Fadil keluar dengan tersenyum sinis, batinnya terasa puas melihat ekspresi wajah kebingungan dari sang istri. Lelaki itu merasa dirinya perkasa bak Arjuna yang diperebutkan banyak wani. Fadil melenggang pergi dan kembali asyik dengan dunianya sendiri.
Zahra segera beranjak dari tempat tidur setelah menyadari perlakuan kasar dari sang suami. Wanita malang itu memunguti pakaian yang telah berserak di lantai dengan tatapan kosong. kalimat yang keluar dari mulut sang suami, begitu melukai harga dirinya sebagai seorang wanita.
Zahra yang naif dan polos, tidak tahu bahwa sang suami telah bermain api di belakangnya. Di mata Zahra, Fadil adalah lelaki shaleh yang tidak mungkin mengumbar hasrat bersama wanita yang bukan muhrim.
Wanita malang itu segera memakai pakaiannya, kemudian berlari mencari sosok lelaki yang meninggalkannya seketika.
"Kenapa? Kenapa ayah seperti itu? Apa Ayah sudah tid
Laju hari mulai merayap perlahan, menuju senja yang selalu datang tepat waktu. Anak-anak bermain di halaman rumah. Zahra menemani mereka sambil menyuapi si kecil Faris. Mereka nampak bahagia, bermain dan becanda ria. Sesekali terdengar gelak tawa dan tangis dari mulut mungil itu. Tiba-tiba Fadil datang menghampiri dan duduk di samping wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu.Fadil menatap ke arah anak-anak dengan tatapan kosong, datar dan tanpa ekspresi. Terlihat jelas di raut wajah itu, walaupun raganya di rumah bersama anak dan istrinya. Namun, jiwanya seolah pergi berkelana entah kemana."Bagaimana, menurutmu jika seorang laki-laki ditakdirkan untuk berpoligami?" tanya Fadil tiba-tiba dengan tatapan kosong ke depan.Zahra yang tadinya tersenyum melihat tingkah anak-anak. Seketika bermuram durja. Wanita itu tersentak, batinnya mulai dipenuhi tanya, sedangkan dadanya mulai terasa memanas. 
Melati menjejali otak Fadil dengan mengirimkan foto-foto vulgarnya kepada laki-laki yang telah menikah itu. Sepertinya janda dua orang anak itu memang sengaja ingin menghancurkan rumah tangga Fadil udah Zahra.Fadil seperti semakin terhanyut dalam dunia yang dibangun oleh Melati. Hasratnya kembali berkonar saat melihat foto-foto vulgar dari sang pujaan hati. Mereka tampak asyik bercanda Ria dan berbincang tentang hal-hal intim di dalam gawai.Tiba-tiba suara derit pintu terbuka terdengar. Zahra berdiri tepat di balik pintu, membuat Fadil sontak melonjak kaget dan menyembunyikan gawai yang sedang ia pegang."Makan dulu, makanannya udah di depan," ujar Zahra dengan menatap heran ke arah sang suami."Iya, nanti nanti aku ke sana," jawab Fadil yang nampak gugup."Ayah lagi ngapain?" tanya Zahra penasaran."Nggak ngapa-ngapain,
Fadil kembali melajukan kendaraan roda empat dengan lebih berhati-hati. Setelah semua masalah dianggap selesai dengan pertanggungjawaban yang tertunda, karena saat itu di dalam dompet Fadil hanya tinggal dua lembar pecahan uang lima puluh ribuan.Dering suara gawai kembali terdengar. Kali ini bukan panggilan dari Zahra. Namun, sebuah panggilkan dari seseorang yang sengaja Fadil samarkan namanya menjadi Staff Administrasi dua.Begitu niatnya, Fadil menyembunyikan selingkuhannya dari sang istri.[Kita jalan ke Mall, ya? Ada yang mau aku beli]Fadil terdiam sejenak. Tangan kekarnya segera merogoh dompet yang ada di dalam saku. Pandangan lelaki itu kabur seketika saat melihat isi di dalamnya yang semakin hari semakin tipis.Di tengah perjalanan, Fadil membelokkan arah mobilnya menuju mini market tempat mereka berkumpul.Lelaki itu bergegas
Fadil menggeser tempat duduknya dan mendekati lelaki tua berambut putih itu. Ia sepertinya ingin meluluhkan hati lelaki tua itu agar bisa lebih mudah mendapatkan sang anak."Bah, ada yang pengen nikahin anak Abah tuh," ujar Susi berseloroh.Semua mata pun tertuju kepada Fadil yang tampak salah tingkah. Lelaki itu itu menatap ke arah sang kekasih hati, kemudian menatap wajah lelaki tua yang duduk di depannya"Jika anak bapak berkenan dan Bapak mengizinkan. Saya mau menikahi anak Bapak," sahut Fadil tanpa ragu."Enggak lah, kamu kan udah punya istri. Ntar ada yang ngelabrak ke sini!" tukas Melati tiba-tiba yang disambut gelak tawa seisi rumah."Makanya jadi suami itu jangan susis. Suami itu kepala bukan ekor," timpal Susi berseloroh.Fadil tersenyum kecut. Lelaki itu menatap sekilas ke arah Melati, kemudian mengedarkan pandan
