, kami sudah sibuk dan bersiap untuk mengantar si sulung ke pondok. Sebelum mereka masuk pondok, ada acara serah terima dari orang tua murid kepada pihak pondok dan kami harus menghadirinya terlebih dahulu.Barang bawaan telah siap, berjejer di depan teras rumah. Si sulung tampak sudah rapi, memakai gamis abu muda dan hijab dengan warna senada."Ayo, Kak!" ajakku seraya menatapnya nanar.Luna mengangguk dengan ekspresi sedih. Sepertinya gadis kecilku, merasa berat untuk meninggalkan rumah. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, aku pun tidak mau dan tidak tega berpisah dengannya.Namun, ini adalah jalan yang terbaik untuk dirinya agar ia mendapatkan bekal agama untuk mengarungi dunia yang penuh dengan jalan yang menyesatkan.Selama dalam perjalanan, Luna banyak berdiam diri. Ia hanya menatap nanar ke luar jendela. Sedangkan anak ke dua
Setelah si sulung masuk ke pondok pesantren. Tidak banyak perubahan di dalam kehidupanku. Hari demi hari dilewati di dalam rumah. Mengurus suami dan anak. Namun, kali ini tugasku semakin banyak karena tidak ada yang membantu.Warna orange sudah tampak mengiasi cakrawala. biasanya Mas Fadil akan memberi kabar bahwa dia telah dalam perjalanan pulang namun hari itu, Mas Fadil kembali susah untuk dihubungi. Padahal hari sudah beranjak malam dan langit sudah semakin gelap.Aku mencoba menghubunginya beberapa kali tapi tidak diangkat. Aku tidak putus asa dan terus menghubungi Mas Fadil sampai ia mengangkatnya. Akhirnya, setelah sepuluh kali panggilan tidak tidak dijawab. Lelaki beranak empat itu menjawab panggilanku.Suara tawa seorang wanita samar terdengar dari balik gawai. Aku terdiam beberapa saat, perasaan kesal dan marah mulai bercokol di dalam hati.[Zahra! Kamu masih di sana?]&n
Sandikala telah nampak menghiasi cakrawala. Pertanda sang raja siang bersiap untuk segera menuju peraduan. Berganti dengan rembulan yang akan menerangi gelapnya malam. Hampir pukul 5.30 tiba-tiba layar benda pipih tampak menyala.Aku segera memeriksanya, sebuah pesan terlihat di benda pipih itu. Sebuah pesan dari Ustazah sekaligus wali kelas Luna. Dada ini sudah berdebar saat membuka pesan tersebut. Takut terjadi masalah kepada si sulung. Aku pun membaca pesan tersebut dengan hati-hati.Sebuah gambar secarik kertas yang difoto oleh ponsel berisikan tulisan Luna. Gadis kecil itu menulis beberapa pesan. Ia meminta beberapa kerudung dengan merek tertentu, cemilan, aneka snack, mie instan, sandal dan beberapa kebutuhan lainnya.Ini bukanlah pertama kalinya di sulung meminta barang untuk kami bawa saat menjenguk. Wajarlah, anak yang baru berusia dua belas tahun, harus hidup mandiri dan terpisah dari kedua or
Si sulung beranjak dari duduknya, kemudian menatap nanar ke arah diriku."Mau ke mana?" tanyaku khawatir."Ke hamam dulu, Mah," sahutnya datar, kemudian pergi meninggalkan kami menuju ke arah toilet.Entah apa yang dipikirkan Mas Fadil hingga ia tega menyakiti hati si sulung yang baru yang baru berusia dua belas tahun itu. Satu hal yang aku takutkan, si sulung menjadi tidak betah dan ingin keluar dari Pondok.Aku melirik ke arah Mas Fadil seraya mengedipkan mata agar ia berhenti untuk memarahi si sulung. Mas Fadil hanya tersenyum tipis dan tampak berhenti berbicara.Sesaat kemudian, Luna kembali dan duduk di sampingku. Matanya masih terlihat merah dengan raut muka sedih. Gadis kecil itu menjadi lebih murung dan diam. Aku merangkulnya seraya mengajak ke ruang administrasi untuk membereskan iuran tiap bulan..Sepanjang jalan,
Di luar langit tampak mendung, awan berjelaga menggantung di cakrawala. Mas Fadil sedang asik bermain bersama burung. Aku duduk santai di ruang tamu. Berselancar di dunia maya. Tiba-tiba mataku terhenti di sebuah postingan milik adik ipar.Adik kandung Mas Fadil itu memposting dirinya bersama seorang wanita yang mengenakan pakaian seksi. Aku segera melihat status istri dari lelaki itu. Dan benarlah dugaan diriku, status galau sang istri cukup menjelaskan prahara yang terjadi di antara keduanya.Sebenarnya, kabar perselingkuhan adik Mas Fadil sudah terdengar semenjak kami berkunjung ke rumah orang tua Mas Fadil beberapa waktu yang lalu. Namun, aku memilih untuk tidak terlalu menanggapinya.Kali ini, dadaku berdesir sakit saat melihat tingkah lelaki yang masih sedarah dengan Mas Fadil itu. Pasalnya, itu bukanlah pengkhianatan yang pertama. Jauh sebelum Mas Fadil mendua hati. Sang adik sudah melakukannya t
Sandikala telah nampak dan menghiasi cakrawala. Mas Fadil belum juga pulang ke rumah. Ia pun tidak memberi kabar seharian ini. Aku mencoba untuk berfikir positif dan melakukan aktivitas yang lain, agar tidak terlalu memikirkannya.Hobi baru mengoleksi tanaman hias membuatku sedikit mengalihkan perhatian dan tidak selalu curiga atau pun berprasangka tidak baik kepada Mas Fadil. Daun-daun dan bunga-bunga yang kuncup berhasil membuat hati ini tenang, setenang air sungai mengalir.Hingga langit sudah nampak gelap pun, Mas Fadil belum juga pulang. Aku masih menikmati kebersamaan bersama koleksi tanaman hias yang baru kubeli beberapa hari yang lalu. Anak-anak sedang asyik menonton televisi sedangkan si kecil tertidur lelap di dalam kamar.Selang beberapa menit, kumandang adzan magrib pun terdengar dari toa surau yang tidak jauh dari rumah. Aku bergegas masuk ke dalam untuk menunaikan kewajibanku kepada Sang K
POV Fadil Tua tahun yang lalu Seorang lelaki yang sudah berusia matang Itu tampak asyik memainkan gawainya di depan sebuah minimarket. Lelaki yang bekerja sebagai supervisor mini market itu baru saja berkenalan dengan seorang wanita yang menarik hatinya. Mereka dipertemukan oleh salah satu bawahan Fadil. Arif namanya, seorang bawahan yang sering menemani dirinya akhir-akhir ini. Fadil yang tinggal jauh dari sang istri kerap merasa kesepian. Arif hadir dan memperkenalkan Fadil ke sebuah dunia yang baru baginya. Dunia malam yang penuh gemerlap. Mulai dari minuman keras hingga wanita-wanita penghibur turut dikecap oleh Fadil. Sebuah kenikmatan sesaat yang membuat imannya semakin terkikis dan tidak bersisa. "Pak, kita ke karokean lagi," ujar Arif yang tiba-tiba datang dan duduk di samping Fadil. "Ok
"Maaf, Ayah janji nggak bakal ngulangin lagi," ucap lelaki itu dengan mata berembun.Zahra bergeming, wanita itu sepertinya masih merasakan sakit di relung hatinya. Lama, menunggu. Suasana hening, hanya isak tangis Zahra yang terdengar sesekali memecah kebekuan di antara keduanya."Ayah memang kotor, menjijikkan," ujar Fadil seraya memukuli tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya."Tampar Ayah? Tampar suami kamu yang menjijikkan ini!"Fadil mengangkat tangan Zahra dan mengibaskan ke wajahnya beberapa kali. Namun, Zahra masih terdiam. Tangan lunglai dan lemas Zahra tidak dapat menimbulkan sakit sedikit pun di wajah Fadil.Lelaki berperawakan sedang itu akhirnya menampar wajahnya sendiri hingga kedua pipi itu berubah menjadi warna merah.Tidak sampai di situ, Fadil berlari menuju ke arah dapur kemudian terdengar suara benda j