Bab 27 : Mimpi Sang Naga ResiPrabu Surya Buana akhirnya sampai di puncak gunung Bhanurasmi dan berjumpa dengan Naga Langit. Kini dia telah berdiri di hadapan sesosok makhluk raksasa yang sangat besar itu,Naga Langit memiliki dua sayap seperti kelelawar, berbadan ular dan dipenuhi sisik hijau cemerlang dari kepala hingga ekor. Tubuhnya mengawang di udara dan berkelok-kelok, sedangkan ujung buntutnya menyentuh tanah dan menyala seperti bara api, di kepalanya terdapat dua tanduk emas menyerupai tanduk rusa, dan pada bagian lehernya tumbuh rambut lebat seperti surai singa jantan.“Akhirnya kau datang jua menemuiku, Nanda Prabu Surya Buana,” ucap Naga Langit.Sang prabu pun bertanya, “Ada gerangan apakah sehingga Eyang Naga memintaku datang kemari?”Naga Langit menjawab, “Nanti akan kujelaskan padamu, Nanda, tentang mengapa kau kupanggil ke tempat ini, tapi sebelumnya, aku sedang menunggu satu orang lagi yang akan muncul.
“Menitis kembali setelah lima puluh tahun?” Prabu Surya Buana tak habis pikir mendengar ucapan Naga Langit tentang Iblis Hitam karena sangat terkejut. “Bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Eyang Naga?”“Tidak ada yang tidak mungkin, Nanda Prabu,” jawab Naga Langit. “Bukankah Iblis juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti kita semua? Tuhan Maha Kuasa untuk memperbuat apa pun terhadap makhluk-Nya. Meski Iblis itu jahat, tapi di sisi lain, sebagai ciptaan Tuhan dia juga memiliki hak untuk memohon sesuatu kepada Tuhan, sebagaimana siapa pun orang boleh meminta kepada Tuhan.”“Iya, benar sekali apa yang Eyang Naga katakan,” angguk prabu Surya Buana bisa mengerti. “Iblis juga punya hak untuk mengajukan sebuah permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Tuhan tentu menghendaki ini pula sebagai cobaan bagi kita semua agar kita kuat menghadapinya.”Naga Langit lalu menyampaikan kata-kata penuh hikmah kepada semua orang yang hadir di tempat itu. “Sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan kegelapan
Di waktu pagi saat ayam jantan berkokok dan kicauan burung-burung menyambut sinar matahari di langit timur, Sapardi, juru masak yang biasa bekerja di dapur, berjalan tergesa-gesa menuju kamar Giandra.“Kakang Giandra Lesmana! Cepat keluar, Kakang!” ujarnya dengan sangat mendesak.Giandra ternyata baru saja selesai mandi, dia pun segera buru-buru mengenakan pakaian, kemudian langsung membukakan pintu. Sapardi berdiri di hadapannya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.“Ada apa, Sapardi?” tanya Giandra keheranan.Dengan jantung yang masih berdegup kencang Sapardi memberitahu, “Guru besar telah meninggal. Ada yang membunuh beliau di kamar tidurnya.”“Apa! Bagaimana mungkin!” Giandra merasa tidak percaya akan hal itu.“Kakang lihat saja sendiri ke kamar beliau,” kata Sapardi. Linangan air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang gemuk.Tanpa pikir panjang, Giandra segera berlari
Semua murid hanya terdiam setelah mendengar ucapan Raditiya. Apa yang dia ucapkan itu terdengar seperti sedang menduga-duga siapa pelaku di balik pembunuhan ini.Sambil menggenggam pisau tadi di tangannya, Raditiya menatap pada semua murid yang hadir, “Jika benar kalau yang membunuh guru besar kita adalah Gerombolan Nogo Ireng, pasti orangnya adalah Panglima Sanca, ketua para perampok itu!”“Panglima Sanca? Gerombolan Nogo Ireng?” Kamajaya mengerutkan dahinya.Padmarini pun lalu berkata, “Kita semua tahu kalau guru adalah pendekar yang tangguh, mana mungkin bisa dibunuh dengan begitu mudah di kamarnya sendiri. Bahkan malam tadi benar-benar sunyi, tidak ada suara keributan apa pun yang terdengar, bagaimana si pembunuh bisa masuk ke padepokan kita?”“Pasti Panglima Sanca telah menggunakan ilmu sirep, suatu jenis sihir yang memakai mantra tertentu untuk membuat kita semua jadi tertidur pulas,” ujar Raditiya memandang pada Padmarini.“Ilmu sirep? Aku baru mendengar kalau ada sihir seperti
Di balik Bukit Sarang Merpati ada sebuah lembah yang ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan obat. Di sinilah tempat berdirinya perguruan Teratai Jingga, salah satu perguruan silat yang cukup disegani dan memiliki nama yang tersohor.Janaloka sekarang berdiri di hadapan pintu gerbang perguruan tersebut. Dia datang dengan membawa sebuah pesan dari Ki Nawasena, yaitu ajakan persatuan kepada seluruh pendekar aliran putih untuk melawan huru-hara di dunia persilatan.Empat orang murid yang menjaga pintu gerbang lalu menghampiri Janaloka. Salah satu dari mereka bertanya, “Siapa kau, Orang Tua? Ada urusan apa datang kemari?”Murid perguruan itu bertanya dengan nada kasar, tapi Janaloka menjawabnya dengan tenang, “Namaku Janaloka. Aku adalah teman dari mendiang guru besar kalian, Nyai Maheswari. Aku datang hendak bertemu penerus perguruan ini. Ada hal penting yang mesti aku sampaikan.”Murid itu bertanya lagi, “Darimana kautahu bahwa
Alindra pagi itu sedang sibuk menyirami tanaman obat, dia dibuat terkejut karena mendengar suara keribuatan yang bersumber dari arah pintu gerbang. Abirama lalu muncul dan berjalan menghampirinya, tampaknya sang kakak itu juga mendengar suara yang sama.“Sepertinya sesuatu telah terjadi di depan sana,” kata Abirama kepada Alindra.“Ayo kita coba lihat ke sana, Kakang” ajak Alindra, dia lalu meletakkan di tanah gayung yang tadi dipakainya untuk menyirami tanaman.Mereka berdua segera bergegas mendatangi sumber keributan itu. Hanya baru beberapa langkah keduanya berjalan, tiba-tiba Janaloka pun muncul di hadapan mereka. Alindra dan Abirama merasa asing dengan tamu yang datang ini.Janaloka menjura hormat kepada keduanya. Sambil tersenyum, dia pun berkata, “Maafkanlah aku yang sudah membuat keributan di tempat ini. Aku terpaksa memberi sedikit pelajaran pada empat murid yang tadi menghalangiku. Perkenalkan, namaku Janaloka, aku
Janaloka mengusap jengkot putihnya yang panjang. Dia berkata, “Kalau begitu, ini memang sudah saatnya akan terjadi peperangan besar antara kebaikan melawan kejahatan. Tugas kita adalah mempersiapkan diri. Cepat atau lambat, musuh pasti akan menyerang kita semua.”“Mungkin itu saja pesan yang bisa kusampaikan dari gusti prabu kepada kalian,” ujar Senopati Taraka kepada Abirama dan juga Alindra, ini sebagai tanda kalau dia masih harus mendatangi perguruan yang lain. “Jika kalian sudah punya waktu luang, aku harap segera menghadap ke istana dan menemui gusti Prabu Surya Buana.”Janaloka bertanya, “Setelah ini Tuan Senopati akan pergi kemana?”“Mungkin aku akan ke padepokan Lenggo Geni di seberang Sungai Pinang Muda. Aku hendak menemui Datuk Ancala Raya untuk menyampaikan pesan yang serupa kepadanya,” jawab Senopati Taraka. “Datuk Ancala Raya? Apakah pendekar sepuh itu masih hidup hingga hari ini?” Janaloka mengernyitkan kulit dahinya.“Iya, beliau masih hidup sampai sekarang walau umurn
Dalam sebuah desa di seberang Sungai Pinang Muda, Patrioda tengah melatih anak-anak murid padepokan Lenggo Geni. Ada empat puluhan orang yang sedang berlatih siang itu, sebagiannya lagi sedang beristirahat, dan sisanya yang ain menjalankan tugas menjaga gerbang padepokan.Patrioda berjalan di antara para murid, membimbing mereka dalam melakukan sikap kuda-kuda, membetulkan posisi tangan dan juga posisi mereka berdiri. Dia menguji kekokohan kuda-kuda setiap anak didiknya dengan menendang kaki mereka satu persatu.Di bawah terik mentari yang membakar kulit, murid-murid padepokan Lenggo Geni tetap semangat dan tidak manja. Mereka sadar kalau sebentar lagi akan ada perang besar antara aliran putih dan aliran hitam, sebab berita munculnya Persaudaraan Iblis telah sampai ke telinga Datuk Ancala, maka sedari sekaranglah padepokan Lenggo Geni membuat persiapan.Datuk Ancala Raya berdiri di depan pintu rumahnya. Dia mengenakan baju warna merah hati dan ikat kepala berwarna coklat. Pendekar sep
Sore hari di Desa Batu Delima para ketua adat dan juga pemuda-pemuda digemparkan oleh kedatangan Argani bersama rombonganya. Mereka kemari bertujuan mencari gadis-gadis perawan untuk menunaikan syarat dari Iblis Hitam.Dalam tradisi masyarat Desa Batu Delima ada tiga orang pria sepuh yang menduduki jabatan pemangku adat. Mereka dipilih karena dianggap sebagai tokoh yang paling dituakan, paling berilmu, dan paling bijaksana. Saat ini jabatan itu dipegang oleh Ki Kusuma, Ki Dharmawira, dan Ki Martadi.Yang usianya paling senja di antara tiga orang pemangku adat itu adalah Ki Martadi. Kakek tua ini berkepala botak, berkumis tebal dan berjenggot panjang yang sudah memutih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah ungu dan berjalan memakai tongkat.“Kami sudah lama mendengar cerita tentang kelompok kalian. Kalian semua pasti adalah Persaudaraan Iblis yang kabarnya banyak membunuh pendekar aliran putih, benar begitukan? Kalian memang manusia-manusia jahat!” uja
Prabu Surya Buana yang tadi hanya diam menonton kini sadar bahwa pertarungan dua orang ini sudah harus dihentikan sekarang. Sebab keduanya tampak akan saling mencelakai satu sama lain, tak mustahil kalau pertemuan dua jurus itu bisa membuat keduanya tewas!“Mpu Bhiantar, cepat hentikan mereka. Aku tidak ingin kalau dua pendekar ini jadi saling bunuh,” kata Prabu Surya Buana.Mpu Bhiantar pun segera melompat ke udara, dia lalu mendarat tepat di tengah Damayanti dan Patrioda yang akan saling beradu jurus maut.Pria tua itu langsung memukul bumi dengan telapak tangannya sambil bertariak, “Jurus Petir Memecah Bukit! Hiyaaa!”Cahaya kilat keemasan seketika menjalar di tanah, lalu terjadilah sebuah ledakan! Patrioda dan Damayanti sontak langsung menarik pukulan mereka dan bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.Mpu Bhiantar menghela nafas. Dia menurunkan kembali tenaga dalamnya. Sekarang Damayanti dan Patrioda sudah berhent
Seorang prajurit tiba-tiba datang dari balik pintu. Dia berjalan melewati semua orang, lalu berdiri tegak di depan Prabu Surya Buana dan menjura hormat.“Ampun beribu ampun, Gusti,” kata si pengawal itu berucap. “Di depan ada seorang pendekar wanita yang ingin memaksa masuk ke dalam istana. Para prajurit berusaha untuk mengusirnya, namun dia sangat kuat!”Prabu Surya Buana menarik badannya dari sandaran. “Seorang pendekar wanita? Apa dia datang dengan membawa surat undangan?”“Tidak, Gusti,” jawab si pengawal. “Pendekar wanita itu tidak membawa surat undangan, makanya kami berusaha mengusirnya, tapi dia melawan dan ingin tetap masuk. Wajahnya tertutup dengan cadar putih, dan dia juga membawa busur serta panah.”Patrioda lalu langsung berkata, “Bisa jadi itu adalah salah satu anggota Persaudaraan Iblis!” Dengan sangat yakin akan kehebatan dirinya, dia pun menjura hormat pada sang prabu. “Hamba akan menghadapi pendekar bajingan itu, Gusti. Bajingan itu tidak akan lolos dari hamba.”“Ber
Ekspresi wajah Alindra tampak tidak suka melihat Patrioda yang baru datang dengan gaya selangit begitu. Dalam hati dia berucap, “Orang ini sok sekali, apa dia tidak merasa malu di hadapan prabu dan para senopatinya?”Prabu Surya Buana mengangguk. Dia tersenyum maklum melihat gaya Patioda, menurutnya ini adalah hal yang wajar karena usia Patrioda yang masih sangat muda.“Selamat datang Istana kerajaan Jayakasatara, Patrioda. Kuucapkan terimakasih karena kau telah bergabung bersama kami,” kata Prabu Surya Buana“Suatu kehormatan bagiku bisa membantu kerajaan,” ujar Patrioda seraya menundukkan kepala.Senopati Wibisana yang juga hadir di ruangan itu memangku tangan. Dia ikut jengkel melihat gaya Patrioda yang kelihatan sangat ingin cari muka di depan Prabu Surya Buana.Senopati Wibisana merasa kalau dia akan kesulitan bila harus menerima pemuda seperti Patrioda ini, sebab dari sikap badan Patrioda saja yang membusung angkuh sudah menunjukkan kalau dia akan jadi prajurit yang susah diatur
Mpu Bhiantar datang dari balik pintu dan menghadap kepada Prabu Surya Buana. Dia langsung menjura hormat dan menundukkan pandangan. Ternyata di tempat itu hanya ada sang prabu bersama dengan dua orang senopatinya, sedangkan Patih Tubagus Dharmasuri masih belum kembali dari Desa Tanjung Bambu.Abirama dan Alindra ikut masuk bersama Mpu Bhiantar, keduanya pun berdiri tegak di belakang pria tua itu. mereka juga turut menjura hormat dan menundukkan kepala.“Semoga kesejahteraan dan kedamaian selalu terlimpah atas Gusti Prabu yang agung,” kata Mpu Bhiantar mengucap doa sebelum akan memperkenalkan para pendekar yang datang bersamanya.Prabu Surya Buana yang duduk di atas singgasana lalu menangkupkan telapak tangan. “Terimakasih atas doamu, Mpu Bhiantar. Siapakah dua orang yang kaubawa ini?”Senopati Taraka dan Senopati Wibisana yang tadi duduk di bawah anak tangga lalu bangkit berdiri untuk menghargai tamu kerajaan. Mereka tahu bahwa yan
Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan
Setelah Abirama dan Alindra menempuh perjalanan panjang yang cukup jauh, akhirnya kakak dan adik itu tiba juga di Istana Kerajaan Jayakastara pada waktu pagi hari.Karena mereka sudah membawa surat undangan, maka mereka pun diizinkan masuk oleh para pengawal yang menjaga pintu gerbang.Baru beberapa langkah saja keduanya berjalan, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Mpu Bhiantar. Dia sudah tahu dari Senopati Taraka kalau dua orang murid Nyai Maheswari ini akan bergabung dengan kerajaan. Mpu Bhiantar sangat senang bisa berjumpa mereka.“Selamat datang, Anak-anakku. Sudah begitu lama aku tak pernah lagi melihat kalian. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu lagi,” kata Mpu Bhiantar sambil tersenyum.Abirama dan Alindra pun juga balas tersenyum dan menjura hormat. Wajah Mpu Bhiantar terlihat awet sangat muda bagai tak pernah berubah dari dulu. Dia berkulit putih tanpa jenggot atau pun kumis. Rambutnya hitam lurus dan panjang tanpa ditumb
Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad
Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati