Mahendra bertanya. Sebelum mendapat persetujuan, dia langsung duduk di hadapan Hana, di sampingnya ada Kai yang menatap kagum sang juri yang gagah itu."Om juri?"Pria yang dipanggil pun mempersembahkan senyuman hangat sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Dia memberi anggukan kecil sebagai tanggapan. Hana cukup paham, berbeda dengan Arsenio dan Elena yang setengah paham tentang hal tersebut.Sesaat itu, Elena pun ikut duduk di samping Mahendra tanpa ingin bertanya. Buatnya, hal itu tak begitu penting dan matanya menyadari keberadaan Arsernio di meja itu."Eh, kayak kenal, ya? Tapi di mana?" Dia menunjuk ke wajah Arsenio yang mulai memberi senyuman tipis.Sementara dads Arsen masih disisipi sedikit penasaran, mengapa Kai bisa memanggilnya dengan sebutan om juri. Namun, pikirannya teralih ketika Elena mengajak bicara dan mulai menduga-duga tentangnya."Kamu dr.Elena dokter gigi?" Menebak sambil mencomot kentang goreng, Arsenio terlihat lebih santai
Elena memberi pendapat dengan nada menggoda. Dia tak begitu mengenal Hana karena gadis itu tak pernah sekalipun curhat atau membicarakan hal yang pribadi kepadanya. Mereka hanya sebatas penjual dan pembeli saja."Oh, tidak, Len. Ini hanya kebetulan saja. Motif yang tersedia hanya itu dan kita sama sekali tidak request atau tak tahu bakal dapat motif yang sama." Mengklarifikasi pernyataan, tangan Hana pun langsung mengaduk dan menyamarkan motif yang tercetak di atas minuman kopi. Entah mengapa dalam hati kecilnya tak ingin Mahendra salah paham dan punyai pikiran yang tidak-tidak terhadapnya. Baru saja, tangan mengangkat gelas putih dan ingin menempelkan ke bibir, terdengar suara bariton Mahendra."Sejak kapan kamu boleh minum kopi?"Suara itu membuat suasana sedikit mencekam, mereka bingung kalimat itu ditujukan untuk siapa. Otomatis pula, Hana menahan tangannya dan membiarkan cangkir tersebut mengambang di udara."Maksud kamu apa, Mas?" Demi membunuh r
Beberapa detik dalam kondisi itu, mereka saling mengunci pandangan. Dekat sekali, hanya menyisakan beberapa centimeter saja. Sampai-sampai mereka bisa merasakan hangat napas dan debaran jantung yang tak karuan di rongga dada pasangannya. Nyaman? Iya, tak dipungkiri, Hana hanyut dalam dekapannya. Aroma parfum Mahendra yang familiar membius dirinya. Kalau saja, Elena tak mengeluarkan suara deheman, mungkin saja mereka sudah melakukan hal yang lebih dari itu. Menautkan kedua bibir mereka, mungkin."Dasar mesum, lepaskan!" Hana sengaja mengalihkan, seakan-akan pria itulah tersangkanya. "Tubuh kamu yang datang, Han. Aku hanya menyambutmu." Pria itu pun tak mau disalahkan walau memang tangannya yang refleks menarik tubuh Hana agar tak terjatuh. Itu saja."Aku didorong, mana mungkin aku sengaja mendatangimu. Kamu jangan ngada-ngada nuduh orang atas apa yang tak aku sengaja." Berjalan menjauhi, Hana bisa gila lama-lama berada di dekatnya. Aroma tubuh dan parfum yang dirindukan baru saja men
"Kamu apa-apaan, sih, Mas?" Gadis itu menepuk bahunya tetapi Mahendra tak peduli.Bukannya tak suka, Elena hanya tak ingin menambah kadar kejengkelan Hana. Lantaran dia menangkap raut wajah penolakan Hana saat melihat pria itu mengambil anaknya. "Tidak perlu, lepaskan anakku! Biarkan Kak Arsen saja yang menggendongnya."Hana merebut tubuh Kai yang kedua tangannya melilit erat di leher Mahendra. Sepertinya bocah itu tak ingin berpindah tempat. sSemakin tubuhnya ditarik semakin dia mempererat pelukan ke leher pria tersebut."Han, kamu jangan paksa, kamu menyakitinya. Nggak apa-apa aku yang bawa anak ini," ucap Mahendra dan mendapatkan penolakan dari Hana."Tidak bisa, ayo, Nak! Ikut Om Arsen. Kita mau pulang sekarang. Kamu harus istirahat.""Han.""Kamu lepasin tangan kamu.""Nggak bisa, bukan di aku. Kamu tak tahu bagaimana eratnya dia merangkul leherku. Aku juga hampir tercekik."Melihat mereka berdebat lagi, Elena pun mendekat dan memberi pengertian kepada Hana. Demi Kai."Biarkan
Di bangku belakang, Hana menatap pemandangan jalan dari balik kaca jendela. Sesekali ia menatap langit yang tanpa ditemani bulan maupun bintang dengan hati dan tatapan kosong. Wanita itu tak berniat sedikitpun menengok ke kursi depan.Tadi Hana tidak ada pilihan lantaran Kai yang memilih menumpang mobil sang ayah. Kalau tidak, dia pun tak sudi berada dalam satu mobil itu bersamanya. Dia sudah mati-matian menghindar, malah sekarang dirinya dipertemukan dalam kondisi seperti itu demi Kai.Melalui kaca spion, Mahendra mengamati setiap gerak-geriknya dalam diam. Dia tahu detik itu bukan saatnya untuk berbicara. Dia khawatir kejengkelan si wanita cantik akan bertambah beberapa level dan dia tak mau itu terjadi.Sempat berhenti di salah satu apotik, Mahendra kembali ke mobil dengan menenteng kresek putih berlogo apotik di tangan kanannya. Lalu, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang. Langit mulai menghitam saat mobil mereka membelah jalan ibukota yang tak pernah kenal kata sepi. Heni
"Pulanglah, Nak Hendra. Hari sudah malam. Biarkan Hana dan anaknya istirahat dulu."Mahendra membalikkan badan dan menemukan sang pemilik suara. Seorang ibu tangguh yang sudah berusia senja tetapi masih sanggup menerima pesanan ratusan kue dari pelanggannya. Mata ibu terlihat penuh harap agar pria yang berada di hadapan tidak mengganggu anak dan cucunya lagi. Benci, sepertinya sudah tidak, karena beriringan dengan waktu rasa itu semakin terkikis. Hanya saja, dia tak mau pria yang pernah menghancurkan masa depan putrinya kini kembali saat dia sudah berhasil mengembalikan segenap harapan hidup untuk putri dan cucunya."Maaf, Tante, kalau saya ganggu. Saya pamit dulu."Segan dan malu menghadapi orang tua itu, Mahendra pun patuh dan melangkah keluar. Dirinya merasa terusir dari rumah secara tidak langsung. Tidak ada ramah tamah di wajah ibu Hana, ia merasa dirinya tidak diterima di keluarga itu. Ia dapat merasakan perbedaan sikap wanita senja yang se
"Ma, bacakan cerita untuk Kai."Bocah itu duduk dan meminta ketika Hana sedang berdiri di depan meja hias. Wanita itu sedang berusaha menata perasaan yang nyaris hancur ketika melihat masa lalunya hadir kembali. Nyata dan sangat dekat. "Kai, kenapa bangun lagi? Apa ada yang sakit?" Dia mendekati dan menyentuh dahinya. Masih hangat. Sepertinya dia harus memberikan obat penurun panas kepadanya. Hana kembali ke dapur dan mengambil obat yang biasa dikonsumsi jika Kai demam. Obat dari Mahendra di meja sama sekali tak tersentuh olehnya.Setelah selesai minum obat, Kai kembali berbaring dan Hana mulai membacakan buku cerita untuknya hingga bocah enam tahun itu tertidur. Memandang wajah putranya yang terlelap, diam-diam Hana menyadari ada garis wajah Mahendra yang terpahat melekat di sana. Mirip sekali. Bedanya, Mahendra mempunyai kumis tipis, sedangkan Kaindra tidak.Terkadang, tanpa diundang terlintas bayangan wajah Mahendra merajai pikiran,
Terdengar suara bariton yang tiba-tiba mengusik perhatian dan pandangannya. Muak mendengar kalimat yang terkesan sok mengatur, Hana pun berbalik badan dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa menanggapinya. Pria itu mengikutinya. "Han, aku bertanya dan butuh kejelasan dari kamu. Kamu tahu, kini aku kembali dan mau minta maaf. Jadi, aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku ...."Kalimat itu terpotong begitu saja saat Hana pun melontarkan kalimat yang mematahkan kepingan hatinya. "Maaf mungkin Anda salah orang. Jadi tolong jangan menjadi pengganggu hidupku. Kita tidak saling kenal." Dia berlalu dan tak menghiraukan bagaimana mimik pria yang terus mengekorinya. "Han, beri aku kesempatan, jangan begini caranya menghindari aku. Sudah empat tahun aku mencari keberadaanmu dan kini aku senang bisa menemuimu lagi. Dan kurasa kamu cukup pintar untuk menangkap maksudku."Sejurus itu, Hana berbalik dan menampilkan tatapan melotot dengan raut api kebe