Pagi-pagi sekali, kami sudah sibuk dan bersiap untuk mengantar si sulung ke pondok. Sebelum mereka masuk pondok, ada acara serah terima dari orang tua murid kepada pihak pondok dan kami harus menghadirinya terlebih dahulu.
Barang bawaan telah siap, berjejer di depan teras rumah. Si sulung tampak sudah rapi, memakai gamis abu muda dan hijab dengan warna senada.
"Ayo, Kak!" ajakku seraya menatapnya nanar.
Luna mengangguk dengan ekspresi sedih. Sepertinya gadis kecilku, merasa berat untuk meninggalkan rumah. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, aku pun tidak mau dan tidak tega berpisah dengannya.
Namun, ini adalah jalan yang terbaik untuk dirinya agar ia mendapatkan bekal agama untuk mengarungi dunia yang penuh dengan jalan yang menyesatkan.
Selama dalam perjalanan, Luna banyak berdiam diri. Ia hanya menatap nanar ke luar jendela. Sedangkan anak ke dua
Setelah si sulung masuk ke pondok pesantren. Tidak banyak perubahan di dalam kehidupanku. Hari demi hari dilewati di dalam rumah. Mengurus suami dan anak. Namun, kali ini tugasku semakin banyak karena tidak ada yang membantu.Warna orange sudah tampak mengiasi cakrawala. biasanya Mas Fadil akan memberi kabar bahwa dia telah dalam perjalanan pulang namun hari itu, Mas Fadil kembali susah untuk dihubungi. Padahal hari sudah beranjak malam dan langit sudah semakin gelap.Aku mencoba menghubunginya beberapa kali tapi tidak diangkat. Aku tidak putus asa dan terus menghubungi Mas Fadil sampai ia mengangkatnya. Akhirnya, setelah sepuluh kali panggilan tidak tidak dijawab. Lelaki beranak empat itu menjawab panggilanku.Suara tawa seorang wanita samar terdengar dari balik gawai. Aku terdiam beberapa saat, perasaan kesal dan marah mulai bercokol di dalam hati.[Zahra! Kamu masih di sana?]&n
Sandikala telah nampak menghiasi cakrawala. Pertanda sang raja siang bersiap untuk segera menuju peraduan. Berganti dengan rembulan yang akan menerangi gelapnya malam. Hampir pukul 5.30 tiba-tiba layar benda pipih tampak menyala.Aku segera memeriksanya, sebuah pesan terlihat di benda pipih itu. Sebuah pesan dari Ustazah sekaligus wali kelas Luna. Dada ini sudah berdebar saat membuka pesan tersebut. Takut terjadi masalah kepada si sulung. Aku pun membaca pesan tersebut dengan hati-hati.Sebuah gambar secarik kertas yang difoto oleh ponsel berisikan tulisan Luna. Gadis kecil itu menulis beberapa pesan. Ia meminta beberapa kerudung dengan merek tertentu, cemilan, aneka snack, mie instan, sandal dan beberapa kebutuhan lainnya.Ini bukanlah pertama kalinya di sulung meminta barang untuk kami bawa saat menjenguk. Wajarlah, anak yang baru berusia dua belas tahun, harus hidup mandiri dan terpisah dari kedua or
Si sulung beranjak dari duduknya, kemudian menatap nanar ke arah diriku."Mau ke mana?" tanyaku khawatir."Ke hamam dulu, Mah," sahutnya datar, kemudian pergi meninggalkan kami menuju ke arah toilet.Entah apa yang dipikirkan Mas Fadil hingga ia tega menyakiti hati si sulung yang baru yang baru berusia dua belas tahun itu. Satu hal yang aku takutkan, si sulung menjadi tidak betah dan ingin keluar dari Pondok.Aku melirik ke arah Mas Fadil seraya mengedipkan mata agar ia berhenti untuk memarahi si sulung. Mas Fadil hanya tersenyum tipis dan tampak berhenti berbicara.Sesaat kemudian, Luna kembali dan duduk di sampingku. Matanya masih terlihat merah dengan raut muka sedih. Gadis kecil itu menjadi lebih murung dan diam. Aku merangkulnya seraya mengajak ke ruang administrasi untuk membereskan iuran tiap bulan..Sepanjang jalan,
