"Darimana saja kau ini? Aku telah lelah mencarimu sedari tadi, apakah kau sengaja membuatku susah, huh?"Shikha mencecar wanita itu dengan banyak pertanyaan, wanita itu gelagapan, ia bingung harus menjawab pertanyaan yang mana dulu. Clay menggiring Shikha untuk duduk dipantry, menyuruhnya untuk mengatur nafas sebelum kembali mencecarnya lagi.
"Katakan padaku, darimana saja kau ini?"tanya Shikha kembali setelah dirinya lebih tenang.
"Aku hanya pergi ke dapur sebentar untuk membuat secangkir kopi arabica, agar aku tidak lagi mengantuk dan agar suamimu tercinta itu tidak mengamuk padaku karena kinerjaku mulai menurun sekarang."jawab Clay, ia mulai menyeruput kopi yang masih panas itu dengan perlahan. Clay adalah sahabat Shikha sedari kecil, mereka sama-sama hidup di panti asuhan, Clay belum mengetahui jika pria yang dinikahi sahabatnya sendiri telah berlaku kasar selama ini.
"Aku ingin meminta bantuanmu."kata Shikha penuh keyakinan.
"Katakan, apa yang harus aku lakukan untuk membantumu kali ini?"tanya Clay.
"Kau mengenal pria yang bernama Danielle, bukan?"pertanyaan itu sontak membuat raut wajah Clay berubah, sorot mata Clay menyimpan seribu kebencian kepada lelaki itu.
"Aku ingin kau, menemuinya besok."Clay mengernyit dahi, apa maksud sahabatnya ini? Apakah Shikha ingin membuat rasa kebencian dalam diri Clay semakin membuncah?
"Mengapa harus menemuinya, Shikha? Aku sungguh muak melihat wajahnya, bahkan mendengar namanya saja aku sudah benci padanya."tegas Clay.
"Kumohon, bantu aku kali ini, Clay. Aku tak tahu lagi, dengan siapa aku ingin meminta pertolongan selain dirimu."pinta Shikha dengan mata berbinar, Clay menghela nafas gusar, ia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oke baiklah, apa yang harus aku katakan kepadanya?"tanya Clay menyetujui permintaan sahabatnya itu. Shikha mendekat kearah Clay, kemudian membisikan sesuatu.
"Apa kau sudah tidak waras, Shikha!?"pekik Clay terkejut mendengar rencana gila sahabatnya ini. Shikha berdecak lesuh, ia bersedekap dada.
"Yayaya baiklah, aku akan melakukan sesuai dengan perintah, Nona muda Shikha."putus Clay, sungguh ini benar-benar membuat Clay hampir tiada. Shikha berteriak girang, kemudian mendekap erat tubuh anggun Clay.
"Ternyata kau di sini rupanya. Aku telah mencari keberadaanmu dari tadi dan kau malah sibuk bergosip bersama dengan sekertarisnya Johnson."sinis Aksa yang telah berdiri dihadapan mereka berdua.
"Maaf Tuan-Nona, Saya ingin melanjutkan pekerjaan Saya sekarang."Pamit Clay, kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua pasangan yang saling membenci.
"Ikut denganku sekarang."Aksa menarik kasar pergelangan tangan Shikha dan membawanya kedalam ruangan, Shikha hanya bisa pasrah menerima perlakuan Aksa.
Aksa menyuruh Shikha untuk duduk di sofa yang berada dalam ruangan kerja Aksa.
"Temani aku makan siang."Kata Aksa dingin tanpa menatap wajah Shikha, Shikha yang terkejut mendengar permintaan langka dari Aksa pun terbatuk, dengan respon cepat Aksa memberinya segelas air.
"Kau ini, ingin membuatku menjadi seorang duda, huh? Bagaimana jika kau terbatuk, namun setelah itu kau tiada."ketus Aksa seraya menampilkan wajah khawatirnya. Sungguh Shikha ingin sekali menonjok wajah tampan CEO arrogant ini.
"Aku hanya ingin memintamu untuk duduk saja, temani aku makan siang."Shikha masih diam, ia memilih tak merespon segala celotehan suaminya ini.
"Apakah aku sedang bermimpi? CEO arrogant sepertimu membawa bekal dari rumah?"tanya Shikha dengan raut wajah tak percaya.
Aksa berdecak kesal, semburat merah terbit dikedua pipinya. Ia sungguh malu, ini Kali pertama ia membawa bekal dari rumah, biasanya ia akan menyewa seorang koki untuk memasak makan siang serta malamnya.
"Aku hanya sedang mood saja, lagipula aku tidak membawa makanan yang kau masak tadi pagi. Jika Aku memakannya kembali, aku akan masuk rumah sakit karena keracunan."Tuhan! Tolong jangan halangi Shikha untuk mencabik-cabik wajah sok polos suaminya ini. Helaan nafas pasrah terdengar begitu jelas dalam pendengaran Aksa, dalam hati ia begitu senang karena berhasil membuat Shikha menuruti keinginannya tanpa perlu dibantah.
"Kau sudah makan siang?"Tanya Aksa seraya mengunyah makanannya.
Shikha menggeleng, batinnya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Aneh sekali sikap suaminya hari ini, apakah pria arrogant itu telah memenangkan tender besar? Atau kepalanya terbentur meja, hingga membuatnya amnesia? Yang jelas ini bukan sesuatu yang lumrah terjadi pada diri seorang pria kaku seperti Aksa.
"Jangan memikirkan hal yang aneh tentang dirimu hari ini, aku hanya bertanya saja sekaligus ingin berjaga-jaga. Jika sehari kau makan 5 kali, tubuhmu akan semakin bulat. Bagaimana jika seluruh gaun mahal yang telah aku beli untukmu tidak lagi muat saat kau kenakan dalam acara resmi? Aku sungguh tidak ingin merugi dengan membelikanmu gaun yang baru, dan jangan lupakan. Apa kata mereka nanti, jika melihat istri seorang CEO tampan sepertiku, memiliki istri yang tubuhnya bulat seperti donat?"kata Aksa tanpa rasa bersalah.
Oh ayolah! Shikha begitu geram akan seluruh perkataan suaminya barusan dan jangan lupakan ucapannya yang sok tahu tentang pikirannya itu, apakah ia telah bergaul dengan seorang peramal? Maka dari itu, ia dapat membaca pikirannya.
"Aku belum ada makan sedari pagi."Kata Shikha acuh, ia begitu sibuk memainkan ponselnya, ia benar-benar tak ingin lagi melihat wajah suaminya terlalu lama, serta mendengar seluruh ocehan dari mulut Aksa yang dirasa begitu tak berguna bagi dirinya.
Aksa yang kesal akan sifat cuek Shikha menghentakan sendoknya kekotak bekal makan siangnya dengan sengaja, hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Shikha yang mendengar hentakan sendok itu, terkejut dan hampir membuat ponselnya terjatuh dari genggamannya.
"Kau lihat apa, huh? Aku sedang berbicara padamu, mengapa kau mengacuhkanku dan lebih memilih bermain ponsel sialan itu? Oh aku mengerti, kau sedang berbalas pesan dengan seorang pria simpananmu itu?!"cecar Aksa marah. Aksa merupakan pria yang mudah sekali marah, jika seseorang berlaku tidak sopan padanya.
Mata Shikha membola, sungguh ia begitu terkejut atas tuduhan suaminya barusan. "Aku bosan menunggumu selesai makan, karena itu aku bermain ponsel untuk menghilangkan rasa jenuhku."kata Shikha, Aksa merebut ponsel Shikha dari genggamannya.
"Buka!"perintah Aksa pada Shikha agar membuka password yang terpasang di ponsel Shikha.
"Passwordnya sama seperti nomor rekening milikmu yang telah kau berikan kepadaku."jawab Shikha, Aksa dibuat cengo oleh kepolosan Shikha dalam menjawab pertanyaannya.
"Bagus. Siapa yang telah menyuruhmu meng-install aplikasi media sosial, huh?"tanya Aksa melirik Shikha sekilas sebelum kembali menatap layar ponsel milik Shikha. Wanita muda itu tertunduk, ia baru ingat. Kalau aturan keluarga Dwiken, melarang seluruh darah keturunan Dwiken mempunyai aplikasi media sosial jenis apapun, bukan tanpa alasan yang jelas. Ini juga menyangkut tentang masa depan keturunan mereka.
Maklum saja jika Aksa begitu murka saat mengetahui aplikasi itu di unduh olehnya, ini baru Aksa yang tahu. Bagaimana jika
kakek dari Aksa mengetahuinya, Shikha bisa saja dihukum. Mungkin, bagi orang lain ini adalah hal yang sepele, namun aturan ini telah turun temurun terjadi dalam lingkungan keturunan darah biru seperti keluarga bermarga Dwiken contohnya.
Jikalau suaminya ini keturunan darah biru, lantas Shikha ini keturunan apa? Darah tinggi? Dirinya sering kali berpikir, bagaimana bisa Papinya Aksa meminangnya untuk dinikahi oleh anaknya.
Aksa mengangkat dagu Shikha dengan jemari telunjuknya, ia ingin istrinya ini menjelaskan semuanya.
"Katakan."
Shikha menggigit bibirnya dengan gusar, tangannya memilin ujung sweaternya. "A-aku minta maaf atas tindakanku yang telah menyalahi aturan keluarga Dwiken."lirih Shikha dengan suara melemah, ia sungguh menyesal. Meskipun ia begitu ingin membalas dendam atas perbuatan Aksa pada dirinya selama ini, namun disisi lain keluarga Dwiken begitu menyayanginya dengan tulus.
Terlihat begitu jelas dari raut wajah Shikha yang penuh dengan penyesalan, membuat kekehan kecil keluar dari bibir Aksa. Aksa mengacak rambut Shikha dengan gemas, ia sungguh baru mengetahui wajah lugu Shikha selama ini, ia mengira bahwa Shikha adalah sosok wanita yang jutek serta dingin. Namun, itu semua berbanding terbalik dengan situasi sekarang.
Shikha yang mendengar kekehan kecil Aksa, mengerjap beberapa kali. Apa yang terjadi? Mengapa Aksa begitu berubah 360° dari biasanya?
"Hapus aplikasi itu, My wife. Jika kau tak ingin aku adu 'kan kepada pemegang tahta tertinggi marga Dwiken, Tuan besar Auriga Atreya Dwiken. Kau harus menuruti apa kataku."kata Aksa, Shikha mengangguk polos. Ia meraih kembali ponselnya kemudian menghapus seluruh aplikasi media sosial yang terpasang diponselnya.
"Mengapa hari ini kau terlihat lebih santai? Ada kabar baik, sehingga kau begitu senang hari ini?"tanya Shikha penasaran.
"Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu."
"Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu,"Shikha mengernyit dahi, menunggu kalimat selanjutnya. "Aku ingin kau berpura-pura menjadi adik perempuanku, di depan para klien asal Turkey besok,"sontak perkataan itu menuai kecaman dari Shikha, apa maksud pria bodoh ini? Ia kan istrinya, mengapa harus berpura-pura menjadi adik perempuannya? "Apa maksudmu? Kau menyuruhku untuk berpura-pura? Bahkan, menjadi adik perempuanmu!? Apa kau sudah tidak waras?"Tanya Shikha dengan nada yang sedikit meninggi. Aksa menampilkan wajah dinginnya, ia bergerak semakin mendekati Shikha. "Aku masih waras, tidak sepertimu bahkan seperti ayahmu itu. Ck ck! Kasihan sekali,"katanya dengan wajah pura-pura prihatin. Jika dirinya dihina oleh Aksa itu tidaklah mengapa, namun jika Aksa berani menghina ayahnya. Sungguh, jangan salahkan Shikha jika ia lepas kendali dan bisa saja melukai Aksa. "Kau!! Aku hanya diam selama ini, ketika kau terus menghinaku, namun kali ini aku
Ia masih terus berusaha melepaskan diri dengan sisa tenaganya dari tubuh Aksa yang mengunci tubuhnya. Namun, semakin Shikha mencoba akan sia-sia pula usahanya. "Semakin kau mencobanya, maka semakin sia-sia pula usahamu."kata Aksa, ia kembali mengusap wajah Shikha dengan sensual, membuat Shikha bergerak gelisah karena mendapat sentuhan jemari Aksa. "Jangan sentuh aku, Tuan Aksa!"pekik Shikha terus memberontak dalam kungkungan Aksa, sapuan jemari Aksa pada leher jenjangnya semakin menjadi-jadi. Teriakan wanita itu sama sekali tak didengar Aksa, menurutnya itu hanyalah sebuah perintah untuk terus menyentuh seluruh tubuh Shikha. "Mengapa aku tak boleh menyentuhmu seperti ini? Aku ini suami sah-Mu secara agama maupun negara,"kata Aksa, kenyataan itu benar adanya, meskipun Shikha berusaha keras membantahnya. "Bagian ini,"Aksa menyentuh kening Shikha. "Adalah milikku seorang,"katanya senang. "Bagian ini pula,"jemari telunjuk Aksa bergerak men
Carlos, pria berusia 23 tahun itu merupakan anak yatim piatu yang tinggal satu panti asuhan dengan Shikha, istrinya. Kedekatan mereka bermula, ketika Carlos yang tengah duduk sendiri di bangku taman dalam kondisi menangis, Shikha yang waktu itu telah selesai membuat cake coklat bersama ibu panti pun ikut duduk di samping Carlos. Shikha memberikan cake itu pada Carlos, anak perempuan yang sangat cantik, mata bulat hazel, hidungnya yang begitu mancung, serta pipinya yang bulat seperti kue bakpao itu terasa begitu menggemaskan dimata Carlos. Ia mulai menaruh hati pada Shikha, hingga usia mereka telah beranjak remaja, rasa yang muncul dari lubuk hati Carlos semakin membuncah, getaran serta sengatan yang berbeda saat Carlos berada di samping Shikha, semakin menggebu-gebu.Puncaknya, ketika usia Shikha genap 20 tahun. Carlos pikir itu usia yang tepat untuk melamar Shikha, waktu itu ia mengirim pesan pada Shikha untuk menemui dirinya di taman, taman yang dahulu menjadi tempat Shikha
Wanita itu duduk berpangku pada kedua kakinya yang ia tekuk, ingatan akan kejadian itu semakin menerbang tinggikan dirinya. Shikha menyentuh bibirnya, bibir yang sudah dilumat oleh Aksa, ia menepuknya secara perlahan, namun berulangkali. "Pria dingin itu telah merenggut sesuatu dariku, lihat saja. Jika ayah telah tiba, aku akan mengadukan hal gila Aksa kepada ayah,"gumam Shikha dengan tatapan lurus, namun Shikha menggeleng kuat beberapa saat, seakan teringat sesuatu. "Tidak! Jika ayah tahu, aku akan ditertawai olehnya. Bagaimanapun juga Aksa adalah suami sahku, jadi hal semacam itu sungguh wajar dilakukan bagi pasangan suami-istri seperti kami."kata Shikha seraya menghela nafas, yang telah terjadi hari ini, biaarlah berlalu. Shikha merogoh saku celananya, mencari alat penghubung komunikasi miliknya. Namun, hasilnya nihil, ia tak menemukannya. Ia berdiri, kemudian berusaha mengingat dimana ia meletakkan ponselnya itu. Shikha mengusap kasar wajahnya
Shikha masih membeku dengan mulut yang sedikit ternganga, antara percaya atau tidak yang jelas pria ini benar-benar suaminya, Aksa."Jika kau masih ingin membuka mulutmu seperti itu, aku pastikan akan ada binatang seperti serigala atau burung hantu yang akan tersedot olehmu,"segera saja Shikha tersadar oleh lelucon Aksa dan kembali memalingkan wajahnya."Mengapa mulutmu begitu lentur, jika sudah berurusan dengan yang namanya meledek seseorang?"Aksa mengedikkan bahu acuh, ia membuka pintu mobil milik Shikha kemudian menyeretnya keluar."Siapa yang memperbolehkanmu mengemudikan mobil dimalam hari? Lantas, ada urusan apa sehingga membuatmu melanggar aturan dariku."tanya Aksa runtut, ia menanti respon dari istrinya ini.Wanita itu menggigit bibirnya berdalih untuk menghilangkan rasa gugup, jemari mungil berhias cincin berlian itu meremat jaket berbulu domba dengan gusar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sungguh bingung harus mengatakan apa pada
Axell berjalan dengan meraba-raba untuk mencari saklar lampu, ia terhenti ketika tangannya seperti menyentuh sesuatu yang asing. Dengan segera ia mencari ponsel yang berada disaku celananya dan menyalakan flashlight mengarahkan tepat pada tangan kirinya. Alangkah terkejutnya dirinya, ketika apa yang ia sentuh adalah sehelai kain bernoda merah tergantung di atas langit-langit ruangan ini. Semua mata tertuju pada Axell dan kain merah itu, mereka semua masih bergelut dengan pikiran mereka tentang kain apa yang tergantung di atas mereka. Jujur, kain itu begitu tidak wajar, seperti sehelai kain putih yang berubah menjadi kain merah karena bercak darah. Axell mengarahkan flashlight nya lagi untuk menelusuri setiap inci ruangan itu, tangannya terhenti pada satu titik yang fokus pada satu sudut, yaitu ranjang. Terlihat jelas ada sebuah gundukan yang tertutup selimut tebal, mereka semua berusaha mendekat dengan langkah perlahan untuk berjaga-jaga, jika pria ta
Aksa bungkam seribu bahasa, lidahnya begitu getir ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi pada Shikha. "Aku sudah mendapatkan sebuah kabar dari anak buahku, bahwa–"tiba-tiba saja Aksa menghentikan ucapannya begitu saja, Shikha semakin mendekat. Ia meneliti mimik wajah Aksa yang berubah. "Katakan,"ucap Shikha penuh harap. Aksa sungguh tak tega, memberikan berita ini kepada Shikha. Namun, ia juga tak ingin jika istrinya itu mendapat kabar dari orang lain. Dalam satu tarikan, dengan keyakinan dan segala resiko. Aksa melanjutkan kalimatnya yang tadinya sempat terjeda. "Clay, sahabatmu. Telah tiada,"jantung Shikha berdegup lebih cepat, aliran darahnya berdesir hebat. Kakinya tak mampu lagi berpijar, hingga membuat tubuhnya mencelos ke lantai. "Katakan, jika ini bagian dari leluconmu, Aksa."lirih Shikha, sedetik kemudian bulir putih bening jatuh kepipinya. Aksa bungkam, lidahnya keluh. Ia sungguh membenci wanita itu, tapi ia lebih
Seusai pemakaman Clay dilangsungkan, pagi itu juga Aksa membawa Shikha menuju sebuah tempat yang telah menjadi tujuannya datang. Dia harus bergerak cepat untuk menuntaskan kasus kematian Clay. Aksa segera mengemudikan CRV hitam miliknya menuju tempat tujuan. Shit! Jalanan di hadapannya macet total karena sedang ada perbaikan jalan. Menyebalkan! Dia bisa telat sekarang, pikirnya kesal. Pukul 9 pagi akhirnya mereka berdua tiba di tempat tujuan. Dia segera menemui anak buahnya di ruangan tempat biasa mereka berkumpul untuk menyusun strategi. Hanya Aksa dan anak buahnya'lah yang mengetahui tempat ini. Seluruh mata tertuju pada mereka berdua, wajah pias Shikha dengan mata sembabnya terlihat begitu miris, mereka yakin sekali. Shikha begitu terpukul atas kematian sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri, semasa kecil mereka selalu bermain bersama, banyak sekali kenangan yang mereka pahat begitu indah dalam memori mereka. "Dimana dia?"Tanya Aks
Sejak kepulangan Tuan Leo, Shikha masih terdiam dan bungkam setelah mengetahui banyak rahasia yang tersimpan begitu rapi tentang suaminya. Dari kecil hingga beranjak dewasa, semua telah di ceritakan secara detail oleh Leo yang tak lain adalah sahabat kecil Aksa. "Shikha, papi ingin menanyakan sesuatu kepadamu?" Suara Ganendra berhasil membuyarkan lamunan Shikha yang tengah duduk di kursi kebesaran milik suaminya. Wanita itu membenarkan posisi duduknya, kemudian tersenyum menyambut kedatangan Ganendra di ruangan itu. "Tentu saja papi, Shikha akan menjawabnya." Ucap Shikha. Pria paruh baya itu menarik kursi yang berada di hadapan Shikha, jadi kini mertua dengan menantu duduk dengan posisi berhadapan. "Papi mengecek CCTV beberapa jam yang lalu, melihat bahwa gadis itu datang disaat tuan Achilleo datang. Apa yang gadis itu katakan kepadamu?" Tanya Ganendra, wajah pria itu begitu khas dengan rahang yang bersih dari rambut-rambut halus, mata tajam, hingga bentuk wajah yang nyaris sempu
"Bagaimana jika kesepakatan ini kita bicarakan sembari makan siang?" Tawar pria itu pada Shikha, Shikha mengangguk Samar. Ia tak yakin akan sefokus itu jika membicarakan hal penting di luar ruangannya terlebih di luar kantor, ia rasa itu bukanlah hal yang tepat. Melihat raut wajah Shikha yang menampilkan raut wajah bimbang, Leo yang peka akan hal itu kemudian menawarkan untuk rapat dengan memesan ruangan VVIP yang berada di restaurant yang akan mereka tuju. Akhirnya setelah beberapa saat merundingkan hal tersebut, Shikha menyetujuinya. Leo menyetir mobil untuk Shikha, alasannya agar Shikha merasa nyaman jika tidak banyak yang ikut dengan mereka. "Terimakasih," ucap Shikha saat Leo menjamunya dengan segelas orange juice yang telah disiapkan waiters itu. "Mengapa tuan sangat tertarik dengan project ini? Masih banyak project-project perusahaan lain, yang masih jauh lebih menguntungkan daripada project ini yang bersifat sosial." Tanya Shikha seraya membuka laptop bergambar apel itu, n
"Aish, lihatlah bagaimana gadis itu berhasil membuatku telat untuk menghadiri pertemuan klien dari Italy pagi ini." Shikha berjalan tergesa-gesa seraya merutuki tindakan gadis itu tadi pagi, sebenarnya dirinya juga salah. Harusnya dirinya tak meladeni omong kosong gadis payah itu pagi-pagi, namun karena sikap bar-bar gadis itu yang menggedor brutal pintu kamarnya dirinya mau tak mau menghadapi segala resiko yang akan terjadi. "Nona, Tuan Achilleo telah tiba setengah jam yang lalu, beliau terus bertanya kapan Nona tiba di kantor untuk menemuinya. Tadinya Saya ingin menghubungi Nona, namun Nona telah tiba di kantor, apakah telah terjadi sesuatu kepada, Nona?" Seorang wanita langsung mencecar dirinya dengan seribu pertanyaan saat dirinya baru saja tiba di dalam ruang kerjanya. Shikha menggeleng, "Tidak, Saya baik-baik saja." "Oh, ya, terimakasih telah memberitahuku. Tolong persiapkan ruang meeting dan segera menghubungi Tuan Ganendra, Saya akan mengurus persiapan lainnya." perintah Sh
Setelah berpikir panjang, Shikha merasa bahwa idenya itu begitu kejam. Namun setelah ia mengingat-ingat kembali bagaimana wanita itu menghancurkan rumah tangga mertuanya, ia kini semakin yakin bahwa idenya itu pantas diterapkan oleh kedua wanita jalang itu. Shikha baru saja keluar dari kamar mandi sebelum bersiap-siap tidur, namun ia dikagetkan dengan suara benda yang baru saja mengenai kaca jendela kamarnya, namun tak sampai membuat kaca jendela itu pecah. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka jendelanya dan menemukan batu yang berukuran kepalan tangannya. Ada hal yang mengganjal dari batu itu, batu itu terbungkus oleh secarik kertas, mungkin ini berisi pesan sesuatu. Ia menunduk untuk meraih batu yang terselimuti kertas, kemudian membukanya perlahan. Shikha meremat kertas itu, kemudian membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya ia kembali masuk ke kamar untuk bersiap-siap tidur, siapa yang mengirim surat ancaman itu. Itu begitu tidak efesien, harusnya jika ingin mengancamnya set
"Papi akan menjelaskan tentang segalanya kepadamu." Kata Ganendra setelah ia mengambil posisi duduk di hadapan Shikha. Menantu perempuannya itu masih terlihat begitu kesal dengan menampilkan raut wajah ditekuk layaknya kertas origami, bagaimana tak kesal? Dirinya dihina dan dituduh sebagai wanita perebut suami orang?! Ah, yang benar saja, batin Shikha kesal. "Tolong jelaskan, Pi." pinta Shikha sedikit tak sabar karena pria tua itu hanya diam setelah beberapa saat lalu mengatakan akan memberitahu tentang segalanya kepada dirinya. Ganendra menghela nafas gusar, ia dilanda rasa cemas yang kian membelenggu sekarang. Rahasia yang selama ini disembunyikan keluarganya dan juga Aksa kini harus ia katakan kepada istri dari putra tunggalnya itu, mau tak mau ia harus segera mengatakan ini kepada Shikha. "Dia adalah adik Aksa_Suamimu, Nak." Damn! Bak tersambar petir, Shikha tertegun dengan mata yang membola dengan sempurna atas pernyataan tentang kenyataan siapa wanita itu sebenarnya, dilai
Ganendra kini tengah menjadi pusat perhatian karena mengamit jemari mungil milik seorang wanita. Langkahnya mantap, hingga membuat banyak pasang mata kagum akan kharisma pria berumur itu.Tak ada senyum yang tercetak dari bibir ranum pria itu, melainkan terganti dengan kerutan di dahi yang disebabkan oleh faktor usia atau mungkin memang pria itu kini tengah memiliki sebuah masalah.Mereka kini telah masuk ke ruangan private milik Ganendra."Saya akan mengadakan pertemuan dengan rekan bisnis Saya sebentar lagi, dan untuk itu Saya minta anda jangan keluar dari ruangan ini sebelum Saya datang." Peringat Ganendra seraya melonggarkan dasinya.Wanita itu mengangguk. "Bagaimana jika aku kehausan?" tanyanya sedikit ragu.Ganendra membuang pandangan ke arah lain, kemudian ia berdecih pelan namun mungkin masih terdengar oleh wanita itu. "Saya akan mengirim seseorang untuk menemani anda di sini, katakan saja apa yang anda inginkan. Dia akan menuruti perintah anda." jawab Ganendra, garis rahang p
Waktu telah menunjukkan pukul empat sore, sudah saatnya ia bersiap untuk pulang ke rumah. Rasanya sendi pada tulangnya telah kaku akibat terlalu lama duduk menatap layar laptop seharian.Shikha berdiri untuk menyusun kembali proposal yang telah berantakan di meja kerjanya, setelah selesai ia menekan telepon kantor untuk menghubungi Brema agar segera datang menemuinya.Tak butuh waktu lama untuk menunggu, pria itu datang dengan membawa satu paper bag berukuran sedang yang telah di minta oleh Shikha.Shikha menerima paper bag itu dengan wajah sumringah. "Kerja bagus, Brema." puji Shikha dengan satu tepukan di bahu kiri Brema. Brema mengangguk penuh rasa hormat."Apakah Nona telah selesai?"Tanya Brema.Shikha mengangguk. "Sudah, aku ingin segera tiba di rumah, ingin cepat-cepat berendam untuk menghilangkan rasa penat pada tubuhku." keluh Shikha dengan wajah sedikit muram. "Baik, Nona. Mari!" seru Brema, mempersilahkan Shikha untuk jalan di depannya.Shikha kini telah duduk di mobil deng
Suara langkah kaki seseorang yang sedang menuruni anak tangga berhasil mencuri perhatian para asisten rumah tangga yang tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk Nona muda. Wanita dengan sorot mata yang dulu begitu hangat dan penuh keramahan, kini telah sirna berganti dengan sorot mata yang begitu dingin. Wanita itu telah rapih dengan setelan dress formal namun tetap casual, serta jas berwarna putih yang begitu familiar telah tersampir di kedua bahu Shikha. Pertanyaan muncul begitu saja dalam pikiran mereka. Mengapa Nona muda mereka pergi sepagi ini? Jangan lupa dengan penampilannya yang begitu formal dari biasanya. Shikha menarik satu kursi dan duduk dengan meletakkan kedua tangannya di atas meja. Para asisten langsung melayani wanita itu dengan cekatan, sungguh mereka tak ingin merusak suasana hati Nona muda nya pagi ini. Ditatap Nona nya seperti itu membuat jantung asistennya seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat, apakah kali ini ia lupa beberapa soal tentang apa saja ya
Langkahnya tertatih menaiki anak tangga menuju kamarnya di sebelah Timur yang terletak tak jauh dari kamar Aksa. Pikirnya terlintas pada kejadian kemarin, bagaimana bisa pria seperti Aksa bisa seceroboh itu? Brema telah menceritakan semua kejadian yang terjadi pada boss nya itu, dimulai ketika Aksa sedang berada di cafe Andromeda, saat itu ia telah membuat janji bertemu seorang sahabatnya yang telah lama tinggal di Finlandia. Namun, sewaktu Aksa sedang menunggu dengan menyesap secangkir kopi arabica yang telah ia pesan sebelumnya.Selang beberapa saat, sebuah tepukan singkat berhasil mengalihkan intens Aksa. Ia menoleh untuk melihat siapa orang yang berani mengganggu waktu bersantainya. Carlos, pria itu berdiri tepat di belakang Aksa dengan seulas senyum remeh khas pria berusia 23 tahun itu.Aksa mendengus kesal, pria ini sungguh tak pernah membiarkan dirinya tenang barang sedetikpun. Cengiran khas pria itu sungguh membuat Aksa jengah, bukannya terlihat tampan pria itu justru mirip s