Hari raya Idul Fitri tinggal menghitung hari.Semua persiapan menuju hari nan suci telah disiapkan. Aku telah Ttngah bersantai di ruang tamu saat itu, bersama Mas Fadil dan juga anak-anak.
Seperti biasanya, hari libur, kami habiskan waktu bersama. Hitung-hitung menembus waktu yang terbuang selama Mas Fadil tersesat. Anak-anak tampak sudah lemas walaupun hari masih panjang. Aku menyuruh mereka untuk beristirahat di kamar agar tidak membatalkan puasa.
Aku sedang asyik menonton beberapa video lucu di akun di gawai Mas Fadil. Kami menikmati saat-saat kebersamaan yang lama tidak kami rasakan. Canda dan tawa turut meramaikan suasana. Tiba-tiba Mas Fadil izin untuk pergi ke toilet.
Aku Yang penasaran dengan aktifitas media sosial Mas Fadil, segera membuka gawai miliknya. Menelusuri akun media sosialnya. Mencari tahu siapa saja di daftar pencarian akun tersebut.
Baris pertama, kedua sampai kesepuluh pun tidak ada yang mencurigakan. Ia menca
Semua terlihat baik-baik saja sampai saat ini. Aku mulai menikmati kembali kebersamaan kami bersama anak-anak. Apa lagi yang paling bahagia selain bisa hidup damai dengan orang-orang yang kita cintai.Namun, mungkin aku terlalu egois dan hanya mementingkan perasaan sendiri. Aku baru sadar saat mendapati Mas Fadil beberapa kali tampak melamun.Di dalam benakku, ia sama bahagianya dengan diriku karena bisa berkumpul kembali bersama keluarga. Tapi, ternyata aku salah, lelakiku tampak tidak tulus dan masih menyembunyikan rasa bersalah di dalam hatinya.Ia terlihat melamun di teras rumah. Aku mendekatinya perlahan. Menatap lekat wajah sendu itu."Ayah nggak bahagia bersama kami?" tanyaku dengan menahan sakit di dalam hati.Berat untuk menanyakan sesuatu yang bisa memancingnya kembali ke masa lalu. Mungkin baginya masa lalu itu indah dan tidak terlupakan. Namun, bagiku, itu adalah masa paling kelam di dalam hidup. Ujia
Akhirnya, hari yang dinanti pun tiba. Hari kemenangan untuk seluruh umat islam. Hari nan fitri, di mana semua kesalahan saling membebaskan dengan bermaaf-maafan. Selepas salat Idul fitri. Mas Fadil meminta maaf kepada ibu dan Bapak. Tidak seperti lebaran tahun sebelumnya, lelaki itu tampak berkaca-kaca saat bersalaman dengan kedua orang tuaku."Maaf Bu, Pak," ucapnya lirih, hampir tidak terdengar.Ia memang bukan laki-laki yang pandai merangkai kata untuk mengungkapkan penyesalan atau pun isi hatinya. Hanya perkataan itu yang bisa ia ucapkan kepada kedua orang tuaku."Ia dimaafkan tapi jangan pernah diulangi," ujar Bapak seraya menatap lekat sang menantu.Mas Fadil pun mengangguk sambil tersenyum tipis. Suasana haru mulai menyelimuti rumah kedua orang tuaku. Mengingat akan dosa dan kesalahan selamat satu tahun kebelakang.Setelah acara maaf-maa
Libur cuti hari raya, kami manfaatkan untuk berlibur bersama keluarga Mas Fadil. Kami pun sepakat untuk berlibur ke pantai, tidak jauh dari tempat tinggal mertuaku.Sekitar dua jam perjalanan. Hampir semua anggota keluarganya ikut serta, termasuk kakak tertuanya yang memposting fotonya bersama Melati dengan hastag adik ipar baru.Kak Siti yang tiba di rumah mertuaku segara menghampiri dan menyalami dengan wajah tanpa dosa."Nyampe jam berapa?" tanyanya berjasa basi."Kemarin malam, kak," jawabku datar.Padahal, jauh di dalam hati, ingin rasanya mencubit bibir nyinyirnya. Setega itu seorang kakak ipar kepada adik ipar yang sedang terdzolimi. Bagaikan menabur garam di atas luka yang masih basah. Saat itu dada ini terasa terbakar, pikiran merasa disingkirkan dan tidak dianggap menyergap sanubari. Membuat nyeri di sekujur tubuh."Si Melati itu pake ilmu pelet, makanya Fadil kayak orang gila sampai mau bunuh di
Mungkin, untuk sebagian orang. Aku adalah seorang wanita bodoh, yang mau menerima kembali lelaki yang telah menghancurkan hati Ini. Menduakan bahkan bermesraan di depan mataku. Ia juga membawa sebuah penyakit yang mematikan dan menular. Bisa saja aku pun ikut tertular.Entah bodoh atau pasrah, di usiaku yang menginjak kepala tiga dengan tiga orang anak yang masih kecil. Langkah menjadi terasa semakin sempit bagiku. Di luar sana pun, tidak ada yang benar-benar bersih tanpa cela. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak.Biarlah orang lain menganggap diri ini bodoh. Aku tidak peduli. Yang aku yakini, semua yang dilakukan saat ini semata-mata adalah untuk menyelamatkan masa depan ke tiga anakku.Aku ragu bisa mendapatkan pasangan yang akan menyayangi ketiganya dengan tulus, biarlah kesalahan masa lalu menjadi pembelajaran untuk dirinya sendiri. Biarlah kesalahannya menjadi tanggung jawabnya kepad
Pagi itu, tidak seperti biasanya, aku merasa lemas dan pusing. Hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Kepala terasa teramat berat, tubuh gemetar dan mual di bagian perut."Mamah kenapa?" tanya Mas Fadil yang terlihat sudah rapi."Nggak tahu, masuk angin kayaknya," jawabku asal."Periksa ke dokter, yuk!""Nggak usah, istirahat sebentar juga sembuh."Mas Fadil yang sadari tadi menoleh ke arah jam dinding pun bergegas pergi untuk bekerja. Tinggalah, aku terbaring seorang diri.Si sulung datang membawa semangkuk bubur yang dibeli di depan jalan. Baru saja makan beberapa suap, tiba-tiba perut ini terasa mual. Aku berlari ke kamar mandi. Semua yang kumakan akhirnya berpindah ke lantai kamar mandi."kenapa, mah? Jangan-jangan, hamil," ujar Luna seraya bergidik.Aku menoleh dan tersadar seketika. Berjalan menuju ke depan kalender yang tergantung di dinding. Baru sadar jika sudah dua bulan ini tid
Entah kenapa hati ini menjadi mudah sakit dan tergores. Hal-hal sepele pun bisa membuatku terluka dan menangis. Seperti saat Mas Fadil tidak membelikan makanan yang aku pesan. Hati ini pasti terasa sakit dan dongkol. Akhirnya, mendesak bulir-bulir bening meleleh tanpa bisa ditahan.Mungkin suamiku bukan sengaja untuk tidak membelikan makanan yanga aku pesan. Namun, terkadang, jenis makanan yang diminta agak sulit didapatkan.Hampir setiap hari, ada saja makanan yang ingin dibeli. Kondisi tubuh ini yang belum stabil membuat selera makan berubah-ubah. Makanan yang dulu menjadi favorit, bisa sangat dihindari pada saat seperti ini.Sebenarnya, pengalaman hamil ke tiga anak yang lain pun tidak jauh berbeda dengan yang sekarang. Akan tetapi, tetap saja, tubuh ini seperti merasakan hal yang asing dan membuatku tidak nyaman.Hari yang semakin sore membuat perutku terasa kosong karena seharian tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalamny
Semenjak usia kandungan tujuh bulan. Aku mulai rajin memeriksakan diri ke dokter. Hari itu aku berencana untuk periksa di rumah sakit favorit kami. Setelah mengantri lama, kami pun mendapat giliran. Masuk ke sebuah ruangan bercat putih.Berbekal hasil USG sebelumnya, akhirnya aku kembali di USG."Posisinya sudah bagus, plasenta nya juga udah naik," ujar sang Dokter sambil memutar-mutar sebuah alat yang telah diolesi cairan dingin di atas perutku."Jadi gimana, Dok? Apa saya bisa melahirkan di sini?"Pengalaman saat persalinan Fariz di tempat ini membuatku nyaman dan ingin kembali melahirkan di sini. Namun, jawaban dokter membuatku patah hati."Posisi bayi normal, Ibu juga riwayat melahirkan normal semua, sebaiknya cari bidan terdekat saja.""Kalau pengen lahiran di sini nggak bisa?""Boleh, tapi tidak ditanggung sama asuransi. Jadi bayar sendiri. Di Rumah sakit itu khusus untuk yang memiliki kendala, sepe
Aku segera menghubungi Mas Fadil. Memberitahukan bahwa anaknya akan segera lahir.[Aku sudah di klinik, sudah pembukaan empat][Allhamdulilah, aku segera putar balik ke sana]Chat pun berakhir karena sakit di perut mulai terasa kembali. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat beberapa wanita hamil sedang menunggu sambil meringis seperti diriku. Mereka di dampingi suami dan kerabatnya.Aku hanya tersenyum getir melihat diriku yang seorang diri di klinik ini. Selang beberapa menit Ibu datang bersama adik bungsuku."Sudah pembukaan berapa sekarang?" tanya Ibu khawatir."Nggak tahu, belum periksa lagi.""Suami kamu sudah dihubungi?""Sudah."Aku kembali duduk, para petugas klinik tampak memakai APD atau alat perlindungan diri. Aku hamil di masa pandemi menyerang, sebuah penyakit yang datang dari negeri tirai bambu yang telah mewabah ke seluruh wilayah Indonesia. Kami pun diwajibk