Beberapa detik dalam kondisi itu, mereka saling mengunci pandangan. Dekat sekali, hanya menyisakan beberapa centimeter saja. Sampai-sampai mereka bisa merasakan hangat napas dan debaran jantung yang tak karuan di rongga dada pasangannya. Nyaman? Iya, tak dipungkiri, Hana hanyut dalam dekapannya. Aroma parfum Mahendra yang familiar membius dirinya. Kalau saja, Elena tak mengeluarkan suara deheman, mungkin saja mereka sudah melakukan hal yang lebih dari itu. Menautkan kedua bibir mereka, mungkin."Dasar mesum, lepaskan!" Hana sengaja mengalihkan, seakan-akan pria itulah tersangkanya. "Tubuh kamu yang datang, Han. Aku hanya menyambutmu." Pria itu pun tak mau disalahkan walau memang tangannya yang refleks menarik tubuh Hana agar tak terjatuh. Itu saja."Aku didorong, mana mungkin aku sengaja mendatangimu. Kamu jangan ngada-ngada nuduh orang atas apa yang tak aku sengaja." Berjalan menjauhi, Hana bisa gila lama-lama berada di dekatnya. Aroma tubuh dan parfum yang dirindukan baru saja men
"Kamu apa-apaan, sih, Mas?" Gadis itu menepuk bahunya tetapi Mahendra tak peduli.Bukannya tak suka, Elena hanya tak ingin menambah kadar kejengkelan Hana. Lantaran dia menangkap raut wajah penolakan Hana saat melihat pria itu mengambil anaknya. "Tidak perlu, lepaskan anakku! Biarkan Kak Arsen saja yang menggendongnya."Hana merebut tubuh Kai yang kedua tangannya melilit erat di leher Mahendra. Sepertinya bocah itu tak ingin berpindah tempat. sSemakin tubuhnya ditarik semakin dia mempererat pelukan ke leher pria tersebut."Han, kamu jangan paksa, kamu menyakitinya. Nggak apa-apa aku yang bawa anak ini," ucap Mahendra dan mendapatkan penolakan dari Hana."Tidak bisa, ayo, Nak! Ikut Om Arsen. Kita mau pulang sekarang. Kamu harus istirahat.""Han.""Kamu lepasin tangan kamu.""Nggak bisa, bukan di aku. Kamu tak tahu bagaimana eratnya dia merangkul leherku. Aku juga hampir tercekik."Melihat mereka berdebat lagi, Elena pun mendekat dan memberi pengertian kepada Hana. Demi Kai."Biarkan
Di bangku belakang, Hana menatap pemandangan jalan dari balik kaca jendela. Sesekali ia menatap langit yang tanpa ditemani bulan maupun bintang dengan hati dan tatapan kosong. Wanita itu tak berniat sedikitpun menengok ke kursi depan.Tadi Hana tidak ada pilihan lantaran Kai yang memilih menumpang mobil sang ayah. Kalau tidak, dia pun tak sudi berada dalam satu mobil itu bersamanya. Dia sudah mati-matian menghindar, malah sekarang dirinya dipertemukan dalam kondisi seperti itu demi Kai.Melalui kaca spion, Mahendra mengamati setiap gerak-geriknya dalam diam. Dia tahu detik itu bukan saatnya untuk berbicara. Dia khawatir kejengkelan si wanita cantik akan bertambah beberapa level dan dia tak mau itu terjadi.Sempat berhenti di salah satu apotik, Mahendra kembali ke mobil dengan menenteng kresek putih berlogo apotik di tangan kanannya. Lalu, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang. Langit mulai menghitam saat mobil mereka membelah jalan ibukota yang tak pernah kenal kata sepi. Heni
"Pulanglah, Nak Hendra. Hari sudah malam. Biarkan Hana dan anaknya istirahat dulu."Mahendra membalikkan badan dan menemukan sang pemilik suara. Seorang ibu tangguh yang sudah berusia senja tetapi masih sanggup menerima pesanan ratusan kue dari pelanggannya. Mata ibu terlihat penuh harap agar pria yang berada di hadapan tidak mengganggu anak dan cucunya lagi. Benci, sepertinya sudah tidak, karena beriringan dengan waktu rasa itu semakin terkikis. Hanya saja, dia tak mau pria yang pernah menghancurkan masa depan putrinya kini kembali saat dia sudah berhasil mengembalikan segenap harapan hidup untuk putri dan cucunya."Maaf, Tante, kalau saya ganggu. Saya pamit dulu."Segan dan malu menghadapi orang tua itu, Mahendra pun patuh dan melangkah keluar. Dirinya merasa terusir dari rumah secara tidak langsung. Tidak ada ramah tamah di wajah ibu Hana, ia merasa dirinya tidak diterima di keluarga itu. Ia dapat merasakan perbedaan sikap wanita senja yang se
"Ma, bacakan cerita untuk Kai."Bocah itu duduk dan meminta ketika Hana sedang berdiri di depan meja hias. Wanita itu sedang berusaha menata perasaan yang nyaris hancur ketika melihat masa lalunya hadir kembali. Nyata dan sangat dekat. "Kai, kenapa bangun lagi? Apa ada yang sakit?" Dia mendekati dan menyentuh dahinya. Masih hangat. Sepertinya dia harus memberikan obat penurun panas kepadanya. Hana kembali ke dapur dan mengambil obat yang biasa dikonsumsi jika Kai demam. Obat dari Mahendra di meja sama sekali tak tersentuh olehnya.Setelah selesai minum obat, Kai kembali berbaring dan Hana mulai membacakan buku cerita untuknya hingga bocah enam tahun itu tertidur. Memandang wajah putranya yang terlelap, diam-diam Hana menyadari ada garis wajah Mahendra yang terpahat melekat di sana. Mirip sekali. Bedanya, Mahendra mempunyai kumis tipis, sedangkan Kaindra tidak.Terkadang, tanpa diundang terlintas bayangan wajah Mahendra merajai pikiran,
Terdengar suara bariton yang tiba-tiba mengusik perhatian dan pandangannya. Muak mendengar kalimat yang terkesan sok mengatur, Hana pun berbalik badan dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa menanggapinya. Pria itu mengikutinya. "Han, aku bertanya dan butuh kejelasan dari kamu. Kamu tahu, kini aku kembali dan mau minta maaf. Jadi, aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku ...."Kalimat itu terpotong begitu saja saat Hana pun melontarkan kalimat yang mematahkan kepingan hatinya. "Maaf mungkin Anda salah orang. Jadi tolong jangan menjadi pengganggu hidupku. Kita tidak saling kenal." Dia berlalu dan tak menghiraukan bagaimana mimik pria yang terus mengekorinya. "Han, beri aku kesempatan, jangan begini caranya menghindari aku. Sudah empat tahun aku mencari keberadaanmu dan kini aku senang bisa menemuimu lagi. Dan kurasa kamu cukup pintar untuk menangkap maksudku."Sejurus itu, Hana berbalik dan menampilkan tatapan melotot dengan raut api kebe
"Mana uangnya?"Pertanyaan yang tidak ingin didengar pun terucapkan oleh orang itu untuk kesekian kali. Telinga Hana berdengung kala mendengar bentakan pria yang ada di hadapannya sekarang."Maaf, Bang. Uangnya belum terkumpul. Tapi aku janji kalau sudah ada, aku akan lunasi semuanya." Dengan nada sedikit bergetar, Hana berusaha terlihat baik-baik saja karena dirinya tidak mau dicap lemah. Ia ingin tampak kuat agar pria itu tidak mem-bully-nya lagi."HALAH, alasan saja kau ini! Sudah hampir satu tahun kalian tinggal gratis. Janjinya mau bayar tapi apa? Baru seuprit saja. Kayaknya kalian tidak bisa tinggal di sini lagi sekarang. Mending aku sewakan ke orang lain biar ada untungnya."Pria itu memukul pintu berkali-kali membuat jantung Hana nyaris lompat dari rongganya. Kaget dan perasaan ngeri pun tiba seketika. Tidak ada yang ditakutkan seumur hidupnya, ia wanita tangguh dan kuat. Namun, jika sudah menyangkut keterancaman hidup keluarganya, ia akan
Mahendra adalah satu-satunya putra yang hidup bergemilang harta. Orangtuanya merupakan pemilik perusahaan minuman yang terkenal di Nusantara sedangkan orangtua Hana hanyalah seorang pedagang bubur jalanan dan ibunya tukang kue yang menitipkan barang dagangannya dari satu pasar ke pasar lain. Jomplang memang. Namun, atas nama cinta, Mahendra tidak pernah mempermasalahkan perbedaaan yang terlihat sangat jelas. Rasa cinta yang besar membuat pria ambisius itu ingin memilikinya dengan cara yang salah sehingga tidak sengaja menitipkan benih ke rahim Hana.Namun, niat menikahi sang pacar bukan hanya di bibir saja. Dia akan menunaikan janjinya jika sudah merasa mapan dengan jabatan direktur. Dia tidak ingin kehidupan Hana serba kekurangan seperti yang dirasakan Hana sekarang.Bagi Mahendra, tidaklah sulit mendapatkan wanita untuk dijadikan pendamping hidup. Lihat saja dirinya yang tampan, mapan, tubuh yang sempurna dan kepribadian tegas. Jelas semua kelebihan kau
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."