Di luar langit tampak mendung, awan berjelaga menggantung di cakrawala. Mas Fadil sedang asik bermain bersama burung. Aku duduk santai di ruang tamu. Berselancar di dunia maya. Tiba-tiba mataku terhenti di sebuah postingan milik adik ipar.Adik kandung Mas Fadil itu memposting dirinya bersama seorang wanita yang mengenakan pakaian seksi. Aku segera melihat status istri dari lelaki itu. Dan benarlah dugaan diriku, status galau sang istri cukup menjelaskan prahara yang terjadi di antara keduanya.Sebenarnya, kabar perselingkuhan adik Mas Fadil sudah terdengar semenjak kami berkunjung ke rumah orang tua Mas Fadil beberapa waktu yang lalu. Namun, aku memilih untuk tidak terlalu menanggapinya.Kali ini, dadaku berdesir sakit saat melihat tingkah lelaki yang masih sedarah dengan Mas Fadil itu. Pasalnya, itu bukanlah pengkhianatan yang pertama. Jauh sebelum Mas Fadil mendua hati. Sang adik sudah melakukannya t
Sandikala telah nampak dan menghiasi cakrawala. Mas Fadil belum juga pulang ke rumah. Ia pun tidak memberi kabar seharian ini. Aku mencoba untuk berfikir positif dan melakukan aktivitas yang lain, agar tidak terlalu memikirkannya.Hobi baru mengoleksi tanaman hias membuatku sedikit mengalihkan perhatian dan tidak selalu curiga atau pun berprasangka tidak baik kepada Mas Fadil. Daun-daun dan bunga-bunga yang kuncup berhasil membuat hati ini tenang, setenang air sungai mengalir.Hingga langit sudah nampak gelap pun, Mas Fadil belum juga pulang. Aku masih menikmati kebersamaan bersama koleksi tanaman hias yang baru kubeli beberapa hari yang lalu. Anak-anak sedang asyik menonton televisi sedangkan si kecil tertidur lelap di dalam kamar.Selang beberapa menit, kumandang adzan magrib pun terdengar dari toa surau yang tidak jauh dari rumah. Aku bergegas masuk ke dalam untuk menunaikan kewajibanku kepada Sang K
POV Fadil Tua tahun yang lalu Seorang lelaki yang sudah berusia matang Itu tampak asyik memainkan gawainya di depan sebuah minimarket. Lelaki yang bekerja sebagai supervisor mini market itu baru saja berkenalan dengan seorang wanita yang menarik hatinya. Mereka dipertemukan oleh salah satu bawahan Fadil. Arif namanya, seorang bawahan yang sering menemani dirinya akhir-akhir ini. Fadil yang tinggal jauh dari sang istri kerap merasa kesepian. Arif hadir dan memperkenalkan Fadil ke sebuah dunia yang baru baginya. Dunia malam yang penuh gemerlap. Mulai dari minuman keras hingga wanita-wanita penghibur turut dikecap oleh Fadil. Sebuah kenikmatan sesaat yang membuat imannya semakin terkikis dan tidak bersisa. "Pak, kita ke karokean lagi," ujar Arif yang tiba-tiba datang dan duduk di samping Fadil. "Ok
"Maaf, Ayah janji nggak bakal ngulangin lagi," ucap lelaki itu dengan mata berembun.Zahra bergeming, wanita itu sepertinya masih merasakan sakit di relung hatinya. Lama, menunggu. Suasana hening, hanya isak tangis Zahra yang terdengar sesekali memecah kebekuan di antara keduanya."Ayah memang kotor, menjijikkan," ujar Fadil seraya memukuli tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya."Tampar Ayah? Tampar suami kamu yang menjijikkan ini!"Fadil mengangkat tangan Zahra dan mengibaskan ke wajahnya beberapa kali. Namun, Zahra masih terdiam. Tangan lunglai dan lemas Zahra tidak dapat menimbulkan sakit sedikit pun di wajah Fadil.Lelaki berperawakan sedang itu akhirnya menampar wajahnya sendiri hingga kedua pipi itu berubah menjadi warna merah.Tidak sampai di situ, Fadil berlari menuju ke arah dapur kemudian terdengar suara benda j
Fadil sempat tercengang untuk beberapa saat. Ia seperti terhipnotis oleh oleh aura misterius dari pemilik wajah cantik cantik itu. Seperti ada yang berbeda di dalam dirinya yang membuat Fadil terpana."Fadil," sahutnya dengan seulas senyum.Fadil menggenggam tangan putih mulus itu lama. Seolah tidak ingin melepasnya lagi. Ia bahkan lupa kalau dirinya sudah memiliki istri yang setia dan tiga orang anak yang lucu."Lama amat salamannya," tukas Arif seraya menyenggol tubuh atasannya."Maaf," ucap Fadil yang segera melepas genggaman tangannya."Bapak suka sama Melati, ya?" tanya Arif sambil berbisik ke telinga Fadil."Ah, ngaco kamu," jawab Fadil seraya mengulum senyum."Nanti aku mintain no teleponnya ya, tenang aja. Dia itu janda, primadona sini. Banyak yang incer, pokoknya jadi rebutan," ujar Arif
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya