Wajah Reinhart terasa panas. Perempuan itu tahu, pasti saat ini wajahnya terlihat sangat merah seperti halnya kepiting rebus. Bahkan Iselt yang mengikuti di belakang tampak salah tingkah dengan kemunculan sang kaisar yang tiba-tiba dan menunjukkan senyumnya yang sangat langka. "Kalau saya harus mati hari ini, saya tak akan memiliki penyesalan apa pun, Tuan Putri," bisik Iselt terdengar jelas oleh indra pendengaran Reinhart. Reinhart tahu maksud ucapan gadis itu, tapi lidahnya terlalu kelu untuk memberikan tanggapan. Fokus Reinhart tak bisa teralihkan dari senyuman yang membingkai wajah sang kaisar. Dunianya sendiri bahkan terasa berhenti bergerak saat bertatapan dengan sepasang mata yang tampak jenaka ketika tersenyum itu. Hingga membuat Reinhart lupa cara bernapas untuk sesaat. Ia bahkan baru merasakan malu menjalar ke tubuhnya ketika sang kaisar telah pergi dari hadapan mereka. Dengan ingatan yang mengacaukan pikiran Reinhart. "Aku suka bagian kau menyebutkan namaku dengan, Ia
Reinhart tak sanggup lagi berkata-kata. Meski begitu ia tetap memaksakan diri untuk mempertanyakan maksud ucapan sang kaisar. "Tunggu, tunggu ... tunggu, Yang Mulia." Reinhart tampak panik begitu mendengar ucapan Caspian. "Apa yang membuatmu begitu panik, Rein? Ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Caspian. Kening pria itu berkerut melihat reaksi perempuan yang duduk di depannya. "Tentu saja. Saya ... menyebut Anda ... dengan panggilan Ian ...." Reinhart semakin terbata-bata. Ia panik bersitatap dengan sorot mata Caspian yang tampak tajam, tapi juga terlihat lembut sekaligus hangat di saat yang bersamaan. 'Kenapa aku jadi gagu?' bisik Reinhart dalam hati. Perempuan itu berusaha menetralkan degup jantung yang masih saja menggila di balik tulang rusuknya. "Ya? Apa yang ingin kamu katakan, Rein?""Kenapa Anda terus memanggil saya, Rein?" Suara Reinhart meningkat tajam. Bukannya kesal, ia justru salah tingkah dengan pengucapan sang kaisar ketika memanggil nama kecilnya. "Bukanny
"Apanya yang mau hubungan kita lebih dekat?" gerutu Reinhart begitu kembali ke kamarnya. Pertemuannya dengan sang kaisar berakhir begitu saja setelah pria itu mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak terduga.Akibat terlalu tegang, Reinhart tanpa sadar bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang kerja sang kaisar begitu saja. "Gila! Kenapa aku justru melarikan diri? Bukankah itu misi yang harus kuselesaikan supaya bisa meninggalkan dunia ini?" imbuhnya masih sambil menggerutu akibat kebodohan yang telah ia lakukan. "Hei, Sang Pengendali Waktu atau apa pun itu, sebenarnya tugas apa sih yang kau berikan padaku?" Reinhart setengah mengomel ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dengan anggapan bahwa sang Pengendali Waktu atau apa pun itu tak akan muncul di hadapannya seperti biasa. Reinhart semakin terbiasa untuk diabaikan. "Bukankah aku sudah mengatakan di awal, kau harus menjadi istri kaisar!" Tiba-tiba saja, suara itu kembali terdengar menggema di seluruh ruangan. Membua
Sisa malam itu, Reinhart tak bisa memejamkan mata. Ia gelisah di tempat tidurnya.Sesekali ia mengubah tidurnya hanya demi mencari posisi nyaman dan mengusir gelisah dari dalam dirinya. Lantas menatap langit-langit kamar yang setengah gelap. Beruntung malam ini Reinhart menutup seluruh jendela dan pintu di kamarnya. Biasanya perempuan itu membiarkan jendela dan pintu yang menghubungkan dengan balkon terbuka lebar. Angin malam membuatnya cepat tertidur dan itulah yang Reinhart butuhkan. Setelah sampai di negeri ini, kadang kali ia merasakan kesulitan tidur akibat memikirkan nasibnya yang terasa jungkir-balik. Belum lagi menghadapi kemungkinan nyawanya bakal hilang di tangan sang kaisar. Satu-satunya hal yang membuat Reinhart cepat tertidur hanyalah embusan angin dari luar yang terasa dingin, sekaligus menyegarkan. Kalau saja Reinhart tak menutup pintu kamarnya seperti biasa, apa yang bakal terjadi pada perempuan itu? Apakah kisahnya akan berakhir begitu saja? Kira-kira siapa oran
Reinhart masih tertegun di tempatnya. Ia menatap lekat simbol di atas meja kerja sang kaisar yang berada di dalam kamar pria itu. 'Kenapa simbol itu ada di atas meja kerja, Kaisar?' bisik perempuan itu dalam benaknya saat menyadari keberadaan simbol harimau putih tengah berjalan angkuh dikelilingi sembilan pedang dengan sebuah bintang bersinar terang di atasnya. Simbol yang sama dengan milik salah satu penyusup di kamar perempuan itu beberapa saat lalu.Kini ia paham mengapa dirinya merasa asing sekaligus familiar dengan simbol tersebut. Pasti karena ia pernah melihatnya di suatu tempat dalam istana ini.Namun, ia tak bisa serta merta bertanya pada Kaisar Caspian. Ia masih perlu menelaah lebih jauh, simbol milik siapa yang kini tertangkap jelas oleh retina matanya itu.'Tidak mungkin simbol keluarga kekaisaran bukan? Tapi, kalau simbol itu begitu dekat dengan Caspian, apa ada kemungkinan dia yang memerintahkan para penyusup itu?'Ada keragu-raguan dalam benak perempuan itu. Reinhart
Mencari tahu tentang simbol harimau putih adalah salah satu alasan mengapa Reinhart memutuskan untuk tetap tinggal di kamar sang kaisar. Itulah alasannya terkuatnya. Namun, belum juga sempat menjalankan aksinya, kantuk tiba-tiba menyerang dan membuat perempuan itu tak sanggup lagi menahan diri. Tanpa memedulikan rasa canggung di antara dirinya dan Kaisar Caspian, Reinhart lebih dulu naik ke tempat tidur serta membiarkan kelembutan dan kehangatan tempat tidur kaisar membuainya hingga ke alam mimpi. Reinhart benar-benar melupakan tujuan utamanya setelah bersentuhan dengan kain pembungkus tempat tidur yang lebih lembut dibandingkan di kamarnya. Pagi harinya ketika Reinhart membuka mata, barulah ia menyadari kesalahan yang telah diperbuat dan melupakan tujuan awalnya. Kenapa ia justru benar-benar tidur tanpa menjalankan misinya sendiri? "Kau sudah bangun, Rein?" tanya Caspian mengalihkan perhatian perempuan itu. Ia cukup terkejut melihat sang kaisar sudah membuka mata dan tampak men
"Sungguh Yang Mulia, saya ... jadi merasa khawatir pada Anda. Apakah Anda sungguh baik-baik saja?" tanya Reinhart justru mengajukan pertanyaan yang absurd ketika Caspian menawarkan untuk mengajaknya jalan-jalan. "Kenapa kau justru khawatir padaku, Rein? Bukankah kau yang mengatakan kalau kau tidak bahagia akhir-akhir ini?" "Bukan ... bukan itu yang saya maksud, Yang Mulia. Tapi ...." Reinhart menelan kembali kalimat yang hampir terucap di ujung lidahnya. Ia takut sang kaisar tersinggung dan mengubah sikapnya menjadi dingin seperti biasa. Padahal, butuh usaha lebih untuk membuat sang kaisar bersikap seperi sekarang. Reinhart bukannya tidak suka. Dengan perubahan sang kaisar, berarti ia bisa segera menuntaskan misinya. Namun, jika sikap sang kaisar terus seperti ini, entah mengapa justru dirinya yang merasa kelelahan. Padahal mereka tidak melakukan aktivitas apa pun selain mengobrol seperti sekarang. Tapi, Reinhart merasa sikap Caspian membuatnya merasa terbebani. 'Ck, sebenarnya
Wajah Reinhart terlihat sangat antusias begitu menu pesanan mereka datang. Ia tak perlu menjaga image di depan banyak orang sebab mereka langsung diarahkan ke ruang VVIP yang khusus ditempati oleh keduanya, saat menyadari kedatangan sang kaisar. Tentu saja sang penguasa kekaisaran ini akan diperlakukan berbeda. Ia memang memiliki privilege untuk itu dan tidak menyia-nyiakannya begitu saja. Terlebih setelah mendengar keinginan Reinhart untuk memakan makanan manis yang hampir tidak pernah dirasakan ketika berada di istana. Senyum yang membingkai wajah perempuan itu semakin lebar. Berbagai jenis cake yang tampak menggoda membuat Reinhart tak tahan untuk segera mencicipinya.Terlebih setalah ia berhadapan dengan para nyonya bangsawan yang ingin menyapanya. Para nyonya bangsawan itu bergantian memberikan salam hingga membuatnya lelah mempertahankan senyum di wajahnya. Benar kata Kaisar Caspian, berkat keberadaannya para nyonya bangsawan itu hanya sekadar memberikan salam dan tidak mema