"Pilih aku atau dia? Aku tidak akan pernah sudi untuk dimadu dengan wanita yang tidak berakhlak," ucap Zahra tegas dengan tatapan lurus ke depan.Fadil terdiam memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jauh di dalam lubuk hatinya. Lelaki yang tengah mengalami puber kedua itu tidak ingin rumah tangga yang telah dibangun berpuluh tahun, hancur dalam dalam sekejap.Namun, di sisi lain, niatnya begitu kuat untuk menikahi Melati. wajah wanita itu seakan telah terekam jelas di dalam sanubari dan selalu terbayang di pelupuk mata. Sulit untuk Fadil terlepas dari bayangan Melati. Seperti harumnya bunga Melati yang selalu membuat penikmatnya terhanyut.Fadil tidak pernah berpikir sedikit pun bahwa masa puber kedua yang sering ia dengar dari teman atau pun saudara benar-benar dialami sendiri dan berakibat fatal hingga menimbulkan masalah yang sangat besar di dalam hidupnya. Ia hanya mengikuti hati yang tengah ter
POV Zahra"Yah mau dibuatkan kopi?" tanyaku seraya menepuk pelan pundak lelaki yang tampak sedang melamun."Yah!"Fadil terdiam tanpa respon untuk beberapa waktu. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya terhanyut."ouh, iya," jawabnya gugup.Aku menatap wajah lelaki yang terlihat memerah itu dengan penuh tanda tanya. Satu hal yang selalu membuat hati ini ragu. Mas Fadil seperti tidak sepenuhnya sadar dan bertaubat. Ia masih sering kali melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Padahal itu adalah hal terpenting untuk seorang muslim.Entahlah, aku tidak berani menegur atau pun menyuruh dia untuk shalat. Hal itu sudah aku lakukan jauh sebelum terjadinya badai di dalam rumah tangga kami. Namun, lelaki itu sepertinya tidak suka jika sang istri mengatur hidupnya. Mungkin harga dirinya terluka jika mendengar nasihat atau tegu
Hari demi hari berlalu. Tidak seindah dan semudah angan di dalam benak. Perbedaan pandangan dan pemahaman hidup sering mewarnai percakapan kami sehari-hari. Luka yang memang belum sembuh. Yang berusaha ku kubur di relung terdalam pun mulai terasa dan nampak ke permukaan. Seperti bom atom yang siap meledak setiap saat. Sedikit saja luka itu tersentuh, rasa sakitnya kembali menyiksa hati ini. Malam belum begitu larut. Aku beranjak dari tempat tidur, setelah menidurkan anak bungsu. Mata ini tertuju kepada Fadil yang tengah asik dengan gawainya di ruang tamu. Aku hanya berdiri sambil memperhatikan raut muka lelaki yang kunikahi itu. Dia tampak serius, terkadang tersenyum tipis di depan layar benda pipih berwarna hitam. Benak ini mulai dipenuhi pikiran negatif. Perasaan takut akan pengkhianatan terulang kembali mulai membebani dada. Akhirnya setelah beberapa menit, kaki ini
Terlalu rumit dan pelik untuk menceritakan pov dari sudut pandang Fadil. Hanya gambaran beberapa bab saja sudut pandang fadil. kembali ke inti cerita.***Hari ini ada acara pembagian raport di sekolah Luna. Mas Fadil tidak bisa ikut karena harus berkerja. Hari Senin pagi, wali santri dan semua penghuni pondok sudah memenuhi masjid jami pondok putra.Aku berangkat seorang diri mengendarai sepeda motor. Netraku mengedar ke sekeliling. Mencari sosok gadis kecilku yang sekarang telah tumbuh menjadi remaja."Assalamualaikum," ucap Luna seraya mencium punggung tangan, diikuti beberapa temannya."Kaka mau HP ya, kalo rengking satu," ucap Luna sambil tersenyum."Emang kaka rengking satu?" Tanyaku sedikit tidak percaya.Gadis manja yang di kerjaannya hanya rebahan dan menonton televisi ketika di rumah. Rasanya, ragu untuk percaya perkataan anak itu."Ih ... beneran mah, kaka rengking satu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Ya udah, lihat aja nanti buktinya," ucapkua masih tidak yakin.Acar