Bayangan tubuh Alice dan Eniko yang berdiri terlihat di atas rerumputan hijau, angin bergerak kencang menyapu rambut panjang Alice yang terurai. Alice terus memperhatikan gerak-gerik Eniko yang tidak terbaca.Eniko sangat tenang, anehnya senyuman ramah yang dia tunjukan menciptakan kewaspadaan yang tidak bisa dijelaskan.“Anda ingin berbicara apa?” tanya Alice dengan formal, Alice belum bisa mengetahui seperti apa sifat wanita yang berdiri di hadapannya. Alice tidak ingin cepat menilai, sama seperti yang pernah terjadi padanya dan Bella di masa lalu.Eniko menyampirkan rambut merah berkilaunya di belakang telinga, wanita itu kembali tersenyum tatkala Theodor yang tengah berbicara dengan Hayes dan Aaric, kini memelototi Eniko seakan tengah memberi peringatan agar Eniko berhati-hati dalam bersikap.Betapa lucunya pria itu, Eniko pikir Theodor tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik karena tergila-gila pada Vanka. Siapa sangka jika Theodor telah berubah melampaui ekspektasi Eniko.
Langit sudah gelap, pesta sederhana sudah selesai diselenggarakan dan kini semua orang tengah menikmati waktu beristirahat mereka di kamar masing-masing, termasuk tuan rumah pesta.Alice berdiri di depan cermin besar tengah menalikan tali gaun tidurnya, rambutnya yang setengah basah meninggalkan beberapa tetes air dipermukaan kain.Alice sudah kembali lebih awal sejak satu jam yang lalu, dia sengaja memberi Hayes waktu lebih banyak untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Mungkin, sekarang Hayes sudah datang menyusul masuk ke dalam kamar.Suara helaan napas yang berat terdengar dari mulut Alice, beberapa kali dia menampar dan mencubit pipinya yang pucat.Alice menengok ke belakang dengan gugup, memeperhatikan pintu ruangan pakaian yang tertutup rapat.Gugup..Itulah yang Alice rasakan sejak tadi.Alice menelan salivanya dengan kesulitan, kakinya sedikit gemetar lemas karena gugup, dia tahu ini malam pertamanya dengan Hayes, namun Alice bingung harus bertindak apa dan harus b
Alice terengah menatap langit-langit kamar yang terlihat berputar, gadis itu masih terjebak dalam sisa-sisa euphoria percintaannnya.Rambutnya yang panjang terlihat berantakan menempel pada pipinya yang berkeringat dan memerah.Rembulan terlihat di antara kegelapan, bergerak sedikit demi sedikit menuju ke arah barat.Hayes membungkuk mengecup kening Alice sebelum beranjak memungut jubah mandinya yang tergeletak di lantai. Pria itu pergi ke kamar mandi, dan tidak berapa lama setelah itu dia membawa sewadah air hangat dengan handuk.Hayes duduk di sisi ranjang, menyibak selimut yang menutupi tubuh telanjang Alice. “Apa yang kau lakukan?” tanya Alice beringsrut mundur.“Tetaplah diam, aku akan membersihkanmu,” jawab Hayes dengan suara yang lembut, menahan kaki Alice agar tidak merapat.“Aku bisa sendiri Hayes,” tolak Alice, dia malu mendapatkan perlakuan intim seperti ini meski sudah melewatkan sesi percintaan malam pertama mereka.“Diam saja Alice,” jawab Hayes lagi tidak mempedulikan
Satu bulan kemudian..“Kakak sudah siap-siap?” tanya Athur.Alice mengangguk tanpa suara, hari ini dia akan diantar Athur untuk membuat paspor. Setelah menikah kembali dengan Hayes dan mengambil alih tanggung jawab sebagai nyonya Borsman, Alice diharuskan memiliki paspor karena ada beberapa pertemuan yang mengharuskan Alice menemani Hayes pergi keluar kota, hingga luar negeri.Setelah hampir satu bulan lamanya menghabiskan waktu bulan madunya dengan Hayes di Emilia Island, dua hari yang lalu Hayes telah kembali ke kota Andreas. Karena itulah kini Athur yang menemani kakaknya.Athur membungkuk memperhatikan wajah Alice yang terlihat pucat pasi dan lemas. “Kakak kenapa? Kakak terlihat seperti sedang sakit.”“Aku merasa sangat mual dan pusing,” bisik Alice dengan suara yang serak sambil mengusap keningnya dengan pijatan kuat. Beberapa hari terakhir ini Alice sangat lemas dan malas bergerak, dia juga tidak nafsu makan.“Kenapa baru mengatakannya sekarang? Aku akan memberitahu Merry agar d
