“Jadi ... ini adalah dimensi dimana kita dipertemukan dengan orang yang berarti dalam hidup kita?” gumam Joyla tanpa sadar.
“Ini dimensi dimana kau bertemu dengan orang yang sudah mati, dan masih menyayangimu.”
Gadis kecil itu terdiam mendengar balasan Hanbin, matanya masih menatap sorot tulus dari kakak kandungnya tersebut. “Jadi ... itu adalah alasan mengapa aku tak bisa menemukanmu di Jakarta?”
Hanbin mengangguk kecil, “Maaf ....”
“Apa kau menang?”
“Entahlah,” balasnya pelan, “Gempa terjadi saat pengumuman pemenang akan dilontarkan.” Joyla sama sekali tak membuka suara mendengar hal itu, membuat Hanbin kembali meliriknya dan tersenyum tipis. “Kau tak sedih?”
“Sedih, aku hanya tak bisa menangis.”
Hanbin terkekeh kecil mendengar hal itu, “Kau memang tak pernah menangis, Joy.” Kematian kedua orang tua mereka bahkan tak membuat Joy meneteskan air mata, karena itu juga Hanbin sama sekali tak heran jika adiknya itu tak bisa menang
*Kuta Selatan, 19 Februari 2020.*Sehari sebelum insiden tornado beruntun di pulau Jawa. Hari itu Budiandra bersama Dirga mengumpulkan kesembilan Pilar Merah milik Bérawa untuk patroli tahunan mereka ke tiga gerbang yang tersebar di sekitar pulau Jawa. Mereka adalah Arta, Okta, Joyla, Joe, Ilyas, Kintan, Putra, Citra, dan Rolla. Pulau Jawa memiliki tiga gerbang sakral yang sebenarnya dijaga oleh banyak energi para tetua dari masalalu, namun Bérawa tetaplah salah satu komunitas lawas yang memiliki kewajiban untuk memastikan keamanan gerbang-gerbang itu.Tiga gerbang tersebut berada di laut perbatasan antara Cilegon - Bakau, di Alun-alun Yogyakarta, dan di laut perbatasan antara Alas Purwo - Denpasar. Joyla –yang dihitung dua orang karena bersama Joe sebagai roh yang tinggal di tubuhnya— dan Okta memegang kendali dalam patroli di sekitar Banten untuk melihat gerbang di la
Malang tidak dijatuhi tornado ketika nyaris seluruh tanah di Jawa hancur karena pusaran angin raksasa itu. Di hari yang sama, saat siang datang ketika matahari berdiri tepat di atas kepala, dengan sekali kedipan mata, kota itu seketika berubah menjadi gelap gulita.Purnama muncul dengan warna violetnya, membuat semua kegiatan terhenti, membuat orang-orang yang lari berlalu-lalang karena panik kebingungan kini terdiam, menahan napas menatap rembulan itu. Tak semua orang menyadarinya, namun saat seseorang mencoba melihat lebih jeli bentuk bulan tersebut, ia bisa menyadari adanya tumpukkan ribuan manusia tergantung di sana, dengan tiap dahi yang ditancapi paku-paku besar, dengan kaki-kaki pucat yang terayun di udara. Dia tak tahu jelas, itu benar-benar manusia atau roh yang telah mendapatkan hukuman mematikan dari para Dewa. Namun ... ribuan? Tidak, dengan ukuran bulan yang sebesar itu, jumlahnya pasti jutaan.Apa yang sedang terjadi?Pertanyaan itu masih tergantun
Tindakkan Cuna yang hanya berlangsung sepersekian detik membuat fokus semua orang teralih pada retakan yang dia buat. Okta yang menyadari kesempatan kecil itu lantas menyeringai, memperkuat pijakan di kakinya dan meloncat kencang hingga dia sampai di samping Lingga, lalu dalam kurun waktu kurang dari sedetik, dia sudah mengeluarkan pedang berlapis api biru yang sedikit berkarat ujungnya, dan lantas memotong tangan Lingga yang sedang mencengkram leher Joe. Membuat gadis itu mampu lolos dan langsung kembali memasuki tubuh Joyla.“Kau kembali membiarkan mereka melakukan itu?” sinis Grilya pelan, terdengar cukup kesal karena tingkah Lingga yang seakan sedang mempermudah segala akses orang-orang itu untuk menganggap mereka lemah.“Lagi pula mereka takkan bisa kemanapun.” Lingga membalas dengan tenang sambil memerhatikan lengannya yang kembali tumbuh dalam sekejap.Okta kembali ke sisi Joyla tanpa halangan apapun, sedangkan mereka semua masih t
Mereka terbang kian lama kian meninggi dengan Okta ⸺yang membawa Joyla⸺ di bagian teratas, lalu Arta, Citra, Cuna, dan Putra yang membawa Jane di atas bahunya. Gadis itu merasa benar-benar terbodohi karena dia mengira bahwa para prajurit Bérawa ini akan mengeluarkan formasi keren mereka ala di film-film fantasy action kebanyakan, nyatanya, rencana yang mereka maksud adalah rencana kabur bersama. “APA CUMA AKU YANG TAK TAHU?!” teriak Jane terdengar kesal, bahkan Cuna terlihat tak terkejut dengan aksi dadakan itu. Berbeda jauh dengan reaksinya. “Cuna punya reflek yang bagus, sedangkan kau lebih sering telat menyadari sesuatu.” Putra membalas dengan cepat, “Dan sepertinya Okta menyadari kesempatan untuk kabur ketika melihat retakkan yang telah Cuna ciptakan.” “Apa maksudmu?” tanya Jane menyadari bahwa mereka masih terbang ke arah atas, semakin jauh dari tempat Lingga dan Grilya berada. “Kuku itu bisa membuat retakkan dari dalam, artinya kita bis
Lingga dan Grilya sampai di Alas Purwo ketika matahari mulai terbenam. Hutan raksasa yang sudah sangat tua itu memiliki banyak sekali nilai sejarah dari abad ke abad, di tempat ini juga memiliki banyak sekali goa dan tentunya, sebuah pintu masuk khusus yang dijaga oleh para Peri untuk membawa mereka ke Yamani.Tempat dimana para Pure Wrena, Cendrasa, hingga Ratu tinggal.Mereka akhirnya masuk ke dalam pintu yang memiliki cahaya biru gelap itu, setelah dipersilahkan masuk oleh para Peri penjaga. Sebuah pintu merah raksasa dengan ukiran bunga kenanga berwarna emas kini menyambutnya, bebauan khusus melati bercampur anyir darah mulai memenuhi indra penciuman mereka berdua. Itu harum, sangat menyegarkan bagi kaum mereka karna dianggap sebagai bau yang sangat sakral. Ukiran bunga kenanga berwarna emas yang ada di pintu raksasa itu mulai mekar bersamaan dengan pintu yang terbuka, menandakan bahwa mereka telah dipersilahkan masuk ke dalam ruang pertemuan, tempat dimana mereka
19 Februari 2020, pukul 11 malam. “Kita tak pernah mengirim seluruh anggota Pilar Merah di tahun yang sama untuk memeriksa gerbang.” Pria yang sudah masuk usia 70 itu masih terlihat bugar sekalipun memiliki kebiasaan menghisap cerutu, “Biang bahkan menyetujui hal itu tanpa bertanya lebih ketika aku bilang bahwa itu adalah idemu,” ucapnya lalu melirik Dirga. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Dirga?” Dirga menunduk sambil memasang senyuman tipis. Sejauh dia menjaga tempat ini, tiap pilar yang diperintahkan untuk memeriksa gerbang biasanya hanyalah satu pilar dengan dua anak buah. Namun hari ini, mereka menggunakan seluruh anggota Pilar Merah, para pilar khusus petarung untuk memeriksa gerbang di tiga daerah, di waktu yang sama, dan juga ... mereka menggunakan seluruh kartu as mereka di tempat-tempat tertentu. Arta, Okta, dan Joyla benar-benar dibawa keluar dari Bali. Walaupun tiap tahun memang Arta selalu melakukan itu, namu
Namanya, Kendari Kertabumi. Ajiknya bilang, dia takkan memberikan nama marga maupun bagian-bagian khas Bali karena mereka memang tak benar-benar berasal dari sana. Dia tahu persis sejarah yang ada, karena kekuatan Langit, ayahnya tetap bertahan menjadi mahluk yang sama dengan jiwa sekaligus ingatan yang tak pernah berubah. Mereka orang pertama yang melanggar sumpah. Namun, tak ada satupun hukuman yang bisa menghancurkan keduanya. Wanita itu masih ingat ketika usianya baru menginjakkan angkat 5, dan dia mendengar kabar kematian ayahnya. Lagi-lagi karena persoalan politik, lagi-lagi karena keegoisan para manusia, lagi-lagi karena begitu mencintai Nusantara. Dia mengemban semua tanggung jawab Berawa setelah kematian ayahnya. Dia berusaha untuk mempertahankan komunitasnya, mencoba untuk tidak menghapuskan segala usaha yang telah dipertahankan ayahnya. “Untuk apa kau membawa kami ke sini?” tegur salah satu tetua dari Ubud itu. “Apa yang terjadi ...
“Kita benar-benar boleh memakannya sekarang?” tanya Rolla membuka kotak kecil miliknya dan mengambil sepotong daging merah itu. Sekalipun sudah disimpan berpuluh-puluh tahun, dia benar-benar tak menyangka bahwa daging di tangannya itu masih bisa terlihat sangat segar. “Bentar!” cegah Budianra membuat Rolla mendesah kesal sambil melirik pria tua itu. “Mereka akan datang sebentar lagi, kita akan makan bersama.” “Siapa?” tanya Rolla tak sabaran. “Oh ...” gumam Kintan tanpa sadar ketika satu-persatu anggota Pilar Kuning dan Biru muncul dari balik tangga menuju halaman depan Pura tempat mereka berkumpul. “Kupikir mereka sudah memakannya?” Ilyas melambaikan tangan pada orang-orang itu sedangkan Budianra meminta semua orang untuk cepat berkumpul dan berdiri membentuk sebuah lingkaran. Sejujurnya dia hanya mengatakan pada Pilar Kuning dan Biru untuk berkumpul di Pura biasa, sebab semua benar-benar akan dimulai di sana. Pilar Merah memiliki anggota ter
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar