"Pilih aku atau dia? Aku tidak akan pernah sudi untuk dimadu dengan wanita yang tidak berakhlak," ucap Zahra tegas dengan tatapan lurus ke depan.
Fadil terdiam memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jauh di dalam lubuk hatinya. Lelaki yang tengah mengalami puber kedua itu tidak ingin rumah tangga yang telah dibangun berpuluh tahun, hancur dalam dalam sekejap.
Namun, di sisi lain, niatnya begitu kuat untuk menikahi Melati. wajah wanita itu seakan telah terekam jelas di dalam sanubari dan selalu terbayang di pelupuk mata. Sulit untuk Fadil terlepas dari bayangan Melati. Seperti harumnya bunga Melati yang selalu membuat penikmatnya terhanyut.
Fadil tidak pernah berpikir sedikit pun bahwa masa puber kedua yang sering ia dengar dari teman atau pun saudara benar-benar dialami sendiri dan berakibat fatal hingga menimbulkan masalah yang sangat besar di dalam hidupnya. Ia hanya mengikuti hati yang tengah ter
POV Zahra"Yah mau dibuatkan kopi?" tanyaku seraya menepuk pelan pundak lelaki yang tampak sedang melamun."Yah!"Fadil terdiam tanpa respon untuk beberapa waktu. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya terhanyut."ouh, iya," jawabnya gugup.Aku menatap wajah lelaki yang terlihat memerah itu dengan penuh tanda tanya. Satu hal yang selalu membuat hati ini ragu. Mas Fadil seperti tidak sepenuhnya sadar dan bertaubat. Ia masih sering kali melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Padahal itu adalah hal terpenting untuk seorang muslim.Entahlah, aku tidak berani menegur atau pun menyuruh dia untuk shalat. Hal itu sudah aku lakukan jauh sebelum terjadinya badai di dalam rumah tangga kami. Namun, lelaki itu sepertinya tidak suka jika sang istri mengatur hidupnya. Mungkin harga dirinya terluka jika mendengar nasihat atau tegu
Hari demi hari berlalu. Tidak seindah dan semudah angan di dalam benak. Perbedaan pandangan dan pemahaman hidup sering mewarnai percakapan kami sehari-hari. Luka yang memang belum sembuh. Yang berusaha ku kubur di relung terdalam pun mulai terasa dan nampak ke permukaan. Seperti bom atom yang siap meledak setiap saat. Sedikit saja luka itu tersentuh, rasa sakitnya kembali menyiksa hati ini. Malam belum begitu larut. Aku beranjak dari tempat tidur, setelah menidurkan anak bungsu. Mata ini tertuju kepada Fadil yang tengah asik dengan gawainya di ruang tamu. Aku hanya berdiri sambil memperhatikan raut muka lelaki yang kunikahi itu. Dia tampak serius, terkadang tersenyum tipis di depan layar benda pipih berwarna hitam. Benak ini mulai dipenuhi pikiran negatif. Perasaan takut akan pengkhianatan terulang kembali mulai membebani dada. Akhirnya setelah beberapa menit, kaki ini
Terlalu rumit dan pelik untuk menceritakan pov dari sudut pandang Fadil. Hanya gambaran beberapa bab saja sudut pandang fadil. kembali ke inti cerita.***Hari ini ada acara pembagian raport di sekolah Luna. Mas Fadil tidak bisa ikut karena harus berkerja. Hari Senin pagi, wali santri dan semua penghuni pondok sudah memenuhi masjid jami pondok putra.Aku berangkat seorang diri mengendarai sepeda motor. Netraku mengedar ke sekeliling. Mencari sosok gadis kecilku yang sekarang telah tumbuh menjadi remaja."Assalamualaikum," ucap Luna seraya mencium punggung tangan, diikuti beberapa temannya."Kaka mau HP ya, kalo rengking satu," ucap Luna sambil tersenyum."Emang kaka rengking satu?" Tanyaku sedikit tidak percaya.Gadis manja yang di kerjaannya hanya rebahan dan menonton televisi ketika di rumah. Rasanya, ragu untuk percaya perkataan anak itu."Ih ... beneran mah, kaka rengking satu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Ya udah, lihat aja nanti buktinya," ucapkua masih tidak yakin.Acar
Tidak terasa Fariz sudah berumur empat tahun. Bocah itu sudah mulai ceria. Berat dan tinggi badan mulai berangsur normal.Namun, satu hal yang mengganjal di hati. Anak itu lebih senang bermain hanphone atau menonton televisi dari pada bermain di luar.Bukan cuma itu, Fariz mulai berbicara denga logat melayu ala Upin dan Ipin. Film kartun kesayangannya."Yah, gimana Aa, kita masukan ke TK aja ya, biar ada kegiatan, biar punya teman. Nggak main HP terus," ucapku saat kami sedang bersantai di depan teras."Emang Aa umur berapa?" tanya Mas Fadil terlihat kaget."Empat tahun, ampun deh, umur anak sendiri aja lupa," jawabku geram."Ouh.""Kaka Luna, dulu juga masuk TK umur empat tahun.""Ya udah, daftarin aja," balas Mas Fadil memberikan lampu hijau.Mas Fadil sebenarnya lebih menyerahkan urusan anak kepadaku. Ia hanya memberikan ijin saja, selebihnya akan menjadi urusanku sendiri.Aku segera mempersiapkan berkas milik Fariz untuk kelengkapan pendaftaran anak. Tidak sabar rasanya ingin seger
Menginjak bulan Agustus, hati ini semakin berdebar. Tiga belas tahun sudah kami mengarungi bahtera ini.Badai yang menghantam hebat telah kami kami lalui bersama. Namun, ombak dan gelombang terus saja menerjang sepanjang perjalanan.Aku ingin membawa bahtera ini menuju akhir yang bahagia. Sebuah pulau surga yang kekal abadi di dalamnya.Hari itu, kami telah bersiap untuk pergi berlibur ke pantai. Sekalian bersilaturahmi dengan orang tua Mas Fadil yang kabarnya sedang sakit."Udah siap?" Tanya lelaki yang telah rapi itu dengan senyum menyungging."Iya, bentar lagi," jawabku yang masih sibuk mengecek baju dan keperluan anak-anak lainnya."Hore, kita ke pantai!" Pekik kia dan Fariz sambil melompat riang.Setelah dirasa sudah cukup dan siap kami pun segera berangkat menuju kota Serang.***Mobil melaju perlahan, menggilas batu kerikil yang berserakan di jalan, kemudian melaju semakin cepat di jalanan aspal yang mulus tanpa hambatan.Kami pergi ke pantai tanpa si sulung. Gadis itu tidak bis
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya