Lingga mengadahkan tangannya, menatap kosong sebuah duri runcing yang berwarna ungu yang kini melayang di atas telapaknya, duri itu juga sedikit memiliki kilat cahaya karena bulan purnama yang ada di atas mereka. Dia sudah tahu mengapa kekuatan ini kembali padanya, mungkin saja—
“Kudengar Regar mati?” buka Grilya seakan menyuarakan pikiran Lingga.
“Hati-hati dengan ucapanmu, kata-kata itu adalah doa,” guraunya membuat Grilya merotasi bola matanya dengan malas.
“Aku juga berdoa dia mati,” lanjut Grilya pelan.
“Dasar iblis.”
“Terima kasih.”
Gadis itu mengayunkan kakinya dengan santai, dia masih terduduk di salah satu bangku taman, berhadapan langsung dengan Lingga yang kini masih menatapi kekuatan barunya itu sambil bersandar di bawah pohon, bersebrangan langsung dengan posisi bangku taman yang sedang Grilya duduki.
“Duri ini, akan menghujani siapapun yang mencoba melepaskan topeng dari tubuhnya.” Lingga menatap duri itu y
“Daerah kampus memiliki banyak pepohonan,” lanjut Citra mengabaikan respon Arta yang sama sekali tak paham dengan apa yang dia katakan. “Dan kupikir, kita seharusnya menghindari cahaya bulan purnama.”Apa yang Citra katakan memang tak berlebihan, mengingat bagaimana sebelumnya orang berlalu-lalang dengan santai di bawah sinar bulan menggunakan topeng, juga ketika Jane dan Putra keluar dari mobil tanpa topeng dan langsung mendapatkan serangan. Arta sama sekali tak menyangkal tentang kecurigaan Citra perihal cahaya bulan.Walaupun sejujurnya mereka tak begitu tahu apa yang benar-benar berbahaya disini.Kelima orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, masuk ke dalam bangunan-bangunan kampus untuk menghindari cahaya bulan, dan mencoba menemukan manusia waras di sana untuk mendapatkan informasi lebih.“Oh, kau masih membawa tongkat pisau dari Arta? Kupikir kau pandai tangan kosong?” ejek Putra
Dibandingkan muncul tiba-tiba, portal sebelumnya lebih seperti sedang datang dan langsung menelan Cuna hidup-hidup, dia bahkan sangat cepat sampai-sampai mereka sama sekali tak sempat untuk membuat reaksi, rasanya hal itu seakan terjadi kurang dari satu detik.Mereka saling berpegangan tangan, Jane bersampingan dengan Arta, Citra yang ada di belakang Jane, sedangkan Putra merangkul Citra yang ada di sampingnya, —pemuda itu berada tepat di belakang Arta. Mereka memutuskan untuk saling terikat dengan untuk berjaga-jaga jika saja ada yang terseret dengan portal dimensi seperti tadi, mereka takkan sendirian.Lagi pula, Cuna itu suka membahayakan dirinya sendiri. Dia pasti bisa menjaga dirinya. Begitu yang Arta pikirkan, dan dia sampaikan pada Jane. Setidaknya kata-kata seperti itu dapat membuat Jane merasa lebih tenang.Walaupun tak lama setelahnya, Putra itu menyahut seperti, “Ya, jika kau yang diseret portal, sudah pasti kau akan mati kare
Cuna menatap dengan sorot mata kosong hamparan pasir yang kini ada di hadapannya, dia bahkan sama sekali tak tahu kini dia ada di mana. Matanya kembali terarah ke langit, menatap bulan purnama yang rasanya makin lama semakin memancarkan cahaya yang kian menyilauan. Bisa dibilang, malam itu sangatlah cerah, dia bahkan tak menemukan sedikitpun awan berani menutupi purnama itu. Cuna memutar tubuhnya, mulai menatap sekeliling dan menyadari bahwa beberapa kilometer dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah Pura.Tempat itu terlihat cukup ramai, lengkap dengan suara-suara gemelan dan nyanyian merdu dari sinden yang mulai sampai ke dalam telinganya. Gadis itu terdiam, dibandingkan merasa penasaran, dia malah merasa muak sendiri karena seakan tempat itu mengundangnya untuk datang ke sana.Terakhir kali dia mengikuti kata hatinya, dia membuat Wonu harus berjuang berdua saja dengan Jane, dan berakhir dengan kematian. Kejadian itu sudah sangat cukup untuk membuatnya marah pada diri
Citra menatap sekelilingnya. Banyak tenda berjejeran yang berhadapan langsung dengan sebuah danau, daratan ini dikelilingi oleh bukit-bukit kecil, udara yang terasa menipis, angin malam yang begitu tenang, hingga embun tipis yang menutupi mata kakinya membuat Citra memilih untuk mengambil jaket di tas dan mengenakannya untuk menghangatkan tubuh.Setelah kembali mengenakan tasnya dan merapatkan jaketnya, gadis itu berkeliling sejenak. Memerhatikan isi tiap tenda yang ada disana untuk memastikan bahwa dia tak benar-benar sendirian.Namun sayangnya, gadis itu tak menemukan siapapun.Dia tak begitu suka tempat ini.Malam hari terasa sangat cerah dengan bulan berwarna merah kebiruan dan puluhan bintang disekitarnya. Citra akhirnya mengambil salah satu lampu gantung di salah satu tenda dan membawanya menuju tepi danau tersebut, menatap ke ujung danau berharap bahwa dia bisa menemukan sedikit keributan yang bisa dia anggap sebagai ulah Jane dan Putra, ataupun Ar
“GAK BAKAL BERHENTI JARUM SAMA SETAN-SETAN INI NGEJAR KALO KITA GAK PAKAI TOPENG!” teriak Jane tanpa sadar.“YAUDAH AYO PAKAI TOPENG!” balas Putra tanpa memelankan langkah kakinya yang kian lama kian melaju.“TOPENGNYA KAN TADI DIBUANG ANJING!” amuk gadis itu dengan emosi.“KAU YANG NGIDE BANGSAT!!”“AKH!” jerit gadis itu histeris ketika merasakan sebuah jari nyaris menyentuh punggungnya, dia lantas dengan cepat kembali melajukan langkahnya, membuat Putra sedikit tertinggal di belakang. “LAKUKAN SESUATU! KAU KAN WRENA!”“Lah, bener. Aku kan wrena?” gumam Putra seakan baru benar-benar tersadar bahwa dia tak lagi sama dengan manusia.Pemuda itu lantas mengubah satu lengannya menjadi tumpukkan tulang yang meruncing, membiarkan Jane terus lari mencari jalan keluar dari hutan itu sambil menghindari duri-duri yang berterbangan, sedangkan Putra mulai mengayunkan tan
Malam itu, Mala mungkin tidak akan kembali, akan tetapi Citra tahu pasti bahwa kakak kesayangannya itu tidak akan benar-benar mati. Dia benci mengakui bahwa Mala tak menepati janjinya, namun pada akhirnya dia juga paham bahwa apapun yang terjadi pada Mala setelah kepergiannya, mungkin bukanlah hal yang indah. Ia bisa memastikan bahwa kakaknya itu takkan pernah tunduk pada budaya-budaya fiktif yang sengaja di kembangkan para tetua hanya demi memenuhi harsat membunuh mereka saja. Dia tahu Mala takkan pernah tunduk pada tradisi tak manusiawi seperti itu. Kamis, 08 Februari 2008, usia Citra baru saja menginjak ke angka 13 saat Mala pertamakali berkata padanya bahwa itu adalah umur yang tepat, umur yang pas baginya untuk segera pergi dari desa mereka. Mala bilang, dia akan menyusul Citra nantinya. Mereka akan tinggal bersama, di Bali, di rumah kenalan Mala. Menjauh dari desa, memutuskan hubungan dengan keluarga dan kerabat mereka, membuat berbagai skenario
Putra memerhatikan beberapa gelembung yang berjejer di sana. Dari sekian banyak gelembung yang ada di belakang Lingga, ada gelembung yang berisikan sosok Citra, sedangkan di samping gadis itu ada gelembung yang berisikan anak kecil, dan satunya lagi adalah seorang pemuda dengan pedang yang sedikit berkarat di genggamannya.Dia terdiam, menyadari bahwa mungkin sebagian dari prajurit Bérawa yang melakukan patroli di Nusantara selama hari itu juga berhadapan dengan para Wrena, seperti dirinya dengan Citra dan Arta di Jogja, ataupun mereka yang kini ada di dalam gelembung itu; Okta dan Joyla.Padahal anak itu masih berusia 15 tahun namun dia sudah langsung dihadapkan dengan masalah seperti ini dipenugasan pertamanya.Hal yang dia ingat, Okta dan Joyla bertugas di Jakarta karena kakaknya Joyla berada di sana untuk urusan lomba. Entah perlombaan seperti apa juga dia tak tahu karena saat itu mereka sudah terburu-buru untuk pergi ke Jogja.‘Kenap
“Jadi ... ini adalah dimensi dimana kita dipertemukan dengan orang yang berarti dalam hidup kita?” gumam Joyla tanpa sadar. “Ini dimensi dimana kau bertemu dengan orang yang sudah mati, dan masih menyayangimu.” Gadis kecil itu terdiam mendengar balasan Hanbin, matanya masih menatap sorot tulus dari kakak kandungnya tersebut. “Jadi ... itu adalah alasan mengapa aku tak bisa menemukanmu di Jakarta?” Hanbin mengangguk kecil, “Maaf ....” “Apa kau menang?” “Entahlah,” balasnya pelan, “Gempa terjadi saat pengumuman pemenang akan dilontarkan.” Joyla sama sekali tak membuka suara mendengar hal itu, membuat Hanbin kembali meliriknya dan tersenyum tipis. “Kau tak sedih?” “Sedih, aku hanya tak bisa menangis.” Hanbin terkekeh kecil mendengar hal itu, “Kau memang tak pernah menangis, Joy.” Kematian kedua orang tua mereka bahkan tak membuat Joy meneteskan air mata, karena itu juga Hanbin sama sekali tak heran jika adiknya itu tak bisa menang
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar