Dalam ruangan tempat penyimpanan lontar-lontat kuno, Jagat Pramudita dan Giandra duduk menghadapi sebuah kotak kayu yang tergeletak di atas meja.
Pintu telah ditutup rapat, tidak lagi orang lain kecuali hanya mereka berdua di sini. Jagat Pramudita hendak menunjukkan kepada Giandra suatu hal besar yang selama ini menjadi rahasia perguruan Rjawali Angkasa.
Jagat Pramudita mulai membuka tutup pada bagian atas dari kota tersebut. Dia lalu mengeluarkan sebuah gulungan lontar dari dalamnya.
Jantung Giandra terasa berdegup. Dalam hati dia pun bertanya-tanya, rahasia besar apakah yang akan diungkapkan oleh sang guru kepadanya hari ini, bahkan sampai harus menutup pintu agar orang lain tidak ikut menyaksikan.
Jagat Pramudita menggeser kotak itu ke tepi meja, dia kemudian membukan gulungan lontar tersebut secara membujur dan memperlihatkannya kepada Giandra.
Giandra akhirnya tertarik untuk memperhatikan, pada gulungan lontar itu berisi tulisan dengan aksara
“Giandra, coba kau berikan telapak tangan kananmu padaku.” Ujar Jagat Pramudita. “Kita akan coba membangkitkan Tenaga Dalam Inti Indurashmi yang sudah ada pada dirimu.Giandra tidak mengerti apa yang diinginkan oleh gurunya, tapi dia mengikuti perintah tersebut. Dia menyorongkan tangan kanannya ke depan.Jagat Pramudita pun menggenggam pergelangan tangan Giandra. “Sekarang tutup kedua belah matamu dan berkonsentrasilah. Tarik nafas yang dalam dan hentakkan ke arah pusat. Tarik sebuah kekuatan yang sangat kuat yang selama ini terpendam di tubuhmu. Usahakan agar cahayanya keluar melalui telapak tangan. Aku akan membantumu menariknya.”Giandra pun melakukan yang apa yang barusan disuruh oleh gurunya. Dia memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi. Saat pikirannya telah mencapai keheningan, dia pun mulai menarik nafas panjang dan menghentakkannya ke perut.Dalam keadaan mata berpejam, Giandra menyaksikan ada pancaran sinar putih ya
Tubagus Dharmasuri datang menghadap kepada Prabu Surya Buana. Kala itu sang prabu sedang duduk di atas singgana dan ditemani oleh dua orang punggawa yang juga duduk di bawah anak tangga.Di sebelah kanan ada Senopat Wibisana, usianya baru 35 tahunan, berkulit gelap, dan postur tubuhnya tidak terlalu tinggi namun sangat kekar. Dia adalah orang selalu menemani sang prabu setiap kali prabu akan pergi berburu ke hutan.Di sebelah kiri ada Senopati Taraka, umurnya sudah 40 tahunan, badannya jangkung, dan dia terkenal sebagai ahli memanah dan ahli dalam menyusun strategi perang.Sang Prabu duduk di singgasana dengan mengenakan jubah berwarna putih perak dan mahkota emas di kepalanya. Dia saat itu tengah asyik membolak-balikkan liontin pada kalung yang dia pakai. Liontin tersebut adalah berupa batu yang sangat indah dan diberi nama Mustika Permata Hijau. Semua orang di lingkungan sudah tahu kalau sang prabu selalu mengenakan kalung tersebut kemana pun dia pergi.
Senja hari di Lembah Cendana di kaki Gunung Bhanurasmi, warna langit tampak sudah pucat, serombongan burung kecil terbang berbondong pulang ke sarangnya.Sebentar lagi matahari terbenam di bawah cakrawala. Temaram semakin mendekap nabastala. Iringan bayu senja bertiup membelai daun di pohon-pohon pinus.Di antara batu-batu besar yang berserakan tidak teratur, Jaka Purnama dan Ki Nawasena sedang berlatih ilmu kanuragan. Keduanya bertarung serius bak dua ekor harimau yang bertemu di puncak bukit.Dari telapak tangan kiri Ki Nawasena tiba-tiba keluarlah sinar biru. Sinar itu menyambar seperti petir, Jaka Purnama pun segera melompat untuk menghindar. Sinar biru itu hampir saja mengenai kakinya, tetapi kemudian menghatam sebuah batu besar. Seketika batu tersebut langsung meledak dan hancur menjadi sepihan.Jaka Purnama takjub melihatnya, dia merasa beruntung bisa selamat dari serangan tadi, ternyata Ki Nawasena memang tidak main-main dalam memberi latihan.Meski Jaka Purnama adalah muridny
“Tadi aku terkejut saat melihat Guru berubah wujud menjadi gumpalan asap putih, lalu tiba-tiba muncul menyerang dari belakang. Jurus apakah itu”” tanya Jaka Purnama dengan wajah penasaran.Ki Nawasena tertawa mendengarnya. “Itu adalah salah satu keistimewaan yang bisa kau dapatkan bila Tenagala Dalam Inti Indurashmi milikmu telah sempurna, dalam sekejap kau bisa memindahkan dirimu ke tempat mana saja yang kau pandang, lalu wujudmu akan hilang dan berpindah ke tempat itu.”“Menempatkan diri pada arah mana saja pandangan mata kita?” Jaka Purnama tampak keheranan mendengarnya.“Iya,” Ki Nawasena mengangguk. “Indurashmi artinya adalah sinar bulan. Tenaga Dalam Inti Indurashmi merupakan ajian yang memiliki sifat-sifat seperti sinar bulan. Perhatikanlah bulan di langit, bukankah cahayanya mampu meluas ke segela ke tempat yang ada di bumi? Meskipun ia sangat jauh di angkasa, tapi sinarnya membanjiri dimana-dimana. Jika tenaga dalammu sudah sempurna, maka wujud dirimu bisa kau hadrikan dimana
Di tengah hutan saat matahari telah terbenam, wajah langit semakin redup oleh kegelapan, dan angkasa raya kini telah siap jadi tempat duduk bagi bintang-bintang malam. Kala itu Prabu Surya Buana masih dalam perjalanan menuju ke Gunung Bhanurasmi. Tiba-tiba dia dibuat kaget oleh ledakan besar di puncak perbukitan yang berjarak tidak jauh darinya.“Bagaimana bisa barisan bukit itu meletus sedemikian dahsyat dan mengeluarkan asap serta percikan api? Padahal perbukitan di sana bukanlah gunung-gunung yang memiliki kawah,” ucap Prabu Surya Buana pada dirinya sendiri.Ini bukanlah pertamkalinya dia melewati area tersebut. Dia sudah sering melewati tempat ini dalam setiap kali perjalanannya menemui Naga Langit. Prabu Surya Buana tahu pasti kalau tiga buah bukit yang saling berdekatan di sana bernama Bukit Tiga Baris, dan itu hanyalah bukit biasa yang tidak mungkin bisa meletus.“Kejadian ini sangat tidak lazim, ini bukanlah hasil dari perbuatan alam, tapi barangkali dilakukan dengan ilmu kanu
Bab 27 : Mimpi Sang Naga ResiPrabu Surya Buana akhirnya sampai di puncak gunung Bhanurasmi dan berjumpa dengan Naga Langit. Kini dia telah berdiri di hadapan sesosok makhluk raksasa yang sangat besar itu,Naga Langit memiliki dua sayap seperti kelelawar, berbadan ular dan dipenuhi sisik hijau cemerlang dari kepala hingga ekor. Tubuhnya mengawang di udara dan berkelok-kelok, sedangkan ujung buntutnya menyentuh tanah dan menyala seperti bara api, di kepalanya terdapat dua tanduk emas menyerupai tanduk rusa, dan pada bagian lehernya tumbuh rambut lebat seperti surai singa jantan.“Akhirnya kau datang jua menemuiku, Nanda Prabu Surya Buana,” ucap Naga Langit.Sang prabu pun bertanya, “Ada gerangan apakah sehingga Eyang Naga memintaku datang kemari?”Naga Langit menjawab, “Nanti akan kujelaskan padamu, Nanda, tentang mengapa kau kupanggil ke tempat ini, tapi sebelumnya, aku sedang menunggu satu orang lagi yang akan muncul.
“Menitis kembali setelah lima puluh tahun?” Prabu Surya Buana tak habis pikir mendengar ucapan Naga Langit tentang Iblis Hitam karena sangat terkejut. “Bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Eyang Naga?”“Tidak ada yang tidak mungkin, Nanda Prabu,” jawab Naga Langit. “Bukankah Iblis juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti kita semua? Tuhan Maha Kuasa untuk memperbuat apa pun terhadap makhluk-Nya. Meski Iblis itu jahat, tapi di sisi lain, sebagai ciptaan Tuhan dia juga memiliki hak untuk memohon sesuatu kepada Tuhan, sebagaimana siapa pun orang boleh meminta kepada Tuhan.”“Iya, benar sekali apa yang Eyang Naga katakan,” angguk prabu Surya Buana bisa mengerti. “Iblis juga punya hak untuk mengajukan sebuah permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Tuhan tentu menghendaki ini pula sebagai cobaan bagi kita semua agar kita kuat menghadapinya.”Naga Langit lalu menyampaikan kata-kata penuh hikmah kepada semua orang yang hadir di tempat itu. “Sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan kegelapan
Di waktu pagi saat ayam jantan berkokok dan kicauan burung-burung menyambut sinar matahari di langit timur, Sapardi, juru masak yang biasa bekerja di dapur, berjalan tergesa-gesa menuju kamar Giandra.“Kakang Giandra Lesmana! Cepat keluar, Kakang!” ujarnya dengan sangat mendesak.Giandra ternyata baru saja selesai mandi, dia pun segera buru-buru mengenakan pakaian, kemudian langsung membukakan pintu. Sapardi berdiri di hadapannya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.“Ada apa, Sapardi?” tanya Giandra keheranan.Dengan jantung yang masih berdegup kencang Sapardi memberitahu, “Guru besar telah meninggal. Ada yang membunuh beliau di kamar tidurnya.”“Apa! Bagaimana mungkin!” Giandra merasa tidak percaya akan hal itu.“Kakang lihat saja sendiri ke kamar beliau,” kata Sapardi. Linangan air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang gemuk.Tanpa pikir panjang, Giandra segera berlari
Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme
Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba
Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq
Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g
Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata
Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena
Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di
Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,
Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&