Happy reading :)
“Sayang, Abang….” Penuturan Zulkarnain terhenti. “Minta maaf ‘kan? Abang ini gimana nanti kalau sudah menikah ada yang bilang kalau Zeira ini bukan wanita baik-baik? Atau hal lainnya? Bisa saja ‘kan Zeira ini khilaf? Zeira ‘kan manusia bukan malaikat, Bang....” Penjelasan Zeira membuat semua orang menganga. Mereka menyadari kekurangyakinan Zulkarnain untuk memperistrinya. Manusia sebaik apa pun pasti pernah berbuat dosa, baik itu kecil, disengaja, maupun tak disengaja. Bisa saja bagi yang tidak menerimanya walaupun kesalahan kecil akan membuatnya marah, kecewa. Bukan hanya itu saja pernikahan pun dibuat goyah karenanya. “Sayang…Abang hanya cemburu!” jawaban itu membuat Zeira menatap lekat wajah tampan Zulkarnain. Sorot matanya ke dalam kornea mata Zulkarnain sangat dalam. Zulkarnain melangkahkan kakinya sangat dekat ke arah Zeira. Dekat sekali. Mereka berhadapan dengan jarak hanya 30 centimeter saja. Tepat pada pukul 24: 30. 16 januari. Tiba-tiba penghulu, saksi dari beberapa warga
“Teh Zeira….” Di ujung sana terdengar suara pelan Ida. Setelahnya, dia menangis histeris membuat Zeira menggertak, “Ada apa? Ida! Cepat katakan!!” Ida menghentikan tangisannya. Dia sunyi sejenak, hanya masih terdengar suara sisa-sisa tangisannya. Kemudian Ida pun menceritakan semuanya. -Jakarta- “Bu, yakin ini rumahnya?” tanya Adityawarman begitu dia turun dari mobilnya. Rumah Norma memang tidak sebesar Rumah Kebaya milik Jubaedah. Rumah ini kecil dan sangat sederhana akan tetapi bersih dan terawat. “Iya, Pak. Bapak masuk saja!” tutur montir cantik teman Zulkarnain yang bernama Anita. Iya Anita sekarang sudah menjadi kaki tangan Aminah semenjak dirinya mengetahui kalau hati Zulkarnain telah dimiliki Zeira. Cinta tidak didapat, akhirnya bertemu dengan teman Dahlan dan menyetujui untuk menjadi mata-mata Aminah. Maka dapatlah uang. Anita masuk terlebih dahulu ke rumah Norma. Norma yang sedang melaksanakan sholat isya pun, kehadiran Anita yang diikuti oleh Adityawarman disambut oleh
“Tidak dinginkah?” Pertanyaan dengan tatapan meminta haknya. Hak sebagai suami, tepatnya malam pertama. Senyuman Zeira terulas menawan nampak dari kedua mata Zulkarnain. Entah apa artinya senyuman itu karena perasaan dan pikiran Zeira sedang tidak karuan. Bisa saja dia hanya memanipulasi perasaan sesungguhnya demi suami barunya. Seolah belum menerima jawaban sesungguhnya lagi-lagi bisikan kata-kata mesra itu diulang, “Sayang…tidak dinginkah?” Tangan yang tadi menggenggam jemari pun sekarang beralih ke pinggang. Zeira bergeming serta masih dengan reaksi yang sama adalah menoleh. Kedua sorot bola matanya kini sedikit dalam masuk ke dalam kornea mata Zulkarnain minta sebuah pengertian. Seakan mengerti kalau ini adalah bukan waktu yang tepat lelaki yang sudah ingin merasakan nikmatnya surga dunia pun berbicara demi menutupi rasa keinginannya, “Kita istirahat saja, setelah dari sini kita harus pergi ke Padang dan membicarakan perihal Zidan pada keluarga Aminah.” Zeira mengangguk pelan, se
“Mana anak itu?” Munandar melotot sembari memutar pandangannya ke arah ruangan dan serta merta langsung naik ke lantai dua, diikuti oleh Sander juga Angel. “Besan, sabar dulu. Anak itu sedang tidur….” Adityawarman mencoba menarik lengan Munandar. Munandar menoleh ke arahnya. “Artinya dia sudah ada di sini ‘kan?” Sekarang merendahkan nada bicaranya. “Oh, jadi ada andil Ayah di sini.” Syahrizal membuka suara. “Kamu tidak kasian memang sama Aku?” Angel melirik pada Syahrizal seolah meminta dimengerti. Angel dengan Syahrizal memang tidak pernah bertegur sapa. Mereka berdua dari awal mengetahui memiliki talian persaudaraan, akan tetapi tak menerima satu sama lain. Syahrizal yang memiliki sifat fanatik pada kepercayaannya menganggap kalau Angel hanya orang lain. “Semua ‘kan karena Kamu sendiri. Semestinya tak harus mengikuti arahan siapa pun. Menikah dengan orang yang telah memiliki istri dan anak sama saja menjadi benalu. Terlebih lagi Kamu seharusnya memahami kepekaan perasaan wanita.”
"Dia tanya kenapa Sayang memberikan Zidan pada ibunya," jawab Zulkarnain dengan menatap wajah istrinya. "Kenapa dia tanya demikian?" Zeira masih penasaran. "Tadi seharusnya Zeira yang angkat teleponnya, biar dijelaskan secara gamblang." Sambungnya kemudian. Zulkarnain tidak menggubris apa yang terucap. Laki-laki ini memang sudah menginginkan kenikmatan sepenuhnya. Dia malah menarik lengan Zeira ke arahnya sehingga membuat badan Zeira menubruk ke pangkuannya. "Sayang...." Ucapan mesra Zulkarnain itu membuat Zeira menatap wajahnya sambil berbicara pelan sekali, "Abang, mau sabar 'kan?" tangannya mengelus halus wajah tampan itu. "Abang, sudah tak tahan sih... tapi kalau Sayang belum siap karena merasa sedih kehilangan Zidan, Abang tidak mengapa kok...." Zeira menarik napas, "Artinya Abang nggak sabar. Ayo...." ajakan spontan namun terdengar mengasikan di kuping Zulkarnain. Zeira memahami kalau dirinya adalah seorang istri. Pun dia tahu suaminya ini ingin dilayani. Zeira sosok wan
Angel tidak menimpali apa pun begitu melihat ayahnya marah. Mereka berdua akhirnya bergegas masuk ke dalam bandara. Tak begitu lama pintu pesawat pun dibuka. Wanita cantik berambut pirang itu menaiki tangga untuk masuk ke dalam pesawat. Sementara pandangannya sejenak menoleh ke arah luar. Entah apa maksudnya itu semua, jelasnya ada ungkapan yang tak terucap. Dia serta Sander pun masuk ke dalam pesawat, mereka duduk berdampingan. "Sekarang kita lupakan semuanya. Kalau Kamu sudah tidak menginginkan Nizam, Ayah pun mendukungmu. Kita kembali ke masa dulu." Tutur Sander dengan lengannya menarik bahu putrinya agar tidur di dadanya. ***- Belgia-Nizam masih di dalam kamarnya dan masih merenung akan apa yang harus ditindak lanjuti olehnya. Masa iya setelah tahu anaknya diambil kedua orang tuanya sama sekali tidak ingin menanyakannya. Setelah hampir setengah jam berpikir, akhirnya dia pun memutuskan untuk menelpon ibunya. Baru saja akan menekan nomor teleponnya, Mark sudah berdiri di belakang
Nizam sekarang ada di dalam rumah mewah milik kedua orang tuanya. Di atas sofa ruang tamu, Nizam terlelap hingga bermimpi bertemu Zeira serta Zidan. Wangi kopi tubruk yang sudah terkenal itu menyerbak ke penciuman Nizam. Wangi itu terdapat dari secangkir kopi yang dipegang oleh Adityawarman persis di depan wajah Nizam. "Ayah, Zidan di mana?" Ya, berbulan lamanya Nizam menunggu di Belgia. Dia bekerja tanpa lelah agar dirinya memiliki dana untuk pulang ke Padang. Itu, terlaksana sekarang. Dia kembali, serta langsung mencari-cari Zidan kemana-mana hingga melapor pada polisi. Kendati berusaha menelpon Angel untuk menanyakan keberadaan putranya, akan tetapi disambut dingin olehnya. Bahkan sama sekali tidak digubris olehnya juga seluruh keluarga besarnya. Sudah dipahami oleh Nizam alasannya, dan dia tak ambil pusing. Bukan hanya itu saja, keadaan anaknya dalam perut Angel pun tak dikabarkan apa-apa oleh keluarga Sander. Sedangkan Nizam tak ingin tahu sama sekali. Sementara Munandar sengaj
Tawaan Zeira memang terdengar bahagia di kuping semua orang yang ada di sana. Tapi, tidak dengan hatinya. Hatinya sangat sakit, hati itu sudah dimiliki oleh putranya. Putra kesayangannya, yang kini entah di mana. Pepes ikan emas sudah tersaji di atas meja makan terbuat dari bambu, demikian pula dengan semur daging dan sup ayam kampung. "Pak, Mang Dodo, Entis, ayo kita makan dulu, selagi hangat!" ajaknya dengan mendatangi mereka bertiga yang sedang beristirahat setelah bekerja membetulkan kamar Zeira. Mereka bertiga pun menengok ke arah Zeira, "Iya, Neng...." Sahut Adam. Dan, "Iya Teh...." Sahut Entis dan Mang Dodo. Sedangkan Adam berbicara, setelah dirinya duduk di atas kursi menghadap ke arah makanan, "Neng Zeira, coba lihat kamarmu itu...." Zeira menoleh ke arah kamar yang pintunya sekarang sudah diganti. Pintu kamar itu dicat berwarna hijau. Dia pun melangkah ke arah sana. Dibukanya pelan pintu itu. Setelah dibuka, nampak di dalamnya tempat tidur, lemari pakaian, serta meja rias