"Astaghfirullahhalazim ... Tega sekali Emak!"
Rusman meraup wajah penuh amarah, menarik sang istri yang tengah menangis tanpa suara ke dalam pelukannya.
"Sudah, Adek bersiap saja pergi kerja. Nanti terlambat," hibur Rusman pada istrinya. Lalu merogoh saku bajunya untuk mengambil satu lembar uang yang tersisa di sana. Satu lembar sepuluh ribu yang sudah kumal warnanya.
"Ini, Abang masih punya 10 ribu. Nanti, Adek belikan nasi bungkus buat Adek makan." ucapnya membantu menghapus sisa air mata di wajah Yuni.
"Tapi, Bang nanti Aa'--"
"Sudah, si Aa' juga pulangnya masih nanti sore. Siang ini biar Abang selesaikan kerjaan di Yu Hamidah biar dapet uangnya segera." jawab Rusman cepat.
"Sudah, hayuk Abang antar sekalian jemput si Neng."
Dengan perasaan sakit bercampur kesal, Rusman mengantarkan Yuni ke pabrik tempatnya bekerja yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Lalu berbalik untuk menjemput sang anak bungsu. Mengendarai motor bututnya, ia melaju dengan perasaan hancur. Jika di hadapan Yuni dia masih bisa tersenyum, tapi kali ini tidak lagi. Air mata yang sedari tadi ia tahan tumpah seketika.
"Tega sekali Emak memberiku beras aking yang sudah banyak kutunya, ya Allah. Apa salah dan dosaku pada Emak?" isaknya lirih sambil terus fokus pada jalanan. Air matanya mengalir deras bahkan sampai tertiup angin.
Menggambarkan betapa sakit hatinya oleh perlakuan ibunya sendiri. Ia tegar di hadapan istri dan anaknya tetapi tak bisa ia bohongi perasaannya sendiri, bahwa dia begitu rapuh dan lemah.
Keadaan ekonomi yang begitu mencekik, masih ditambah lagi dengan perlakuan ibunya sendiri benar-benar membuatnya serasa ingin menyerah saja. Tenaganya sebagai buruh serabutan juga terkadang sering disepelekan orang yang menggunakan jasanya. Terkadang dia harus menahan malu untuk meminta upah yang entah sengaja atau tidak, sering ditahan oleh si pemakai jasa, padahal di rumahnya Yuni dan anak-anaknya benar-benar membutuhkan.
"Sampai kapan, ya Allah?" rintihnya lagi segera menghapus air mata yang masih terus mengalir karena sekolah sang anak sudah di depan mata. Ia tak ingin anak bungsunya melihat dirinya yang rapuh ini.
Melajukan motor bututnya lalu berhenti tepat di hadapan anaknya yang sudah menunggu di tempat biasa.
"Neng," panggilnya.
"Pak," girang Santi melihat ayahnya datang. Ia tak malu meski banyak teman-temannya yang terkadang dengan terang-terangan mencibirnya yang dijemput dengan motor butut dan tak layak pakai menurut mereka.
"Motor Bapakmu itu kebih baik di jual di tukang rongsokan saja, San. Malu-maluin, udah jelek, butut lagi."
"Mending ditukerin beras aja motor Bapakmu, San, lumayanlah dapat sekilo."
"Motor Bapakmu ajaib, San. Ajaib bin jelek banget."
Dan kata-kata serupa walau tak sama, kerap kali Santi terima dari teman-temannya. Santi hanya mengulas senyum saja untuk menanggapinya. Memang benar apa yang mereka ucapkan, motor Bapaknya memang jelek dan mungkin sudah tidak layak lagi dipakai tetapi itu adalah satu-satunya kendaraan yang mereka miliki sebagai pengantar ke manapun tujuan mereka.
Bukan Santi tak menginginkan kendaraan yang lebih layak, bukan. Tapi kondisi ekonomi mereka memang tengah terguncang dan belum kembali stabil. Bukan juga ia tak malu diantar jemput dengan kendaraan butut itu, tetapi ia cukup sadar diri bahwa untuk saat ini bisa terus sekolah saja ia begitu bersyukur.
Ia segera naik ke boncengan Bapaknya dan melingkarkan tangannya di tubuh sang ayah yang mulai terasa tulang-tulangnya. Menyandarkan kepalanya di punggung sang ayah, tanpa ia sadari setitik air mata lolos begitu saja dari pelupuk indahnya. Namun, segera ia hapus agar tak menjadi beban pikiran ayahnya.
Hanya butuh waktu 20 menit saja, motor Rusman sudah berhenti di depan rumahnya. Santi segera turun.
"Neng, Bapak langsung ke rumah Wak Hamidah ya, kamu nanti tolong nyapu saja. Biar nanti kalau Aa' pulang rumahnya sudah bersih." pesannya pada Santi.
"Iya, Pak. Kata si Aa' paling sampai rumah lepas maghrib." sahut Santi.
"Yasudah, kalau begitu. Nanti kalau lapar, makan singkong yang kemarin dulu, ya, Neng. Ini, Bapak mau selesaikan pekerjaan dulu biar bisa beli beras." ucap Rusman dengan suara tercekat menahan tangis.
"Iya, Pak. Bapak semangat kerjanya biar cepat selesai." hibur Santi dengan senyum lebarnya. Ia sangat tahu bahwa ayahnya pastilah sedih berucap seperti itu. Meninggalkan anaknya yang baru pulang sekolah hanya dengan singkong sebagai ganjal perut yang lapar.
Sebelum air matanya tumpah lagi, Rusman segera melajukan motornya menuju rumah salah satu tetangganya, yang sudah 2 hari ini memakai jasanya untuk membersihkan kandang ayam dan kandang sapi.
Santi segera masuk ke dalam rumah. Namun, ia begitu terkejut saat terdengar suara seseorang terbatuk di dalam rumahnya. Khususnya dari arah dapur, bahkan asap dari tungku api mengebul sampai ke ruang depan.
"Apa maling? Tapi mau maling apa di rumah ini?" gumam Santi dengan perlahan melangkahkan kaki ke belakang.
Mengendap-endap ia melangakah, berharap bukan orang jahat yang akan ia temui. Namun, langkahnya seketika berhenti saat melihat pria tampan bertubuh tinggi tegap yang tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan mengulas senyum lebar.
"Aa'!" pekiknya girang dengan mata melebar sempurna. Bahkan mulutnya pun ikut terbuka lebar.
Sang kakak tertawa lepas melihat keterkejutan adiknya itu, segera mendekat lalu menutup mulut adiknya yang ternga-nga.
"Assalamualaikum, Neng!" sindirnya sembari tertawa.
"Ya Allah, Aa'!" pekiknya lagi menguasai diri dan segera menghambur ke pelukan kakak lelakinya. Adji membalas pelukan adiknya tak kalah erat, sesekali mendaratkan ciuman sayang di pucuk kepala adik kesayangannya yang tertutup jilbab. Setitik air mata jatuh, dari matanya. Mendapati kenyataan orang tua dan adiknya hidup dalam kekurangan.
"Katanya lepas maghrib, kenapa udah di rumah saja?" protes Santi masih dipelukan Adji.
"Kan, kejutan, Neng!" balasnya.
"Kenapa tadi gak nyapa Bapak dulu, A'?" tanya Santi mengurai pelukannya. Sedikit mendongak untuk menatap wajah kakak lelakinya itu.
"Kan kejutan, kalau Aa' nyapa duluan gak jadi kejutan lagi namanya, Neng!" sahutnya sembari mengusap kepala Santi, sedang satu tangan lagi menghapus cepat air mata yang lolos begitu saja di pipinya.
"Aa' nangis?" heran Santi menatap curiga.
"Enggak, ini pedih mata Aa' kena asap." kilahnya menyalahkan asap dari tungku yang mati apinya.
"Oh, iya, asapnya sampai ke mana-mana. Emang Aa' mau ngapain?"
"Sudah jangan banyak tanya, sekarang kamu ganti baju, sholat, terus bantuin Aa' masak sebelum Bapak pulang. Cepet!"
"Neng lagi gak sholat, A', masih halangan." sahutnya cepat.
"Eh, sudah dewasa rupanya adiknya Aa'!" ucapnya dengan senyum mengembang menatap adik perempuannya. Yang dulu selalu ia gendong ke mana-mana. Tak terasa matanya kembali merebak, betapa waktu cepat sekali berlalu dan kehidupan keluarganya masih begitu-begitu saja.
"Iyalah, Aa' sih, jarang pulang sampai enggak tahu adiknya udah gede sekarang." cebik sang adik.
"Ya, ya, ya, Aa' minta maaf deh. Sebagai gantinya, Neng mau minta hadiah apa dari Aa'?"
"Neng gak perlu hadiah, A'. Melihat Aa' pulang saja Neng udah bahagia. Neng kangen tauk, A'." ungkap sang adik tulus.
"Uluh ... Uluh ... So sweet!" goda Adji mencubit gemas pipi adiknya.
"Aa'!" protesnya.
Lalu keduanya tertawa bersama. Sungguh, kebahagiaan yang sempurna di tengah keadaan yang serba seadanya.
"Udah sana ganti baju, terus kita masak-masak."
Santi bergegas berbalik menuju kamarnya, berganti baju dengan gamis rumahan tak lupa jilbabnya. Lalu kembali ke dapur untuk membantu sang kakak.
"Ini semua Aa' yang beli?" tanya Santi menunjuk belanjaan yang tergeletak di meja. Ada beras, telur, gula, sayuran, juga ada daging ayam yang sudah dibersihkan di dalam baskom.
"Iya, Neng. Alhamdulillah, Aa' sudah kerja sekarang. Jadi, bisa sedikit membantu Bapak sama Ibu beli beras." sahutnya sembari kedua tangannya memindahkan bawang dari plastik ke dalam wadah.
"Alhamdulillah ... Bapak sama Ibu pasti senang, A'."
Keduanya lantas bekerja sama memasak, hidup di perantauan membuat Adji begitu luwes memasak. Memasak menu spesial untuk kedua orang tuanya, menu yang bahkan entah sudah berapa lama tak mereka nikmati karena sehari-hari mereka hanya makan seadanya saja. Diselingi dengan canda tawa dan obrolan hangat, tak sampai 2 jam masakan mereka sudah jadi.
Ada opor ayam, tumis kacang dan tempe juga sambal terasi kesukaan sang ibu.
"Neng, coba cek nasinya udah mateng belum?" titah Adji yang tengah mencuci perkakas masak mereka.
Santi mengangguk lalu bergegas menuju magic com.
"Astaghfirullah, A'!" pekiknya begitu ia membuka tutup penanak nasi tersebut.
"Kenapa Neng?"
"Nasinya belum jadi. Orang tombolnya gak diturunin. Ih, si Aa', mah!" gelaknya lalu menyentuh tombol penanak.
Adji tertawa keras dari tempat mencuci perkakas, membuat Santi turut tertawa.
Di tempatnya bekerja, Rusman yang tak tahu jika anak sulungnya sudah pulang membawa aneka hadiah untuk keluarganya. Terus memacu tenaganya untuk segera membersihkan kandang sapi yang tinggal sedikit lagi saja itu. Bayang-bayang beras 1kg yang akan ia bawa pulang membuat lelahnya berkurang.
"Semangat bener kamu, Man?" gelak sang pemilik rumah.
"Iya, Yu. Biar cepat selesai, biar bisa bawa pulang beras buat makan anak istriku." sahutnya tanpa malu lagi. Toh, tadi pun begitu datang dia sudah mengatakan itu pada sang pemakai jasa.
"Yasudah, itu tinggal sedikit lagi. Sampai situ saja dulu, besok lagi baru keluarin ke belakang sana." titah Hamidah merasa terharu oleh perjuangan Rusman untuk anak istrinya. Padahal dia tahu sendiri bahwa keluarga Rusman adalah keluarga berada tetapi ibu dan kedua saudaranya seakan tutup mata akan kondisi Rusman yang serba kekurangan.
"Gak papa, Yu. Ini sedikit lagi, kok."
Rusman terus memacu tenaganya, menyingkirkan kotoran sapi yang sudah menggunung itu. Keringat membanjir di seluruh tubuhnya, kerongkongannya kering dan nafasnya memburu karena lelah. Tapi ia tak pedulikan itu, ia terus memompa semangatnya dengan bayangan senyum di wajah sang istri saat ia berhasil membawa pulang sekantong beras untuk dimakan bersama anak-anaknya. Terlebih, anak bujangnya yang sudah lama ia rindukan juga akan turut makan dengan hasil keringatnya hari ini.
***
Di pabrik teh tempat Yuni bekerja, para karyawan tengah menanti dengan harap-harap cemas. Kabar pengurangan karyawan yang telah mereka dengar beberapa waktu lalu rupanya bukan hanya kabar burung semata, karena pada kenyataannya mereka kini berdiri di ruangan luas itu untuk mendengar informasi secara keseluruhan. Kegiatan produksi mereka dihentikan sementara, khusus untuk penyampaian informasi itu oleh supervisor mereka langsung.
"Selamat sore teman-teman semuanya, mohon perhatian sebentar. Saya akan menyampaikan informasi terkait kabar yang sudah berhembus beberapa hari lalu tentang akan adanya pengurangan sejumlah karyawan, dikarenakan pemilik pabrik tempat kita bekerja saat ini mendatangkan tiga unit mesin yang akan menggantikan posisi kerja kita.
Saya harap, siapapun yang nantinya masuk ke dalam daftar pengurangan tidak merasa tersisih atau tersingkirkan. Kami akan tetap memberikan imbalan sesuai dengan kontrak kerja yang sudah kita tanda tangani bersama. Oleh karena itu, siapapun yang masuk ke dalam daftar tersebut, saya berharap bisa menerima keputusan ini dengan lapang dada. Ini mutlak adalah keputusan pemilik perusahaan dan para petinggi yang berwenang. Bukan keputusan saya pribadi." ucap sang supervisor dengan tegas dan lugas.
"Untuk nama-nama karyawan yang masuk ke dalam daftar pengurangan akan segera kami informasikan berikut surat keterangannya. Pengurangan ini berlaku untuk semua shift, baik pagi, siang maupun malam.
Saya secara pribadi memohon maaf yang sebesar-besarnya atas pengurangan ini dan berterimakasih atas kerja sama tema-teman semua, yang saya yakin juga mendapatkan banyak pengalaman selama bekerja di sini.
Untuk nama-nama yang kami sebutkan silahkan maju ke depan."
Lalu dimulailah pemanggilan nama-nama para karyawan yang masuk ke dalam daftar pengurangan karyawan itu dan Yuni termasuk salah satu dari puluhan karyawan yang termasuk dalam daftar pengurangan. Rasa sedih, kecewa, dan putus asa seketika menyergapnya begitu namanya ikut dipanggil.
Pekerjaan yang selama ini cukup membantunya meringankan beban sang suami harus terhenti sampai di sini. Sedangkan, cicilan di Bank masih sekitar 5x lagi. Sedih, kecewa, merayap masuk hingga air matanya menetes tanpa permisi.
"Maafkan kami, Bu Yuni. Dan terimakasih atas kerjasamanya selama ini. Ini surat pengantar untuk mengurus pesangon Bu Yuni." ujar sang supervisor kepadanya sembari mengulurkan amplop berisi surat pengantar itu.
Yuni menyadari bahwa usianya memang tak lagi muda dan sudah sepantasnya dia digantikan oleh tenaga yang jauh lebih muda darinya, tetapi kehilangan pekerjaan di saat ekonominya sulit seperti ini tetaplah menggoreskan kesedihan yang mendalam baginya.
"Yah, perjuangan kita sampai di sini Yun, apalah kita yang memang sudah tua." hibur Imah, rekan kerjanya yang juga bernasib sama seperti dirinya.
"Iya, Mah. Maafkan aku kalau selama ini punya banyak salah sama kamu. Juga terimakasih banyak selama ini sudah menjadi temanku yang paling peduli kesusahanku." ucapnya sangat sedih.
"Iya, Yun, sama-sama. Udah, ah, kayak kita gak bakal ketemu lagi saja. Dah yuk, pulang!" ajaknya lantas membawa langkah keluar dari gedung produksi.
Matahari masih bersinar terang dan cerah tetapi mendung jelas bergelayut di pabrik teh ini. Gurat kesedihan jelas terpancar dari wajah-wajah yang keluar dari gedung produksi, yang itu artinya hari ini adalah kali terakhir mereka bekerja di pabrik ini. Biasanya mereka akan pulang kala malam telah larut, tetapi hari ini bahkan kumandang azan ashar baru saja terlewat dan mereka sudah pulang. Miris, bukan?
"Mah, bisa tolong teleponin anak gadisku tidak?" pinta Yuni pada rekannya.
"Bisa dong, sebentar ya," sahut Imah lalu mengutak-atik ponselnya.
Lalu menekan nomor Santi yang sudah dia simpan, karena sering kali diminta Yuni untuk menghubunginya jika pulang cepat atau lambat sekalipun. Tapi kali ini kabar yang akan diterima anak gadisnya itu mengenai ia pulang terlalu cepat.
"Nih," ujarnya menyodorkan ponsel pada Yuni.
"Halo, assalamualaikum, Wak!" suara sapa Santi di ujung sana.
"Walaikumsalam, Neng, ini Ibu. Bapak ada, Neng?" balas Yuni.
"Oh, Ibu. Bapak belum pulang, Bu, masih di tempatnya Wak Midah. Ada apa?"
"Oh, bisa tolong panggilkan tidak, Neng? Minta Bapak jemput Ibu."
"Ibu teh sudah pulang? Kenapa, Bu? Ibu baik-baik saja, kan?" panik Santi mendengar bahwa ibunya minta dijemput.
"Ibu baik-baik saja, Neng. Memang hari ini kami pulang cepat karena gak produksi lagi." jelas Yuni tersenyum dengan perhatian putrinya.
"Oh, kirain. Yasudah, Ibu tunggu sebentar ya, Neng panggil Bapak dulu."
Panggilan lantas diakhiri setelah mengucap salam.
"Ibu kenapa, Neng?" tanya Adji yang turut penasaran.
"Ibu minta jemput, A'." sahut Santi cepat.
"Loh, kenapa? Biasanya jam 10 malam, kan?" heran Adji.
"Iya, katanya memang hari ini pulang cepat."
"Yasudah kalau gitu Aa saja yang jemput." tawarnya hendak beranjak namun segera Santi tahan.
"Eh, jangan! Katanya mau kasih kejutan! Kalau Aa yang jemput mah bukan kejutan nanti. Feelnya kurang dapet!" kelakarnya sembari mengedipkan mata.
"Heleh kamu bisa aja, Neng! Tapi kasihan Ibu nunggu lama,"
"Gak papa, udah biasa A'." kikik Santi lalu bersiap melangkah untuk memanggil Rusman. Namun, belum sempat melangkah, Rusman sudah mengucap salam dari arah depan.
"Bapak, A', cepat sembunyi!" dengan cepat Adji masuk ke kamar sang adik dan bersembunyi di sana. Sedangkan Santi bergegas menyambut Rusman di depan sekalian memberitahukan permintaan ibunya.
"Walaikumsalam, Pak!" balasnya seraya membuka pintu.
"Pak, Ibu baru saja telepon minta dijemput. Katanya pulang cepat hari ini." todong Santi sebelum Rusman masuk ke dalam rumah.
"Iya? Sudah seberapa lama, Neng?"
"Baru saja, Pak. Bapak langsung jemput Ibu gih, kasihan Ibu nanti kelamaan nungguin."
"Yasudah, Bapak langsung jemput Ibu. Ini, beras kamu masak, ya, nanti kalau Aa' sampai sudah matang nasinya. Biar lauknya nanti sekalian Bapak beli saja." ujar Rusman tersenyum lebar mengangsurkan sekantong beras yang ia terima dari Hamidah.
"Eh, gak usah beli, Pak. Itu Neng udah masak sayur daun singkong, tadi dikasih sama wak Harjo." cegah Santi karena sejatinya mereka sudah menyiapkan masakan spesial.
"Yang bener, Neng?" selidik Rusman. Santi mengangguk meyakinkan.
"Iya, Pak, yang penting Ibu sama Bapak cepatlah pulang saja. Gak usah mampir ke mana-mana, soalnya si Aa' sudah hampir sampai katanya." bohongnya karena tak ingin ayahnya masuk dan mendapati kejutan yang belum waktunya itu.
"Yasudah kalau gitu, Neng."
Rusman gegas berangkat untuk menjemput istrinya, beruntung tadi dia membersihkan diri sekalian di rumah Hamidah sehingga badannya tidak terlalu kotor dan bauk kotoran sapi.
Sepeninggal ayahnya, Santi dan Adji segera menyiapkan kejutan yang sudah mereka rencanakan tadi. Di samping aneka makanan spesial yang sudah tersaji, Adji masih menyediakan kejutan lain untuk orang tuanya. Ia tersenyum haru dan sangat berdebar menanti saat kedatangan orang tuanya.
"Semoga, Ibu dan Bapak suka, ya, Neng?" ucapnya menatap kejutan untuk orang tuanya.
"Ibu dan Bapak pasti suka, A'." dukung sang adik tak kalah terharu dari kakak lelakinya. Santi berharap, ini adalah titik awal kebahagiaan kedua orang tuanya.
Kumandang azan subuh menggema di seluruh penjuru bak alarm bagi seluruh umat muslim untuk meninggalkan belaian alam mimpi dan segera menghadap sang pencipta. Begitu pula di sebuah kamar kos sederhana yang sudah ditempati seorang pemuda bernama Narendra Setyadji selama 4 tahun terakhir.Seorang mahas
"Nunggu lama, Dek?" sapa Rusman pada Yuni yang sudah menunggu di depan warung."Lumayan, Bang." sahutnya singkat lalu naik ke boncengan suaminya."Kok, tumben jam segini pada pulang, Dek?" tanyanya penasaran sebab masih banyak karyawan yang keluar dari dalam pabrik itu."Iya, Bang, memang banyak yan
"Man, Rusman!"Teriakan seseorang di luar membuat mereka semua bangkit berdiri dengan segera. Di kala senja, tanpa salam maupun permisi seorang lelaki paruh baya masuk begitu saja lantas memanggil sang empunya rumah dengan suara lantang."Astaghfirullahhalazim ... Mau apa orang itu datang?" gumam Ru
Sesuai kesepakatan, usai sholat berjamah di masjid. Adji dan juga Santi pergi ke rumah Rusni untuk mengantar oleh-oleh serta opor ayam yang sore tadi sudah mereka sisihkan. Hanya berdua saja, sebab Yuni dilarang ikut oleh Adji karena Adji tidak ingin melihat ibunya diperlakukan tidak baik oleh nenek
"Bu Imas, berapa total hutang saya?" tanya Yuni pelan."Sebentar ya, Neng!" sahut si pemilik warung, lalu beranjak mengambil buku catatannya."Bulan ini ada 130 ribu, Neng." beritahu wanita seusia mertuanya itu.Yuni lantas merogoh sakunya dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah dan biru."
"A' ... Udah mau jalan jemput si Neng?" tanya Yuni dengan sedikit berteriak karena Adji tengah duduk di teras sembari bermain ponsel."Sebentar lagi, Bu. Kenapa?" sahutnya, segera memasukkan ponsel.Begitulah dia, setiap berbicara pada orang lain dia akan menyimpan kembali ponselnya, menjunjung adab
Yuni segera masuk ke dalam, sedang Iin memanggil mertuanya ke belakang. Tak lama, lelaki sepuh yang dia cari datang dengan menggendong cucunya yang masih kecil."Oh, Yuni." sapanya mendekat lalu duduk di kursi seberang Yuni."Iya, Wak." balas Yuni. "Ini, Wak, si Adji teh kemarin pulang, ini ada gula
"Ya gak gitu juga, A' ... Sekolah si Neng gimana?" ucap Yuni mengingat anak gadisnya yang belum libur panjang."Tenang, Bu. Neng bisa libur sekolah dulu seminggu ke depan." sahut Adji."Apa enggak masalah ijin selama itu, A'?" sambung Rusman."Gak papa, kok, Pak. Tadi, Neng udah ijin sama wali kelas
"Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih banyak Wak, Bi. Neng, bahagia sekali," ujar Santi sepenuh hati menatap sayang kepada keluarga ayahnya itu satu persatu. Sampai kepada Rida, Santi teringat akan pesan yang dikirimkan oleh Bintang tadi."Oh iya, Neng teh sampai melupakan sesuatu," lanjutnya mem
Kunjungan keluarga Bintang ke rumah sakit tempat dirawatnya Santi tak hanya sekedar kunjungan biasa. Rupanya, terjadi pembicaraan serius antara Rusman dan Hendrawan terkait kelanjutan rencana pernikahan anak-anak mereka.Semua sudah dibicarakan dan tanggal pun sudah ditetapkan, yaitu 2 minggu lagi m
"Hayuk masuk atuh, kita sarapan dulu!" ajaknya usai memeluk Aisyah dan Linda bergantian. Bahkan, Hendrawan pun dia perlakukan bak anak sendiri."Kebetulan kita belum sarapan, Ni," balas Hendrawan yang segera melangkah masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.Mereka bercengkerama selayaknya keluarg
"Sudah siap semua, A'?" tanya Hendrawan kepada Bintang yang tengah memakai sepatunya.Bintang mendongak menatap ayah sambungnya yang sudah terlihat semakin segar setelah 2 hari dia tunggui di rumah. Rupanya, sakitnya Hendrawan hanyalah penyakit malarindu kepada anak-anaknya saja. Setelah Bintang dan
Dalam pikirannya, kuliah dan mendapat gelar itu adalah penunjang langkah menuju sukses yang dia inginkan. Meski jalan yang dilalui tak mudah, tetapi memiliki ijazah sarjana adalah merupakan salah satu batu loncatan menuju puncak kesuksesan. Berbeda dengan Ikhsan yang memilih memgembangkan skil yang
Bintang membawa langkah dengan pasti saat burung besi yang mengatarnya pulang ke tanah air telah berhenti sempurna. Menderap langkah semakin cepat usai mengambil koper miliknya menuju pintu keluar bandara.Setelah hampir 5 jam di udara, akhirnya kakinya menapak tanah air dengan selamat. Namun, perja
Mau tak mau Santi pasrah juga, mengalungkan tangan di leher sang ayah yang terasa semakin tua itu. Menatap wajah lelaki hebatnya itu dalam-dalam. Sudah banyak keriput menghiasi wajah bapaknya, menandakan bahwa bapaknya tak lagi muda. Namun demikian, bapaknya masih kuat menggendongnya sampai ke toile
Waktu berputar begitu cepat, tanpa terasa mentari dengan cepat menghapus pekatnya langit malam. Usai sholat subuh, Bintang dengan segera bersiap untuk pulang ke tanah air. Mendapat penerbangan pagi membuatnya semakin tak sabar untuk bertemu dengan orang-orang yang dia rindukan.Dengan diantarkan ol
Di belahan bumi lain, Bintang tengah bersiap untuk kepulanganmya esok hari. Mengemasi beberapa pakaian yang akan dia bawa pulang. Kepulangannya kali ini bukan untuk tak kembali, karena masa pendidikannya juga belumlah usai."Berapa lama kamu di rumah, Tang?" tanya Abdi yang melihat rekan satu aparte