Aldebaran tidak beranjak dari lantai 20 Four Seasons Hotel. Dia sangat penasaran dengan apa yang akan dilakukan kedua pria tadi."Aku nggak mungkin cuma duduk diam melihat apa yang akan terjadi! Aku harus melakukan sesuatu, tapi apa?"Dengan hati gundah, Aldebaran melangkah menuju basement tempat dia memarkirkan mobilnya. Aldebaran menutup pintu mobil. Dia duduk di kursi kemudi dengan gelisah. Aldebaran sengaja memarkirkan mobilnya di dekat mobil milik keluarga Alexander. Karena dengan begitu, dia akan lebih mudah mengawasi setiap gerak-gerik Zoya.1 jam lamanya, Aldebaran berada di dalam mobil. Dia menjadi sangat tidak sabar. "Apa yang akan dilakukan Ezra pada Zoya? Apa mungkin dia mencintainya?"Aldebaran memijit pelipisnya yang terasa pusing karena memikirkan Zoya dan Ezra."Tapi, siapa pria yang tadi datang sama Ezra? Pria itu terlihat asing karena aku belum pernah lihat dia sebelumnya."Aldebaran mengaktifkan ponsel. Dia mengetik pesan untuk Carla.Aldebaran: Bantu saya awasi d
"Shit!" maki Aldebaran ketika pintu tertutup. Dia gagal menerobosnya.Aldebaran berjalan. "Aku harus mencari cara lain supaya bisa masuk ke dalam," ujarnya sambil berpikir. Aldebaran mendengar seseorang berjalan di belakangnya. Dia segera mencari asal suara itu.Aldebaran melihat seorang pria berusia sekitar 40-an awal hendak memasuki lift. Dia tanpa ragu menyapanya. "Permisi, Pak!" Pria itu berbalik, menatap Aldebaran. "Ya, ada apa?""Bisakah saya meminjam atribut Anda?"Pria tampak kebingungan. "Maksudnya? Terus terang aja, saya nggak ngerti maksud kamu," ujar si pria."Saya mau pinjam seragam yang Anda pakai atau kalo perlu saya akan menyewanya. Gimana, Pak?"Dengan penasaran, si pria bertanya, "Seragam lusuh ini? Untuk apa?""Bapak nggak usah tau. Jadi, apa boleh?" "Baiklah, baiklah." Si pria melepaskan seragam yang dipakainya. Yaitu seragam berwarna jingga yang bertuliskan petugas kebersihan.Aldebaran tersenyum tipis dan berkata, "Terima kasih, Pak.""Ini ambilah!" Pria t
Ezra menghampiri Aldebaran dengan kedua tangan yang mengepal. Tatapan Ezra setajam belati."Bajingan mana yang berani ganggu kesenanganku?!"Sementara Aldebaran yang memiliki jiwa sniper, tidak pernah gentar dengan apapun. Dia segera mengambil ancang-ancang untuk menyerang Ezra.Bukk! Bukk! Beberapa pukulan mengenai wajah Ezra. Pria itu meringis, menahan rasa sakit pada wajahnya. Sesekali Aldebaran melirik Zoya dengan kasihan.Aldebaran berteriak, "Tutup mata kamu, Nona!""Brengsek! Kenapa kamu ikut campur urusanku, hah?!" Ezra yang sejak tadi naik pitam, terus menerus melayangkan pukulan ke arah lawan. Meskipun dia telah berusaha, Aldebaran selalu berhasilmenghindarinya."Saya nggak suka seorang pria menindas wanita!"Ezra tersenyum sinis. "Jangan sok pahlawan!" Ezra berteriak marah. Dia menyerang Aldebaran dengan membabi buta. Karena tidak ingin membuang waktu dan tenaganya, Aldebaran menghantam dada Ezra dan membuatnya tersungkur di lantai dengan tidak berdaya.Aldebaran mena
