Daniella masih berbaring membelakangi Austin yang sedang duduk di kursi di samping ranjang. Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan, dan masih belum tahu sakit apa yang sampai membuatnya pingsan tadi. Austin memang meminta dokter dan perawat yang menjaga Daniella untuk tidak mengatakan apa pun karena dia sendiri yang berbicara dengan Daniella. "Daniella.""Keluar, Austin! Harus berapa kali kukatakan padamu jika aku tidak ingin melihatmu di sini?""Kita harus bicara, Daniella. Ini sangat penting." Daniella bergeming. Namun, gadis itu tetap tidak berbalik sama sekali. Dia hanya sedikit penasaran dengan sesuatu yang Austin katakan penting tadi. "Aku sakit parah?" tanya Daniella setelah cukup lama. Nada suaranya mulai melemah, tidak sekeras tadi. Austin menggeleng cepat seolah Daniella sedang melihatnya sekarang. "Kenapa kau berpikir seperti itu?""Tidak tahu. Tiba-tiba saja hanya hal itu yang terlintas di benakku." Daniella langsung berbalik. Dia menatap Austin dengan wajah datar. "
Dominic berkata benar. Jika dia dan Daniella tidak saling menyukai, bagaimana mereka bisa menikah? Tentang bayi itu ... Austin masih terus memikirkannya. Kalau mereka tidak menikah, bagaimana dengan nasib anaknya nanti? "Daniella," panggil Austin lagi kepada gadis yang duduk di hadapannya sekarang. Setelah dua hari di rumah sakit, akhirnya Daniella diperbolehkan pulang dengan banyak aturan yang sudah dokter katakan pada Austin. "Kumohon jangan gugurkan bayi itu. Ini salahku." Austin masih menatap Daniella yang masih kelihatan pucat. Kondisi emosional Daniella sudah sedikit membaik, dan dia juga sudah mau bertemu dengan Austin. "Ini memang salahmu.""Ya, maka dari itu. Aku mohon jangan hukum bayi yang baru saja akan hidup. Aku akan bertanggungjawab, Daniella. Aku janji."Daniella mendongakkan kepalanya, lalu dia melihat ketulusan di mata Austin. Sebuah rasa takut kehilangan yang selama ini tidak pernah Daniella lihat. Bahkan saat Anna menolak Austin dulu, pria itu tidak sekhawat
Sore itu, Austin langsung terbang untuk kembali ke New York, tanpa berpamitan sama sekali pada Daniella. Lebih tepatnya dia tidak bisa menemui gadis tersebut karena Daniella terus saja menolaknya. Sekarang, Austin hanya bisa pasrah dan berharap agar Anna bisa membujuk Daniella. Tentang syarat yang diberikan oleh Anna, akan dia pikirkan. Merubah semua sikap buruknya? Itu cukup sulit, tetapi Austin akan berusaha. Setidaknya dengan cara itu dia bisa menikah dan dekat dengan bayinya nanti. Sementara itu, Di Vermont Anna masih setia menemani Daniella. Dia takut temannya itu akan berubah pikiran sewaktu-waktu dan menyakiti dirinya sendiri. Ya, isi kepala seseorang siapa yang tahu. "Jika kau terus di sini, Tuan Dominic pasti akan marah, An." Daniella menghempaskan bokongnya ke atas kursi di ruang makan. "Tidak. Lagi pula sebentar lagi aku akan pulang. Oh, ya, kata Dominic kau tidak perlu masuk kerja dulu jika memang belum sehat." "Apa aku masih boleh bekerja?" Anna mengan
Harry menjemput Austin di bandara begitu pria itu bilang jika dia kembali ke New York, tanpa tahu kegaduhan apa yang sudah terjadi di Vermont. "Bagaimana kabarmu, Austin?" tanya Harry begitu Austin masuk ke dalam mobil. Tidak lama setelah itu, Harry segera menginjak pedal gas dan mobilnya mulai meninggalkan area bandara. "Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.""Aku dengar Dominic ada di Vermont. Lalu kenapa kau kembali ke New York?"Mendengar pertanyaan Harry tentang Dominic, Austin akhirnya menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke belakang. Apa dia harus menceritakan segalanya kepada Harry? Akan tetapi, kalau sampai Harry tahu, bisa-bisa pria itu menertawakannya karena sudah melanggar sendiri aturan yang dia buat, tentang jangan pernah menghamili wanita sekali pun itu pasangan mereka. "Austin," panggil Harry ketika mendapati temannya itu diam saja. "Kau terlibat masalah dengan Dominic?""Tidak! Yang benar saja. Siapa yang berani membuat masalah dengan Dominic?""Lalu kenapa
