Bulan Ramadhan sudah hampir setengahnya dilalui. Keadaan berangsur mulai membaik. Mas Fadil tidak tampak mengintip ataupun melihat profil si pelakor. Aku sudah bisa bernafas lega dan memulai lembaran yang baru.
Malam itu, seperti biasanya selepas salat tarawih. Kami berkumpul di ruang tamu, membicarakan tentang rencana masa depan dan rencana menghadapi hari raya idul fitri yang sudah semakin dekat.
Anak-anak selalu bersemangat membicarakan baju apa yang akan dibeli di hari raya nanti. Membicarakan rencana mudik ke rumah orang tua Mas Fadil.
Sebenarnya, hati ini masih terluka oleh sikap mereka terhadapku kemarin. Ketidak perdulian mereka terhadap nasib rumah tangga yang sedang di ujung tanduk hingga penerimaan mereka terhadap sang pelakor. Masih terekam jelas di dalam benak dan masih terasa sakitnya di dalam hati.
"Ayah, Ayah aku dapat berapa pasang bajunya?" tanya si sulung bersemangat."Tanya aja sama Mama
Hampir satu jam lelaki itu pergi. Akhirnya ia pulang ke rumah masih dengan wajah ceria. Baru saja Mas Fadil duduk di atas sofa sambil menyandarkan tubuhnya. Tiba-tiba ketiga anakku menghampiri."Ayah, kapan beli baju lebaran?" tanya si sulung penuh pengharapan."Terserah mamah aja," jawab Mas Fadil seraya mengeluarkan dompet dari saku celananya. Kemudian memberikan sejumlah uang berwarna merah kepada diriku."Allhamdulilah, makasih, Ayah," ucapku penuh syukur."Asik, beli baju lebaran!" pekik ketiga anakku nyaring."Kita beli baju sekarang, ya?" tanya Kia dengan rengekan khasnya."Iya, iya, cepet mandi dulu," sahutku dengan tersenyum lebar.Alhamdulillah Allah masih menyayangi kami. Lebaran tahun ini pun, kami masih tetap bisa berkumpul. Anak-anak masih bisa tersenyum lebar bersama kedua orang tuanya. Badai yang sempat menerpa, akhirnya telah berlalu.Hari itu juga kami memu
Hari raya Idul Fitri tinggal menghitung hari.Semua persiapan menuju hari nan suci telah disiapkan. Aku telah Ttngah bersantai di ruang tamu saat itu, bersama Mas Fadil dan juga anak-anak.Seperti biasanya, hari libur, kami habiskan waktu bersama. Hitung-hitung menembus waktu yang terbuang selama Mas Fadil tersesat. Anak-anak tampak sudah lemas walaupun hari masih panjang. Aku menyuruh mereka untuk beristirahat di kamar agar tidak membatalkan puasa.Aku sedang asyik menonton beberapa video lucu di akun di gawai Mas Fadil. Kami menikmati saat-saat kebersamaan yang lama tidak kami rasakan. Canda dan tawa turut meramaikan suasana. Tiba-tiba Mas Fadil izin untuk pergi ke toilet.Aku Yang penasaran dengan aktifitas media sosial Mas Fadil, segera membuka gawai miliknya. Menelusuri akun media sosialnya. Mencari tahu siapa saja di daftar pencarian akun tersebut.Baris pertama, kedua sampai kesepuluh pun tidak ada yang mencurigakan. Ia menca
Semua terlihat baik-baik saja sampai saat ini. Aku mulai menikmati kembali kebersamaan kami bersama anak-anak. Apa lagi yang paling bahagia selain bisa hidup damai dengan orang-orang yang kita cintai.Namun, mungkin aku terlalu egois dan hanya mementingkan perasaan sendiri. Aku baru sadar saat mendapati Mas Fadil beberapa kali tampak melamun.Di dalam benakku, ia sama bahagianya dengan diriku karena bisa berkumpul kembali bersama keluarga. Tapi, ternyata aku salah, lelakiku tampak tidak tulus dan masih menyembunyikan rasa bersalah di dalam hatinya.Ia terlihat melamun di teras rumah. Aku mendekatinya perlahan. Menatap lekat wajah sendu itu."Ayah nggak bahagia bersama kami?" tanyaku dengan menahan sakit di dalam hati.Berat untuk menanyakan sesuatu yang bisa memancingnya kembali ke masa lalu. Mungkin baginya masa lalu itu indah dan tidak terlupakan. Namun, bagiku, itu adalah masa paling kelam di dalam hidup. Ujia
Akhirnya, hari yang dinanti pun tiba. Hari kemenangan untuk seluruh umat islam. Hari nan fitri, di mana semua kesalahan saling membebaskan dengan bermaaf-maafan. Selepas salat Idul fitri. Mas Fadil meminta maaf kepada ibu dan Bapak. Tidak seperti lebaran tahun sebelumnya, lelaki itu tampak berkaca-kaca saat bersalaman dengan kedua orang tuaku."Maaf Bu, Pak," ucapnya lirih, hampir tidak terdengar.Ia memang bukan laki-laki yang pandai merangkai kata untuk mengungkapkan penyesalan atau pun isi hatinya. Hanya perkataan itu yang bisa ia ucapkan kepada kedua orang tuaku."Ia dimaafkan tapi jangan pernah diulangi," ujar Bapak seraya menatap lekat sang menantu.Mas Fadil pun mengangguk sambil tersenyum tipis. Suasana haru mulai menyelimuti rumah kedua orang tuaku. Mengingat akan dosa dan kesalahan selamat satu tahun kebelakang.Setelah acara maaf-maa
Libur cuti hari raya, kami manfaatkan untuk berlibur bersama keluarga Mas Fadil. Kami pun sepakat untuk berlibur ke pantai, tidak jauh dari tempat tinggal mertuaku.Sekitar dua jam perjalanan. Hampir semua anggota keluarganya ikut serta, termasuk kakak tertuanya yang memposting fotonya bersama Melati dengan hastag adik ipar baru.Kak Siti yang tiba di rumah mertuaku segara menghampiri dan menyalami dengan wajah tanpa dosa."Nyampe jam berapa?" tanyanya berjasa basi."Kemarin malam, kak," jawabku datar.Padahal, jauh di dalam hati, ingin rasanya mencubit bibir nyinyirnya. Setega itu seorang kakak ipar kepada adik ipar yang sedang terdzolimi. Bagaikan menabur garam di atas luka yang masih basah. Saat itu dada ini terasa terbakar, pikiran merasa disingkirkan dan tidak dianggap menyergap sanubari. Membuat nyeri di sekujur tubuh."Si Melati itu pake ilmu pelet, makanya Fadil kayak orang gila sampai mau bunuh di
Mungkin, untuk sebagian orang. Aku adalah seorang wanita bodoh, yang mau menerima kembali lelaki yang telah menghancurkan hati Ini. Menduakan bahkan bermesraan di depan mataku. Ia juga membawa sebuah penyakit yang mematikan dan menular. Bisa saja aku pun ikut tertular.Entah bodoh atau pasrah, di usiaku yang menginjak kepala tiga dengan tiga orang anak yang masih kecil. Langkah menjadi terasa semakin sempit bagiku. Di luar sana pun, tidak ada yang benar-benar bersih tanpa cela. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak.Biarlah orang lain menganggap diri ini bodoh. Aku tidak peduli. Yang aku yakini, semua yang dilakukan saat ini semata-mata adalah untuk menyelamatkan masa depan ke tiga anakku.Aku ragu bisa mendapatkan pasangan yang akan menyayangi ketiganya dengan tulus, biarlah kesalahan masa lalu menjadi pembelajaran untuk dirinya sendiri. Biarlah kesalahannya menjadi tanggung jawabnya kepad
Pagi itu, tidak seperti biasanya, aku merasa lemas dan pusing. Hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Kepala terasa teramat berat, tubuh gemetar dan mual di bagian perut."Mamah kenapa?" tanya Mas Fadil yang terlihat sudah rapi."Nggak tahu, masuk angin kayaknya," jawabku asal."Periksa ke dokter, yuk!""Nggak usah, istirahat sebentar juga sembuh."Mas Fadil yang sadari tadi menoleh ke arah jam dinding pun bergegas pergi untuk bekerja. Tinggalah, aku terbaring seorang diri.Si sulung datang membawa semangkuk bubur yang dibeli di depan jalan. Baru saja makan beberapa suap, tiba-tiba perut ini terasa mual. Aku berlari ke kamar mandi. Semua yang kumakan akhirnya berpindah ke lantai kamar mandi."kenapa, mah? Jangan-jangan, hamil," ujar Luna seraya bergidik.Aku menoleh dan tersadar seketika. Berjalan menuju ke depan kalender yang tergantung di dinding. Baru sadar jika sudah dua bulan ini tid
Entah kenapa hati ini menjadi mudah sakit dan tergores. Hal-hal sepele pun bisa membuatku terluka dan menangis. Seperti saat Mas Fadil tidak membelikan makanan yang aku pesan. Hati ini pasti terasa sakit dan dongkol. Akhirnya, mendesak bulir-bulir bening meleleh tanpa bisa ditahan.Mungkin suamiku bukan sengaja untuk tidak membelikan makanan yanga aku pesan. Namun, terkadang, jenis makanan yang diminta agak sulit didapatkan.Hampir setiap hari, ada saja makanan yang ingin dibeli. Kondisi tubuh ini yang belum stabil membuat selera makan berubah-ubah. Makanan yang dulu menjadi favorit, bisa sangat dihindari pada saat seperti ini.Sebenarnya, pengalaman hamil ke tiga anak yang lain pun tidak jauh berbeda dengan yang sekarang. Akan tetapi, tetap saja, tubuh ini seperti merasakan hal yang asing dan membuatku tidak nyaman.Hari yang semakin sore membuat perutku terasa kosong karena seharian tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalamny
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya