"Maaf, Bu. Saya telat."Ucapan tulus diberikan saat dia menemukan Kai dan Bu Siska sedang duduk di kursi panjang di depan lobi gedung."Oh, tidak. Kami barusan selesai dari panggung setelah serah terima penghargaan dan piala."Mata Hana fokus pada piala yang digenggam Kai dengan erat. Piala yang lebih besar dan bagus dari koleksi piala yang ada di rumah sekarang."Kai hebat, Bu. Bisa menang se-Jakarta. Saya mewakili sekolah mengucapkan selamat untuk Kai. Kami bangga mempunyai anak didik berprestasi seperti Kai."Bersamaan dengan ucapan Bu Siska, Hana berjongkok, mensejajarkan tubuh bocah pintar itu lalu mengecup kening dan memeluk erat. Ada haru dan bangga terpatri di dada ketika ia mendengar ucapan terima kasih dari pihak sekolah untuknya. Tidak sia-sia selama ini dia membanting tulang. Terkadang ia harus mengirim kue orderan di bawah panas matahari dan dengan tubuh yang tak kenal lelah. Seluruh hidupnya dikerahkan untuk masa depan Kaindra.Hana pun tak menyangka prestasi yang diraih
"Ma, kenapa menangis lagi?"Tak langsung menyahutinya, Hana mengusap jejak air di pipi. Bahkan dia memaki diri sendiri, betapa bodoh dirinya telah melupakan untuk tidak menumpahkan rasa sakit dengan menangis di depan putranya. Dia tak ingin ada yang tahu perasaan sedih yang kerap datang kala bayangan wajah atau ingatan peristiwa tentang Mahendra. Ternyata dia belum move on? Bukan, hanya saja semua insiden tentang Mahendra terlalu kuat mengakar di sudut hati yang terdalam. Sulit memang untuk ia melupakan sosoknya lantaran pria itu adalah cinta pertamanya. "Mama tidak nangis, Kai. Mama hanya terharu dengan prestasi kamu hari ini. Mama bangga punya anak pintar dan berbakat seperti kamu. Mama sayang kamu."Membentangkan kedua tangan menunggu reaksi Kaindra membalas pelukannya, Hana terpaksa berbohong dan memilih kalimat yang pas untuk mengalihkan pikiran Kai. Kai tidak boleh tahu hubungan ayah dan anak itu. Hana hanya ingin hidup tenang tanpa kehadiran sosok Mahen
"Maaf, Tante! Aku minta maaf! Aku datang karena ingin memperbaiki semuanya. Aku akan bertanggungjawab terhadap apa yang sudah aku lakukan dulu.""Kamu yakin Hana bisa memaafkanmu?" Nada ibu meninggi, geram sekali dengan pria yang sudah mengoyak harapan dan masa depan putrinya. Kini, ia berani menampakkan diri di hadapannya."Sulit memang, Tante. Tapi aku akan berusaha. Aku tidak mau menjadi pecundang untuk kedua kalinya. Aku akan membuktikan asal Tante izinkan aku bertemu dengannya."Kini pria itu datang kembali, menggenggam harapan untuk bisa membalut luka lama Hana yang sudah menganga. Walau belum yakin Hana sudi menemuinya lagi, setidaknya dia akan berjuang. Bagaimana kelanjutannya, dia akan memikirkan caranya nanti. Punya kesempatan untuk bertemu dulu, baru ia lihat bagaimana reaksi Hana terhadapnya. "Sudah kubilang dia tak ada!" Menutup pintu kembali, ibu sebenarnya tak ingin melihat wajahnya lagi. Sakit hati, ibu pun ikut merasaka
Dia gadis yang baik, cantik, manja dan paling mencolok adalah kepintarannya. Jadi tak heran, dia bisa lulus pendidikan kedokteran gigi dalam tiga tahun. Ayahnya adalah dokter gigi senior di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Jadi, tak sulit baginya untuk bisa praktek di rumah sakit yang sama.Lagi, Mahendra menuruti keinginannya dengan memejamkan mata dengan pikiran tertuju pada Hana. Berdoa dalam hati. Ada satu keinginan yang terbesar saat ini yaitu mendapatkan maaf dari Hana.***Tidak mau makan kue yang disuguhkan Elena, Mahendra memilih membawanya pulang dan memasukkan ke kulkas tanpa menyentuh seupil pun. Selesai membersihkan tubuh, dia pun merebahkan tubuh di tengah kesepian yang selalu menemani dirinya kala malam hari. Setelah pulang dari Jepang, dia pindah ke apartemen mewah yang dihadiahkan orangtua karena sudah menuruti keinginan terbesar mereka. Ia memandang langit kamar dengan meletakkan punggung telapak ke dahi, ingatan tenta
Pagi itu seusai sarapan roti dengan selai, Mahendra pun keluar dari unit dengan kaos lengan panjang navy dan jeans yang menempel sempurna di tubuhnya. Kaos lengan panjang itu sengaja digeser sampai di bawah siku, memamerkan otot tangan yang kokoh.Bersuka cita, hari itu dia akan mendatangi rumah kontrakan Hana. Dia akan berjuang lagi mendapatkan maaf dari wanita yang sudah ia tinggalkan tujuh tahun yang lalu. Bukan tanpa sebab, dia pergi begitu saja kala itu. Ada sesuatu yang lebih mendesak sehingga dia memilih terbang dan lupa memberi kabar untuk Hana.Sabtu pagi, di jalan yang lumayan padat, Mahendra harus menaikkan level kesabarannya ketika harus mengendarai mobil sendiri. Biasanya ada supir yang selalu standby membawanya pergi dan pulang dari kantor.Sekilas melirik jam digital di dasboard mobil mahalnya, dia berdecak kesal harus berada di antara mobil yang antri depan lampu merah. Angka sepuluh lebih lima belas menit yang terpampang jelas di sana.
Tidak sampai di situ, hatinya kembali tercubit ketika dia disuguhkan peristiwa saat pria berkumis tipis itu membawa sang bocah di atas pundaknya. Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia, menikmati kebersamaan di hari pekan seperti kebanyakan keluarga kecil yang bahagia. Sungguh pemandangan yang membuat matanya sakit dan memerah. Tatapan itu tadinya terkesan biasa, lama kelamaan berubah menjadi tatapan sinis, tajam dan tak suka.Bibirnya pun tak berhenti mengomel dari tadi. Ingin dia muncul di sana, tetapi hati kecilnya memberontak. Dia tak ingin mendapat penilaian negatif dari Hana lagi. Dia harus menunggu sampai ambang kesabarannya mencapai titik nol.Lagi, hatinya kian memanas, nyaris mencapai level puncak saat melihat Hana dengan berani berdiri mendekati, mengambil sesuatu yang ada di rambut cepak pria itu. Setelahnya mereka saling melempar senyuman, apakah itu senyuman cinta? Bukan, itu hanya senyuman simpati. Mahendra mencoba menepis semua dugaan yang sungg
Bab 15A"Mas Hendra? Ke sini juga?"Mencoba bersikap tenang, Mahendra membuang napas berulang. Tanpa dipersilakan, dokter gigi itu pun mengambil duduk bersisian dengannya. "Sama siapa? Sendiri?"Elena bertanya lagi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Pria itu mengangguk sambil berpura-pura fokus ke menu dan sesekali melirik ke arah ketiga orang itu lagi. Dia tidak ingin kehadiran Elena, menggagalkan rencananya karena tidak bisa mengikuti aktifitas Hana. Alasan apa coba yang akan dia berikan kepada Elena, ia tak mau ketahuan tengah menguntit Hana."Pas dong kalau gitu, aku juga lagi sendirian. Tadi aku ada janji sama teman, eh, dia dadakan tak bisa datang, anaknya rewel."Elena menarik menu dari genggaman pria penyuka cokelat panas dan memilih makanan dan minuman. Setelahnya, dia menyapu pandangan ke sekeliling kafe. Sorot mata itu berhenti setelah menangkap sosok yang dia kenal kemudian memicingkan mata untuk mempertajamkan penglihatan."Itu bukannya ...." Dia berdiri dan berjalan m
Mahendra bertanya. Sebelum mendapat persetujuan, dia langsung duduk di hadapan Hana, di sampingnya ada Kai yang menatap kagum sang juri yang gagah itu."Om juri?"Pria yang dipanggil pun mempersembahkan senyuman hangat sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Dia memberi anggukan kecil sebagai tanggapan. Hana cukup paham, berbeda dengan Arsenio dan Elena yang setengah paham tentang hal tersebut.Sesaat itu, Elena pun ikut duduk di samping Mahendra tanpa ingin bertanya. Buatnya, hal itu tak begitu penting dan matanya menyadari keberadaan Arsernio di meja itu."Eh, kayak kenal, ya? Tapi di mana?" Dia menunjuk ke wajah Arsenio yang mulai memberi senyuman tipis.Sementara dads Arsen masih disisipi sedikit penasaran, mengapa Kai bisa memanggilnya dengan sebutan om juri. Namun, pikirannya teralih ketika Elena mengajak bicara dan mulai menduga-duga tentangnya."Kamu dr.Elena dokter gigi?" Menebak sambil mencomot kentang goreng, Arsenio terlihat lebih santai