Lantunan suara musik romantis terdengar memenuhi ruangan. Theodor duduk di depan pianonya, jemarinya yang panjang bergerak cepat menekan tuts yang menciptakan melodi cantik. Sepasang matanya tidak berhenti memandangi permukaan piano yang memantulkan cahaya dari lampu tembak yang berada di atas panggung.Para penonton duduk diam dalam keterpukauan mendengar lantunan piano dan violin. Mereka tenggelam dalam irama musik cantik yang menemani Februari berhujan mereka yang penuh romansa. Bibir Theodor sedikit terbuka, pria itu menarik napasnya dalam-dalam, di antara suara musik yang mengalun, pikirannya melayang teringat dengan apa yang telah dia dapat di meja kerjanya hari ini.Sebuah undangan pernikahan antara Alice dan Hayes.Akhirnya mereka kembali bersama dan menikah. Theodor tersenyum samar dengan tatapan mata yang kosong, dirinya hanya seorang insane yang sempat singgah di antara Alice dan Hayes, lalu pergi ke tempat yang seharusnya.Awal musim seminya telah berlalu dengan cepat,
Waktu bergerak dengan cepat, semua persiapan pernikahan telah berjalan dengan lancar, dan besok adalah hari dimana pernikahan itu akan berlangsung setelah dua minggu lamanya melakukan persiapan.Alice memutuskan untuk membuat upacara pernikahan yang sederhana karena public masih mengetahui jika sampai saat ini dia menantu keluarga Borsman. Dari sekian banyak tempat yang bisa dipilih, akhirnya Alice memutuskan membuat upacara pernikahan di hutan halaman rumah. Dimana ditempat itu, ada banyak hamparan bunga yang tumbuh pemberian Hayes.Alice ingin upacara pernikahannya kali ini disaksikan oleh bunga-bunga yang telah menjadi saksi perjalanan bagaimana Hayes berjuang selama ini.Hayes membuka tutup buku dalam genggamannya, dia sedang berusaha untuk menyibukan pikirannya sendiri agar bisa tenang, namun tampaknya itu tidak berhasil. Hayes gelisah tidak seperti biasanya sampai membuat teman-temannya melihat dengan khawatir.Hayes tahu ini pernikahan yang kedua dengan perempuan yang sama, d
“Bagaimana kabarmu?”“Seperti yang kau lihat saat ini, keadaanku cukup baik,” jawab Theodor terdengar ramah dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apapun diantara mereka agar Alice tidak terbebani dengan apapun yang terjadi di masa lalu mereka berdua.Alice tersenyum tangannya meremas bawahan meja dengan kuat. “Syukurlah, aku senang mendengarnya,” ucap Alice canggung.“Kenapa kau datang malam-malam ke gereja?”“Aku gelisah dan butuh berdo’a,” jawab Alice pelan.Keduanya terjebak dalam keterdiaman, tidak tahu apa yang harus berbicara apa selanjutnya. Tidak ada sesuatu yang perlu dibicarakan seolah semuanya sudah selesai sampai tidak menyisakan kata.Theodor berdeham memecah keheningan. “Selamat atas pernikahanmu, semoga semuanya berjalan dengan lancar, aku ikut senang akhirnya kau bisa kembali bersama Hayes,” ucap Theodor dengan tulus.Tidak ada sedikitpun penyesalan atas perpisahan yang telah terjadi, Theodor senang jika akhirnya Alice bahagia dan laki-laki yang berada di sampingnya
Suara golden hours piano terdengar, semua mata tertuju pada Theodor yang kini duduk didepan sebuah piano tengah memainkan musik sebagai hadiah pernikahan untuk Alice dan Hayes.Upacara pernikahan sudah berjalan lancar, dan kini semua orang sedang menikmati sore mereka di resort keluarga Borsman yang sudah selesai dibangun. Kini orang-orang berkumpul didepan sebuah kolam renang besar yang mengarah langsung ke arah pantai yang berwarna biru jernih dan pasir putih bersih dimana semua orang bebas berenang di tempat itu.Pesta sederhana yang privat ini hanya dihadiri oleh orang-orang yang dianggap seperti keluarga.Dari kejauhan Damian tidak pernah bosan melihat putranya yang kini banyak tersenyum dan tertawa lepas, berbicara dengan orang-orang disekitarnya yang dipenuhi aura positif. Tidak hanya Hayes yang terlihat bahagia, Alicepun begitu. Sangat memuaskan bisa melihat gadis itu bisa benar-benar tersenyum dengan mata berbinar menunjukan banyak kebahagiaan.Dia tidak lagi dikucilkan, d
Bayangan tubuh Alice dan Eniko yang berdiri terlihat di atas rerumputan hijau, angin bergerak kencang menyapu rambut panjang Alice yang terurai. Alice terus memperhatikan gerak-gerik Eniko yang tidak terbaca.Eniko sangat tenang, anehnya senyuman ramah yang dia tunjukan menciptakan kewaspadaan yang tidak bisa dijelaskan.“Anda ingin berbicara apa?” tanya Alice dengan formal, Alice belum bisa mengetahui seperti apa sifat wanita yang berdiri di hadapannya. Alice tidak ingin cepat menilai, sama seperti yang pernah terjadi padanya dan Bella di masa lalu.Eniko menyampirkan rambut merah berkilaunya di belakang telinga, wanita itu kembali tersenyum tatkala Theodor yang tengah berbicara dengan Hayes dan Aaric, kini memelototi Eniko seakan tengah memberi peringatan agar Eniko berhati-hati dalam bersikap.Betapa lucunya pria itu, Eniko pikir Theodor tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik karena tergila-gila pada Vanka. Siapa sangka jika Theodor telah berubah melampaui ekspektasi Eniko.
Langit sudah gelap, pesta sederhana sudah selesai diselenggarakan dan kini semua orang tengah menikmati waktu beristirahat mereka di kamar masing-masing, termasuk tuan rumah pesta.Alice berdiri di depan cermin besar tengah menalikan tali gaun tidurnya, rambutnya yang setengah basah meninggalkan beberapa tetes air dipermukaan kain.Alice sudah kembali lebih awal sejak satu jam yang lalu, dia sengaja memberi Hayes waktu lebih banyak untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Mungkin, sekarang Hayes sudah datang menyusul masuk ke dalam kamar.Suara helaan napas yang berat terdengar dari mulut Alice, beberapa kali dia menampar dan mencubit pipinya yang pucat.Alice menengok ke belakang dengan gugup, memeperhatikan pintu ruangan pakaian yang tertutup rapat.Gugup..Itulah yang Alice rasakan sejak tadi.Alice menelan salivanya dengan kesulitan, kakinya sedikit gemetar lemas karena gugup, dia tahu ini malam pertamanya dengan Hayes, namun Alice bingung harus bertindak apa dan harus b
Alice terengah menatap langit-langit kamar yang terlihat berputar, gadis itu masih terjebak dalam sisa-sisa euphoria percintaannnya.Rambutnya yang panjang terlihat berantakan menempel pada pipinya yang berkeringat dan memerah.Rembulan terlihat di antara kegelapan, bergerak sedikit demi sedikit menuju ke arah barat.Hayes membungkuk mengecup kening Alice sebelum beranjak memungut jubah mandinya yang tergeletak di lantai. Pria itu pergi ke kamar mandi, dan tidak berapa lama setelah itu dia membawa sewadah air hangat dengan handuk.Hayes duduk di sisi ranjang, menyibak selimut yang menutupi tubuh telanjang Alice. “Apa yang kau lakukan?” tanya Alice beringsrut mundur.“Tetaplah diam, aku akan membersihkanmu,” jawab Hayes dengan suara yang lembut, menahan kaki Alice agar tidak merapat.“Aku bisa sendiri Hayes,” tolak Alice, dia malu mendapatkan perlakuan intim seperti ini meski sudah melewatkan sesi percintaan malam pertama mereka.“Diam saja Alice,” jawab Hayes lagi tidak mempedulikan
Satu bulan kemudian..“Kakak sudah siap-siap?” tanya Athur.Alice mengangguk tanpa suara, hari ini dia akan diantar Athur untuk membuat paspor. Setelah menikah kembali dengan Hayes dan mengambil alih tanggung jawab sebagai nyonya Borsman, Alice diharuskan memiliki paspor karena ada beberapa pertemuan yang mengharuskan Alice menemani Hayes pergi keluar kota, hingga luar negeri.Setelah hampir satu bulan lamanya menghabiskan waktu bulan madunya dengan Hayes di Emilia Island, dua hari yang lalu Hayes telah kembali ke kota Andreas. Karena itulah kini Athur yang menemani kakaknya.Athur membungkuk memperhatikan wajah Alice yang terlihat pucat pasi dan lemas. “Kakak kenapa? Kakak terlihat seperti sedang sakit.”“Aku merasa sangat mual dan pusing,” bisik Alice dengan suara yang serak sambil mengusap keningnya dengan pijatan kuat. Beberapa hari terakhir ini Alice sangat lemas dan malas bergerak, dia juga tidak nafsu makan.“Kenapa baru mengatakannya sekarang? Aku akan memberitahu Merry agar d