"Ma, kenapa menangis lagi?"Tak langsung menyahutinya, Hana mengusap jejak air di pipi. Bahkan dia memaki diri sendiri, betapa bodoh dirinya telah melupakan untuk tidak menumpahkan rasa sakit dengan menangis di depan putranya. Dia tak ingin ada yang tahu perasaan sedih yang kerap datang kala bayangan wajah atau ingatan peristiwa tentang Mahendra. Ternyata dia belum move on? Bukan, hanya saja semua insiden tentang Mahendra terlalu kuat mengakar di sudut hati yang terdalam. Sulit memang untuk ia melupakan sosoknya lantaran pria itu adalah cinta pertamanya. "Mama tidak nangis, Kai. Mama hanya terharu dengan prestasi kamu hari ini. Mama bangga punya anak pintar dan berbakat seperti kamu. Mama sayang kamu."Membentangkan kedua tangan menunggu reaksi Kaindra membalas pelukannya, Hana terpaksa berbohong dan memilih kalimat yang pas untuk mengalihkan pikiran Kai. Kai tidak boleh tahu hubungan ayah dan anak itu. Hana hanya ingin hidup tenang tanpa kehadiran sosok Mahen
"Maaf, Tante! Aku minta maaf! Aku datang karena ingin memperbaiki semuanya. Aku akan bertanggungjawab terhadap apa yang sudah aku lakukan dulu.""Kamu yakin Hana bisa memaafkanmu?" Nada ibu meninggi, geram sekali dengan pria yang sudah mengoyak harapan dan masa depan putrinya. Kini, ia berani menampakkan diri di hadapannya."Sulit memang, Tante. Tapi aku akan berusaha. Aku tidak mau menjadi pecundang untuk kedua kalinya. Aku akan membuktikan asal Tante izinkan aku bertemu dengannya."Kini pria itu datang kembali, menggenggam harapan untuk bisa membalut luka lama Hana yang sudah menganga. Walau belum yakin Hana sudi menemuinya lagi, setidaknya dia akan berjuang. Bagaimana kelanjutannya, dia akan memikirkan caranya nanti. Punya kesempatan untuk bertemu dulu, baru ia lihat bagaimana reaksi Hana terhadapnya. "Sudah kubilang dia tak ada!" Menutup pintu kembali, ibu sebenarnya tak ingin melihat wajahnya lagi. Sakit hati, ibu pun ikut merasaka
Dia gadis yang baik, cantik, manja dan paling mencolok adalah kepintarannya. Jadi tak heran, dia bisa lulus pendidikan kedokteran gigi dalam tiga tahun. Ayahnya adalah dokter gigi senior di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Jadi, tak sulit baginya untuk bisa praktek di rumah sakit yang sama.Lagi, Mahendra menuruti keinginannya dengan memejamkan mata dengan pikiran tertuju pada Hana. Berdoa dalam hati. Ada satu keinginan yang terbesar saat ini yaitu mendapatkan maaf dari Hana.***Tidak mau makan kue yang disuguhkan Elena, Mahendra memilih membawanya pulang dan memasukkan ke kulkas tanpa menyentuh seupil pun. Selesai membersihkan tubuh, dia pun merebahkan tubuh di tengah kesepian yang selalu menemani dirinya kala malam hari. Setelah pulang dari Jepang, dia pindah ke apartemen mewah yang dihadiahkan orangtua karena sudah menuruti keinginan terbesar mereka. Ia memandang langit kamar dengan meletakkan punggung telapak ke dahi, ingatan tenta
Pagi itu seusai sarapan roti dengan selai, Mahendra pun keluar dari unit dengan kaos lengan panjang navy dan jeans yang menempel sempurna di tubuhnya. Kaos lengan panjang itu sengaja digeser sampai di bawah siku, memamerkan otot tangan yang kokoh.Bersuka cita, hari itu dia akan mendatangi rumah kontrakan Hana. Dia akan berjuang lagi mendapatkan maaf dari wanita yang sudah ia tinggalkan tujuh tahun yang lalu. Bukan tanpa sebab, dia pergi begitu saja kala itu. Ada sesuatu yang lebih mendesak sehingga dia memilih terbang dan lupa memberi kabar untuk Hana.Sabtu pagi, di jalan yang lumayan padat, Mahendra harus menaikkan level kesabarannya ketika harus mengendarai mobil sendiri. Biasanya ada supir yang selalu standby membawanya pergi dan pulang dari kantor.Sekilas melirik jam digital di dasboard mobil mahalnya, dia berdecak kesal harus berada di antara mobil yang antri depan lampu merah. Angka sepuluh lebih lima belas menit yang terpampang jelas di sana.
Tidak sampai di situ, hatinya kembali tercubit ketika dia disuguhkan peristiwa saat pria berkumis tipis itu membawa sang bocah di atas pundaknya. Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia, menikmati kebersamaan di hari pekan seperti kebanyakan keluarga kecil yang bahagia. Sungguh pemandangan yang membuat matanya sakit dan memerah. Tatapan itu tadinya terkesan biasa, lama kelamaan berubah menjadi tatapan sinis, tajam dan tak suka.Bibirnya pun tak berhenti mengomel dari tadi. Ingin dia muncul di sana, tetapi hati kecilnya memberontak. Dia tak ingin mendapat penilaian negatif dari Hana lagi. Dia harus menunggu sampai ambang kesabarannya mencapai titik nol.Lagi, hatinya kian memanas, nyaris mencapai level puncak saat melihat Hana dengan berani berdiri mendekati, mengambil sesuatu yang ada di rambut cepak pria itu. Setelahnya mereka saling melempar senyuman, apakah itu senyuman cinta? Bukan, itu hanya senyuman simpati. Mahendra mencoba menepis semua dugaan yang sungg
Bab 15A"Mas Hendra? Ke sini juga?"Mencoba bersikap tenang, Mahendra membuang napas berulang. Tanpa dipersilakan, dokter gigi itu pun mengambil duduk bersisian dengannya. "Sama siapa? Sendiri?"Elena bertanya lagi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Pria itu mengangguk sambil berpura-pura fokus ke menu dan sesekali melirik ke arah ketiga orang itu lagi. Dia tidak ingin kehadiran Elena, menggagalkan rencananya karena tidak bisa mengikuti aktifitas Hana. Alasan apa coba yang akan dia berikan kepada Elena, ia tak mau ketahuan tengah menguntit Hana."Pas dong kalau gitu, aku juga lagi sendirian. Tadi aku ada janji sama teman, eh, dia dadakan tak bisa datang, anaknya rewel."Elena menarik menu dari genggaman pria penyuka cokelat panas dan memilih makanan dan minuman. Setelahnya, dia menyapu pandangan ke sekeliling kafe. Sorot mata itu berhenti setelah menangkap sosok yang dia kenal kemudian memicingkan mata untuk mempertajamkan penglihatan."Itu bukannya ...." Dia berdiri dan berjalan m
Mahendra bertanya. Sebelum mendapat persetujuan, dia langsung duduk di hadapan Hana, di sampingnya ada Kai yang menatap kagum sang juri yang gagah itu."Om juri?"Pria yang dipanggil pun mempersembahkan senyuman hangat sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Dia memberi anggukan kecil sebagai tanggapan. Hana cukup paham, berbeda dengan Arsenio dan Elena yang setengah paham tentang hal tersebut.Sesaat itu, Elena pun ikut duduk di samping Mahendra tanpa ingin bertanya. Buatnya, hal itu tak begitu penting dan matanya menyadari keberadaan Arsernio di meja itu."Eh, kayak kenal, ya? Tapi di mana?" Dia menunjuk ke wajah Arsenio yang mulai memberi senyuman tipis.Sementara dads Arsen masih disisipi sedikit penasaran, mengapa Kai bisa memanggilnya dengan sebutan om juri. Namun, pikirannya teralih ketika Elena mengajak bicara dan mulai menduga-duga tentangnya."Kamu dr.Elena dokter gigi?" Menebak sambil mencomot kentang goreng, Arsenio terlihat lebih santai
Elena memberi pendapat dengan nada menggoda. Dia tak begitu mengenal Hana karena gadis itu tak pernah sekalipun curhat atau membicarakan hal yang pribadi kepadanya. Mereka hanya sebatas penjual dan pembeli saja."Oh, tidak, Len. Ini hanya kebetulan saja. Motif yang tersedia hanya itu dan kita sama sekali tidak request atau tak tahu bakal dapat motif yang sama." Mengklarifikasi pernyataan, tangan Hana pun langsung mengaduk dan menyamarkan motif yang tercetak di atas minuman kopi. Entah mengapa dalam hati kecilnya tak ingin Mahendra salah paham dan punyai pikiran yang tidak-tidak terhadapnya. Baru saja, tangan mengangkat gelas putih dan ingin menempelkan ke bibir, terdengar suara bariton Mahendra."Sejak kapan kamu boleh minum kopi?"Suara itu membuat suasana sedikit mencekam, mereka bingung kalimat itu ditujukan untuk siapa. Otomatis pula, Hana menahan tangannya dan membiarkan cangkir tersebut mengambang di udara."Maksud kamu apa, Mas?" Demi membunuh r
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."