Sudah lebih dari satu pekan setelah Austin meninggalkan Sky Crystal. Tidak ada yang berbeda bagi Dominic di hari-hari kemarin. Dia menghabiskan hari-hari seperti biasanya. Menemani Anna yang sedang hobi memasak, atau memadu kasih di setiap sudut kabin dengan fantasi mereka yang semakin liar. Akan tetapi, ada yang berbeda hari ini. Setelah Anna selesai membuat sarapan, dia sedikit heran mendapati Dominic yang masih berbaring di atas tempat tidur. Tidak hanya itu, wajah Dominic juga terlihat pucat. "Kau sakit, Dom?" tanya Anna dengan menyentuh dahi Dominic. Tidak panas dan juga demam! Namun, mengapa Dominic terlihat tidak berdaya? Dominic hanya menggeleng pelan. Dia memang tidak demam, hanya saja kepalanya terasa sangat berat. Padahal hari ini dia harus ke kantor untuk memeriksa laporan bulanan Sky Crystal. Orang kepercayaan yang akan menggantikan Austin secara sementara, baru akan datang sore nanti. Jadi, Dominic tidak punya pilihan selain harus mengerjakan semuanya
Setelah pulang dari rumah Daniella, Anna masih terus memikirkan perkataan gadis itu siang tadi. Hamil? "Tidak mungkin. Seharusnya aku yang merasakan gejala kehamilan, seperti muntah-muntah dan sensitif kalau memang benar sedang hamil. Bukannya Dominic." Anna tertawa kecil dengan perasaan geli. Bisa-bisanya dia memikirkan perkataan Daniella secara berlebihan begini. "Kau sedang menertawakan apa, Sayang?" tanya Dominic yang tiba-tiba saja muncul. Pria itu sepertinya baru kembali dari kantor. "Tidak ada. Aku hanya sedang mengingat obrolan dengan Daniella saja. Kau mau makan apa malam ini, Dom?" Dominic mendadak mual begitu membayangkan berbagai macam makanan yang biasa mereka makan di malam hari. Dari mulai pasta, daging panggang, sup, ataupun ayam benar-benar membuatnya mual. "Kau kenapa lagi, Dom?" tanya Anna saat melihat Dominic menutup mulutnya. Wajah pria itu juga mendadak menjadi pucat. "Mual lagi?" Dominic hanya mengangguk pelan. Pria itu segera duduk di sofa dan me
Pagi itu, di kabin Dominic mulai heboh karena pria itu kembali mual dan muntah. Dia bahkan menolak semua sarapan yang sudah Anna masakkan. Perutnya benar-benar menolak segala jenis makanan yang ada di depan mata. Hanya buah-buahan tertentu saja yang bisa Dominic terima."Kita ke rumah sakit saja. Kalau seperti ini terus kau bisa kekurangan cairan, Dom." Anna masih terus berusaha membujuk Dominic. Seharusnya mereka hari ini pulang ke New York, tetapi jika kondisi Dominic terus seperti ini, maka kemungkinan terbesarnya mereka tetap akan tinggal di Sky Crystal untuk beberapa hari lagi. "Aku tidak mau, Sayang. Lagi pula aku bisa makan beberapa buah, kan? Jadi, jangan terlalu khawatir." Dominic menarik pundak Anna, dan pria itu langsung memeluk istrinya dengan erat. Dia juga menyusupkan wajahnya di ceruk Anna. "Kenapa kau keras kepala sekali, sih? Kalau seperti ini kapan kita bisa kembali ke New York. Mama juga sudah menelpon tadi karena kau tidak mengangkat panggilannya.""Kita tetap
Selama di perjalanan, tidak ada pembicaraan satu sama lain dari ke empat orang tersebut. Baik Harry, Austin, maupun Anna membiarkan Dominic yang langsung tertidur nyenyak begitu masuk ke dalam mobil. Sepertinya pria itu benar-benar kelelahan. "Anna!" panggil Austin yang memecah keheningan. Kepala pria tersebut menoleh ke belakang dan menatap istri Dominic itu dengan sedikit ragu. "Ada apa? Kau ingin mengatakan sesuatu, Austin?""Ya ... bagaimana dengan Daniella? Apa kau berhasil membujuknya?" tanya Austin dengan penuh harap. Namun, sepertinya Austin tidak menyadari jika mereka berempat di dalam mobil sekarang, dan Harry sedang menatapnya dengan kening berkerut. "Tunggu dulu. Aku seperti pernah mendengar nama itu," ujar Harry yang membuat Anna tidak jadi untuk menjawab pertanyaan Austin. Oh, sialan! Austin baru sadar jika ada Harry di sampingnya. Sejak tadi dia tidak bisa berpikir dengan benar, sehingga mengabaikan keberadaan Harry. Entah mengapa sejak melihat kedatangan Domin
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,