"Komandan ngapain manggil aku?"Seorang pria berdiri di depan kantor sang komandan di pelatihan tembak, Surabaya. Dia memakai pakaian hitam lengkap dengan baret ungu di kepalanya.Dia merapikan pakaian sebentar, lalu mengetuk pintunya. "Masuk!" Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia segera membuka pintu. Dia melangkah masuk mendekati sang komandan yang berdiri membelakanginya.Sang komandan berbalik. "Abraham Malik!" panggil Erick Sanjaya.Abraham Malik, 21 tahun. Dia memiliki perawakan ideal sebagai syarat masuk ke sekolah militer. Tingginya 185 cm dan berat badan 65 kg.Reflek, Abraham menjawab dengan lantang. "Siap, Komandan!" Dia menatap Erick. "Benarkah Anda memanggil saya?""Kamu sudah dua tahun mengikuti sekolah militer di sini. Kamu juga sudah mengikuti latihan pasukan khusus. Apa kamu puas dengan prestasi yang telah tercapai dalam satu tahun ini?""Maaf, Komandan. Meskipun saya mengikuti latihan pasukan khusus, tapi saya bergabung di pasukan ini baru satu tahun."Abraha
"Jakarta, aku datang!" Aldebaran Kellendra. Nama itu adalah identitas Abraham Malik yang baru. Pukul 06:20 pagi. Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta hanya memakan waktu 1 jam lebih. Selama di perjalanan, Aldebaran tidak bisa memejamkan mata. Dia terus menerka-nerka kehidupan ibukota yang kata orang penuh warna.Pesawat sudah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aldebaran berada di kabin kelas bisnis. Dia melepaskan sabuk pengaman. Lalu, meraih ponsel. Aldebaran merasa ada seseorang sedang memperhatikannya. Dengan ditunggangi rasa penasaran, dia pun menoleh ke sisi kiri. "Aduhai, cantik banget!" Aldebaran memekik terkejut. Seorang gadis berusia 18 tahun menatapnya. Jantung Aldebaran berdebar kencang. Tanpa disadari, Aldebaran menyebutkan ciri-ciri fisik si gadis. "Bola mata dan rambut panjang berwarna coklat. Hidung mancung dan kulitnya putih banget. Dia tinggi dan ramping."Selama 3 tahun berada di tempat pelatihan militer, Aldebaran belum pernah melihat gadis canti
Wajah Aldebaran masam. Dia melihat Ahmed membuang ludah di sampingnya. Aldebaran mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Dia hendak meraih leher satpam, tetapi niatnya terhalang setelah mendengar seseorang berteriak. Muncul pria jangkung dari dalam rumah. "Udin!" panggil si pria jangkung. "Apaan?" sahut Ahmed. "Ganggu aja!"Si pria jangkung mendekati Ahmed. "Tamu penting Tuan Besar udah dateng belum?" Ahmed mulai mencurigai Aldebaran. "Namanya siapa? Dari tadi nggak ada tamu yang dateng.""Kalau nggak salah, namanya Aldebaran Kellendra," sahut si jangkung. Ahmed tercengang. "Hah?!"Kedua mata Ahmed mengarah kepada Aldebaran. Pria jangkung pun mengikuti arah pandang Ahmed dan dia mengerti. Aldebaran yakin, Ahmed sudah tahu identitasnya sebagai tamu penting Adi Wijaya. Jangkung mendekati Aldebaran. "Apa kamu Aldebaran Kellendra?""Iya," jawab Aldebaran, santai."Ayo cepat ikuti saya! Tuan Besar Adi udah nunggu kamu dari tadi pagi."Aldebaran tidak banyak berbicara. Dia menyeringai p
Brak!Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?""Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu.Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron.Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!"Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron."Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran."Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan
"Kamu sering pergi ke tempat kayak gini, Ron!" tanya Aldebaran.Aldebaran dan Ron masuk ke klub malam Jenja. Aldebaran dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Ron, pria jangkung dengan kulit sawo matang. Dia selalu tersenyum dan wajahnya biasa-biasa saja. "Ini tempat terbaik melepas stres." Ron menjawab dengan santai. "Halo, ladies!"Ron mulai menggoda beberapa wanita. Dia melirik Aldebaran yang mengikutinya dari belakang.Raut wajah Aldebaran masam. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 malam waktu Jakarta. Aldebaran berkata dengan malas, "Buatku, ini tempat teraneh yang pernah aku datengin."Ron tertawa. "Hahahaha! Kamu bakalan suka sama tempat ini. Karena di sini banyak cewek cakep dan seksi. Sesekali cari cewek sana! Di tempat pelatihan militer dulu kan nggak ada cewek."Kedua mata Aldebaran mencoba menyesuaikan dengan lampu sorot yang berputar. Telinganya terasa sakit mendengar suara bising musik yang sedang dimainkan oleh seorang DJ wanita.Kedua mata Aldeba
Ezra menghampiri Aldebaran dengan kedua tangan yang mengepal. Tatapan Ezra setajam belati."Bajingan mana yang berani ganggu kesenanganku?!"Sementara Aldebaran yang memiliki jiwa sniper, tidak pernah gentar dengan apapun. Dia segera mengambil ancang-ancang untuk menyerang Ezra.Bukk! Bukk! Beberapa pukulan mengenai wajah Ezra. Pria itu meringis, menahan rasa sakit pada wajahnya. Sesekali Aldebaran melirik Zoya dengan kasihan.Aldebaran berteriak, "Tutup mata kamu, Nona!""Brengsek! Kenapa kamu ikut campur urusanku, hah?!" Ezra yang sejak tadi naik pitam, terus menerus melayangkan pukulan ke arah lawan. Meskipun dia telah berusaha, Aldebaran selalu berhasilmenghindarinya."Saya nggak suka seorang pria menindas wanita!"Ezra tersenyum sinis. "Jangan sok pahlawan!" Ezra berteriak marah. Dia menyerang Aldebaran dengan membabi buta. Karena tidak ingin membuang waktu dan tenaganya, Aldebaran menghantam dada Ezra dan membuatnya tersungkur di lantai dengan tidak berdaya.Aldebaran mena
"Shit!" maki Aldebaran ketika pintu tertutup. Dia gagal menerobosnya.Aldebaran berjalan. "Aku harus mencari cara lain supaya bisa masuk ke dalam," ujarnya sambil berpikir. Aldebaran mendengar seseorang berjalan di belakangnya. Dia segera mencari asal suara itu.Aldebaran melihat seorang pria berusia sekitar 40-an awal hendak memasuki lift. Dia tanpa ragu menyapanya. "Permisi, Pak!" Pria itu berbalik, menatap Aldebaran. "Ya, ada apa?""Bisakah saya meminjam atribut Anda?"Pria tampak kebingungan. "Maksudnya? Terus terang aja, saya nggak ngerti maksud kamu," ujar si pria."Saya mau pinjam seragam yang Anda pakai atau kalo perlu saya akan menyewanya. Gimana, Pak?"Dengan penasaran, si pria bertanya, "Seragam lusuh ini? Untuk apa?""Bapak nggak usah tau. Jadi, apa boleh?" "Baiklah, baiklah." Si pria melepaskan seragam yang dipakainya. Yaitu seragam berwarna jingga yang bertuliskan petugas kebersihan.Aldebaran tersenyum tipis dan berkata, "Terima kasih, Pak.""Ini ambilah!" Pria t
Aldebaran tidak beranjak dari lantai 20 Four Seasons Hotel. Dia sangat penasaran dengan apa yang akan dilakukan kedua pria tadi."Aku nggak mungkin cuma duduk diam melihat apa yang akan terjadi! Aku harus melakukan sesuatu, tapi apa?"Dengan hati gundah, Aldebaran melangkah menuju basement tempat dia memarkirkan mobilnya. Aldebaran menutup pintu mobil. Dia duduk di kursi kemudi dengan gelisah. Aldebaran sengaja memarkirkan mobilnya di dekat mobil milik keluarga Alexander. Karena dengan begitu, dia akan lebih mudah mengawasi setiap gerak-gerik Zoya.1 jam lamanya, Aldebaran berada di dalam mobil. Dia menjadi sangat tidak sabar. "Apa yang akan dilakukan Ezra pada Zoya? Apa mungkin dia mencintainya?"Aldebaran memijit pelipisnya yang terasa pusing karena memikirkan Zoya dan Ezra."Tapi, siapa pria yang tadi datang sama Ezra? Pria itu terlihat asing karena aku belum pernah lihat dia sebelumnya."Aldebaran mengaktifkan ponsel. Dia mengetik pesan untuk Carla.Aldebaran: Bantu saya awasi d
Aldebaran berlari masuk ke toilet wanita. Brak! Aldebaran membuka pintu toilet dengan kasar. Dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru toilet. Namun, tidak menemukan siapapun."Anda di mana, Nona?" tanya Aldebaran. "Nona? Anda dengar saya, nggak?""Saya di sini, Tuan. Di toilet paling ujung sebelah kanan," jawab si wanita.Aldebaran bergegas ke sana. Tidak lama, dia melihat Zoya.Zoya tersungkur di lantai sambil mengaduh. Sementara si wanita menyanggah kepala Zoya dengan tangan kirinya agar tidak membentur dinding."Apa yang terjadi?" tanya Aldebaran, tidak sabat."Kamu?" Zoya terkejut saat melihat Aldebaran baginya tidak asing."Saya bantu berdiri," ujar Aldebaran. "Tuan, sepertinya kaki Nona ini terkilir," kata si wanita."Baiklah. Saya akan menggendongnya."Aldebaran melangkah mendekati Zoya dan wanita tadi."Permisi, saya akan membawa Nona ini keluar dari sini," ujar Aldebaran."Ya," jawab si wanita sambil berdiri dengan perlahan."Maaf, siapa nama Anda, Nona?" tanya Aldebara
Aldebaran mulai menikmati menu pesanannya sambil sesekali melirik Zoya. Pengunjung yang tidak begitu banyak, jadi memudahkan Aldebaran mendengar semua perbincangan mereka."Zoya, bagaimana dengan baletmu diBolshoi?" tanya Cornelia."Aku berhenti.""Hah? Apa?" teriak keempat wanita serempak."Kenapa, Zoya?" tanya Amanda yang sejak tadi hanya terdiam.Zoya bertanya balik, "Apa peduli kamu, Kak?""Hah? Kamu bilang, apa peduliku?" Kedua mata Amanda membulat sempurna."Benar. Karena selama ini, kamu cuma sibuk sama dunia kamu sendiri!" seru Zoya sambil membenarkan anak rambutnya yang menutupi mata."Tapi, Zoya....""Manda, cukup! Jangan buat kegaduhan di restoran ini!" Dia adalah Natasha. Penampilan Natasha elegan dengan rok hitam bergaris yang panjangnya selutut dan dipadu dengan atasan sabrina berwarna merah muda."Tapi, Kak....""Stop!" seru Natasha lagi. "Kami semua tahu sikap pemberontak kamu di keluarga!"Aldebaran tampak tidak tenang melihat Amanda terpojok seperti itu. "Wanita
"Bagaimana jika di sini, Tuan?" Carla menunjuk dengan sopan tempat duduk dekat jendela di sisi kirinya."Hmm, nggak masalah," sahut Aldebaran, menyetujuinya.Carla berkata dengan sopan. "Kalau begitu, silakan duduk! Ini buku menunya. Jika sudah siap memesan, silakan panggil saya atau pelayan lainnya, Tuan!""Oke," jawab Aldebaran datar.Setelah Carla pergi, Aldebaran melirik dua meja di barisan depan. "Aku pikir, suasana restoran Italia ini formal, tapi ternyata nggak." Aldebaran menatap empat wanita yang duduk di meja barisan depan. "Homey and cozy banget di sini!" seru Aldebaran sambil terus menatap keempat wanita."Tapi, di mana Zoya?"Kedua mata Aldebaran tidak berhenti mencari-cari Zoya yang sedari tadi tidak terlihat. Aldebaran mengenal keempat wanita yang sedang berbincang sambil sesekali tertawa."Zoya!" Wanita bermata bulat meneriakkan nama Zoya. Dia adalah Cornelia. Cornelia berdiri dan diikuti ketiga wanita lainnya."Hai, Onel!" Zoya memeluk wanita Cornelia. "Gimana
Aldebaran sedang memegang gelang milik Zoya di tangan kirinya sambil terus berbicara seolah-olah itu adalah Zoya, si Nona ketiga keluarga Alexander.Ponsel Aldebaran menyala. Tertera nama Nico di layar. Aldebaran membuka pesan dengan tidak sabar.Nico : Saya akan mengirimkan jadwal Nona Zoya segera.Aldebaran : Sekarang!Nico : Baik, Bos.Aldebaran masih menunggu hasil Nico dengan sabar. Dia bersiul-siul di dalam mobilnya sambil sebuah yang sedang diputar.Nico: Bos, Anda sudah membaca pesan saya yang terakhir? Cepat respon saya.Aldebaran tersentak membaca pesan terakhir Nico. "What? Really?" Aldebaran terperangah saat membaca pesan Nico yang berisi tentang kegiatan Zoya untuk satu minggu ke depan. Dia menggelengkan kepala karena sangat puas dengan hasil kerja Nico. Aldebaran: Oke. Kerja bagus!Nico: Thank you, Bos. Apa masih ada lagi tugas buatku?Aldebaran: Tunggu job selanjutnya!Nico: Oke, Bos.Aldebaran tiba di apartemennya menjelangsenja. Dia merasakan sepi tanpa Shania.Al
Mau tidak mau, Aldebaran bangun dan duduk di samping Shania. Dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.Aldebaran membaca satu pesan masuk yang memang sudah dia tunggu-tunggu sejak lama.Nico: Bos, Nona Zoya udah kembali dari Rusia. Saat ini sedang berada di kediamannya.Aldebaran membaca pesan dari Nico dengan jantung berdebar dan mata yang berbinar. Dia segera membalasnya.Aldebaran: Cari tau semua kegiatan Zoya!Nico: Oke, Bos!Aldebaran lega seketika. Dia tidak berhenti tersenyum sambil membayangkan wajah cantik Zoya."Kells? Kamu kayaknya happy banget?"Aldebaran tidak menjawab. Dia mendaratkan bibirnya di kening Shania. Lalu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula.Shania menutup kedua matanya sejenak. "Sebentar, Kells. Kayaknya ponselku berdering." Shania bergegas bangun dari sofa dan berjalan ke kamar untuk mengambil ponselnya."Itu pasti keluarganya," gumam Aldebaran sambil mengikuti langkah Shania.Shania meraih ponselnya di atas meja nakas. Wajahnya berubah teg
"Hmm, sini!" seru Aldebaran, tersenyum tipis.Shania berjalan, lalu berdiri di samping Aldebaran. "Aku lapar," katanya, pelan. Aldebaran membelai rambutnya perlahan. "Kita pesan makan aja, ya? Kamu mau makan apa?""Beef burger with corn soup," jawab Shania dengan lancar."Cuma itu?""Ya," sahut Shania sambil memeluk perut Aldebaran. "I want you more!""Hmm? Are you ok, Sha?""Ho-oh," jawab Shania.Aldebaran tidak menanggapinya. "Oke, aku pesan dulu," ujarnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana "Oh iya, kamu jangan keluar dari sini sebelum aku kasih izin!""Kenapa?""Ini perintah, ok!" Aldebaran menjawab dengan cuek Kedua alis Shania terangkat. "Sejak kapan kamu berani memerintahku?"Aldebaran menatap Shania sebelum akhirnya menempelkan bibirnya ke gadis itu."Sejak apa yang kita lakukan tadi di kamarku," jawab Aldebaran sehingga membuat Shania tersipu malu. Shania menunduk. "Aku mandi dulu.""Kamu bawa baju ganti, nggak?""Nggak," jawab Shania, panik. "Terus, gimana?""Ten