Senyuman sumringah mengukir bibir Damian, pria paruh baya itu bersedekap memandangi potret photo pernikahan Alice dan Hayes yang kini menghiasi dinding ruangan kerjanya.Damian sudah bisa membayangkan jika Sembilan bulan lagi, akan ada sosok baru yang nanti ikut ke dalam potret dan duduk di pangkuannya.Sekali lagi Damian tersenyum lebar, betapa bahagianya dia hari ini mendapatkan kabar kehamilan Alice.Saking bahagianya Damian dan Hayes hari ini, sepanjang rapat berlangsung mereka berdua saling cekikikan dan berbisik mempertanyakan apa jenis kelamin anak yang dikandung Alice sampai membahas nama yang pantas diberikan.“Aku akan segera menjadi kakek,” cekikik Damian. “Ah, aku hampir lupa.”Damian mengambil handponenya dan mengusap layar, dia harus menyampaikan kabar kehamilan Alice kepada Claud Borman. Seorang penerus baru akan hadir, dan kini semua orang harus menjaga ekstra Alice.Beberapa deringan terdengar, dengan cepat Claud Borsman menerima panggilan dari Damian.“Ada apa Damian
Suara deburan ombak sayup-sayup terdengar, jendela yang terbuka menggerakan gorden putih yang menjuntai ke lantai. Langit yang gelap berubah kebiruan menandakan malam akan segera berakhir.Alice bergerak merasakan hangat dan telapak tangan Hayes yang tidak jauh dari perutnya. Perlahan Alice membuka matanya, pandangannya langsung tertuju pada Hayes yang kini terbaring miring memperhatikan Alice entah sejak kapan. “Kau tidak tidur?” tanya Alice dengan sura serak.“Aku tidak bisa tidur,” bisik Hayes menjawab. Pikiran Hayes sedang berkecamuk, namun berada dalam sesuatu yang baik. Kabar kehamilan Alice masih terasa seperti mimpi untuknya, semuanya terasa mendebarkan, bahagia sekaligus khawatir.Hayes sangat bahagia memikirkan bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah.Disisi lain Hayes tidak bisa berhenti memikirkan kondisi Alice yang baru pulih. Bagaimana jika Alice terbebani dan kembali sakit karena kehamilannya?“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Alice tidak dapat menaha
Orang-orang utusan Claud Borsman langsung pergi usai menyelesaikan tugas mereka. Tumpukan kotak barang tertata rapi di sudut ruangan dalam jumlah yang banyak. Sepertinya hadiah yang Claud Borsman kirimkan adalah pertanda baik untuk masa depan,“Kenapa kau mau menerima hadiah itu? Aku bisa menggantikan semuanya jika kau mau,” ucap Hayes kembali membuka suara.“Apa kau marah dengan keputusanku menerima hadiah itu?” tanya balik Alice dengan hati-hati.“Aku tidak marah. Aku hanya tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Alice, mengapa kau mau menerima hadiah dari seseorang yang selama ini menjadi penyebab kesengsaraan hidupmu, perlakukanlah dia seperti orang asing yang tidak kau kenal,” jawab Hayes dengan jujur.“Apa yang telah dilakukan oleh Claud Borsman di masa lalu tidak akan memberikan perubahan apapun meski aku menolak hadiah pemberiannya,” jawab Alice pelan.“Dia merubah suasana hatiku menjadi buruk hanya dengan mendengar namanya.”Alice tersenyum lembut, dia meraih tangan Hayes dan
Pertanyaan sederhana Eniko membuat Theodor menggeleng tanpa keraguan. “Jika ada sesuatu yang pergi dariku, akupun akan pergi, hanya saja saat ini aku belum menemukan tujuan baru yang bisa membuatku bergerak menuju jalan baru.” “Apa itu artinya, kau akan mencitai perempuan baru lagi?”Theodor menyeringai jahat. “Tentu saja, aku akan bertemu dengan perempuan yang cocok denganku, terkecuali kau,” jawab Theodor blak-blakan.Eniko tertawa, tidak ada kesedihan maupun kekecewaan dimatanya, dia tetap tenang seperti biasa seakan apapun yang Theodor katakan tidak akan pernah berpengaruh untuknya.“Bagaimana dengan tugasmu?” tanya Theodor berbasa-basi.Dalam satu gerakan kaki Eniko bergerak menghadap Theodor, sorot matanya yang hangat mengunci pandangan Theodor. “Aku meninggalkan barak perang setelah suasana perbatasan mereda. Aku kesini karena merindukanmu,” Bibir Theodor terkatup rapat, ada sesal yang tumbuh di dada melihat ketulusan Eniko yang terkadang membuatnya merasa bersalah karena sel