"Bu Imas, berapa total hutang saya?" tanya Yuni pelan.
"Sebentar ya, Neng!" sahut si pemilik warung, lalu beranjak mengambil buku catatannya.
"Bulan ini ada 130 ribu, Neng." beritahu wanita seusia mertuanya itu.
Yuni lantas merogoh sakunya dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah dan biru.
"Tumben dikit, Yun? Biasanya ampe ratusan ribu?" sergah Bu Tami, yang merupakan teman dekat Iroh, istri Roji yang merupakan kakak ipar Yuni.
"Iya, Bu." sahutnya singkat.
"Lagi banyak duit, ya? Kok gak ngutang lagi?" cecarnya ingin ikut campur.
"Enggak, Bu. Alhamdulillah beras sudah dibelikan anak kemarin." sahut Yuni singkat saja.
"Oh, anak kamu masih mau pulang? Katanya kuliah di kota? Kuliah beneran atau kuliah bohongan?" selidiknya dengan tatapan tak suka.
"Hish, Bu Tami ini nyerocos terus! Kayak kepo banget sama hidup Teh Yuni? Kunaon atuh? Kurang kerjaan apa kurang bahagia?" sergah Ikah geleng-geleng kepala, tiga ibu-ibu lain hanya terkikik saja.
"Eh, lagian apa urusan situ? Mau saya nanya-nanya juga kan urusan saya." ketus Bu Tami menatap Ikah sengit.
"Iya sih, urusan situ. Cuma heran aja, ada orang ngutang situ sibuk mencibir, ada orang enggak ngutang situ cibir pula. Kek situ yang punya warung saja! Ya gak, Bu Imas?" selorohnya beralih pada Bu Imas yang sudah mengangsurkan kembalian pada Yuni.
Bu Imas yang disebut namanya hanya menoleh lalu mengangguk saja.
"Sudah, Kah. Katanya mau belanja, sok atuh!" tegur Yuni pada Ikah.
"Iya Teh. Bu Imas, minta minyak goreng sekilo sama tepung terigu sekilo juga." pintanya pada pemilik warung.
"Yun, bilang sama anakmu itu. Gak usah sok kecakepan ngedeketin anak saya, emang punya modal apa sampai berani ngerayu Ana? Kalau cuma modal janji manis di chat wa aja mending gak usah. Denger, ya, si Ana sudah saya jodohkan sama Diaz yang lebih jelas masa depannya ketimbang anak kamu itu." ucap Bu Tami tanpa tedeng aling-aling. Bahkan tak melihat situasi dan kondisi.
"Emang, anaknya si Yuni ada ngedeketin si Ana?" tanya seseibu yang menjadi sekutunya bergunjing.
"Iya, ngerayu lewat chat wa, dih, dikiranya si Ana mau apa." sahut Bu Tami menjap-menjep.
"Ih, menih enggak tahu diri pisan. Ya jelas beda level atuh. Ingetin dong Yun anaknya, suruh sadar diri." kata seseibu itu.
Yuni hanya mengulas senyum saja, tak ingin menanggapi secara berlebihan. Toh, dia sendiri tidak tahu akan kebenarannya seperti apa. Sejak masih di kampung, sampai sekolah ke kota, dia tak pernah mendengar sepak terjang anak lelakinya yang aneh-aneh. Pun dengan kabar kedekatannya dengan lawan jenis, dia tak pernah dengar itu.
Namun, sebagai seorang ibu dari lelaki yang sudah beranjak dewasa, tentunya dia juga tak tutup mata akan semua itu. Ia berpikir akan menanyakan langsung pada anaknya nanti selepas dari warung.
"Iya, Bu Tami, Bu Ratna, saya akan ingatkan anak saya. Jika kita memang tidak selevel. Apalah kami yang hanya orang miskin ini dibanding dengan Bu Tami." sahut Yuni datar.
"Bagus, saya juga enggak sudi besanan sama kamu. Ganteng sih anak kamu, tapi ganteng doang kalau miskin juga percuma." cibir Tami lagi.
"Istighfar, Bu Tami. Kita enggak akan pernah tahu kehidupan mendatang akan seperti apa. Jangan sampai, ucapan Ibu ini suatu saat berbalik pada Ibu sendiri!" tegur Bu Imas, si pemilik warung. Bu Tami mencelos dengan wajah tak suka.
"Iya, Bu Tami. Jangan sampai justru anak Ibu yang keganjenan sama si Adji. Kita, kan udah pada tahu sifat anak Ibu kayak gimana. Gak bisa diem kalau liat yang bening dikit." sambung Ikah dengan tawa mengejek.
Karena memang begitulah perangai anak perempuan Bu Tami yang berusia 2 tahun di bawah Adji itu. Bahkan, ia pernah mendapati anak Bu Tami itu menggoda suami salah satu warga desa itu yang berparas tampan.
"Jaga mulutmu, Kah! Jangan berani nyebar gosip murahan kamu! Rosdiana itu anak baik-baik dan terpandang, gak mungkin dia tertarik sama anak dia yang miskin itu." bentak Bu Tami tak terima.
"Lah, Bu-Bu. Roda kehidupan setiap manusia itu berputar. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Sama halnya dengan miskin dan kaya. Kalau sekarang Bu Tami sedang merasa kaya, tidak perlulah menghina orang yang sedang miskin, karena hanya dalam hitungan detik saja Allah bisa membalikkan keadaan Bu Tami." sembur Ikah semakin berani.
"Kamu nyumpahin saya miskin?" berang Bu Tami nyolot.
"Ya kalau mempan sumpah saya, mah, ya, alhamdulillah!" sahut Ikah lagi tanpa takut.
Yuni yang melihat situasi yang tak lagi kondusif itu lantas melerai keduanya.
"Sudah, Kah, sudah!" lalu ia beralih pada Bu Tami. "Maaf, Bu Tami. Hal ini tidaklah perlu sampai merembet ke mana-mana. Baik, nanti akan saya tegur anak saya jika memang dia ada merayu anak Ibu. Sekali lagi saya Minta maaf!" utas Yuni mengakhiri perdebatan.
"Ya harus! Kalau perlu ganti nomor saja. Saya juga akan memblokir nomor anak kamu dari hp anak saya. Sok kecakepan, modal tampang saja belagu!" ia lalu mengambil belanjaannya dan berlalu begitu saja dengan menarik lengan Ratna yang merupakan sekutunya.
"Eh, Bu Tami! Itu belum dibayar?!" teriak Bu Imas mengingatkan belanjaan yang dibawa Bu Tami.
"Utang dulu!" balas Bu Tami sambil berteriak juga.
"Huuu!! Meni beleguk sia!" rutuk Ikah menyoraki Bu Tami yang sukanya mencibir orang yang berhutang tetapi nyatanya dirinya pun juga berhutang. Ibu-ibu lain pun hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingkah Bu Tami.
Usai membayar hutangnya, Yuni lekas pamit undur diri dari sana. Ia ingin segera pulang untuk menanyakan kebenaran cerita Bu Tami mengenai kedekatan anaknya dengan anak Bu Tami.
Menderap langkah semakin cepat, dan ia tersenyum lega kala sampai di halaman sudah mendapati motor yang dipakai Adji terparkir di teras rumah. Itu artinya sang anak sulung sudah pulang dari mengantar adiknya.
"A' ... " panggilnya agak keras sebab salamnya tak mendapat jawaban dari si anak sulung.
Yuni membawa langkah ke belakang sembari memanggil anak lelakinya itu.
"Aa' ... "
"Di belakang sini, Bu!" sahut Adji dari arah halaman belakang dapur sederhana keluarganya itu.
Yuni segera membawa diri ke belakang dan mendapati anak lelakinya itu tengah memperbaiki posisi peralon air yang mengaliri bak kamar mandi mereka.
"Naon atuh, Bu?" tanyanya kala melihat raut wajah sang ibu seperti tengah menahan sesuatu.
Adji lantas meninggalkan pekerjaannya dan berjalan mendekat ke arah ibunya. Yuni mengajak Adji duduk di bangku kayu yang ada di bawah pohon cengkeh tak jauh dari sana agar lebih nyaman berbicara.
"A', Ibu teh mau tanya sesuatu sama Aa'," ujarnya ragu-ragu.
"Tanya naon? Sok atuh!"
"Tadi teh di warung, Ibu ketemu sama Bu Tami. Katanya Aa' teh sedang dekat sama anaknya Bu Tami. Bener nte'?" tanyanya pelan.
"Anak Bu Tami saha, Bu?" tanya Adji tak paham.
"Itu si Ana, Rosdiana."
"Ana? Rosdiana?" gumam Adji dengan kening berkerut nampak tengah mengingat-ingat akan nama tersebut.
"Rosdiana saha sih, Bu?" tanyanya lagi masih belum menemukan orang yang dimaksud.
"Ana, anaknya Pak Bukhori juragan kelapa?" tanya Adji teringat akan anak tetangga mereka.
"Bukan! Itu si Ana anaknya Bu Tami, Pak Samsul." ralat Yuni.
"Pak Samsul? Pak Samsul yang suka main gaplek itu?"
"Hust ... Bukan atuh! Itu Pak Samsul juragan kambing, nah kalau si Ana itu yang suka main sama Hani."
"Oh, yang itu. Ya .. Ya ... Itu namanya Ana, bukannya Dewi, ya?"
"Rosdiana Dewi mareun," kikik Yuni. "Jadi, gimana? Benar, Aa' teh dekat sama dia?" desak Yuni tak sabar.
"Ya enggak atuh, Bu. Kenal geh enggak gimana mau dekat?" sahut Adji terus terang.
"Kata Bu Tami teh katanya Aa' ada lagi ngedeketin dia lewat wa, etah kunaon?"
"Emang sih, beberapa kali dia ada nge-wa Aa', dia duluan yang wa mah. Tanya-tanya seputar dunia perkuliahan aja gitu, enggak aneh-aneh." jujur Adji lagi.
Yuni mangut-mangut mengerti, sebenarnya tanpa Yuni tanyakan langsung pun dia sudah tahu siapa yang membual. Hanya saja, dia tetaplah butuh jawaban pasti dari sang anak, biar bagaimanapun kini sang anak telah tumbuh dewasa. Tentunya, punya jalan pikiran yang kadang tidak bisa ditebak oleh orang lain. Termasuk dia, ibunya sendiri.
"Emang si Bu Tami itu cerita apa, Bu?" ganti Adji yang bertanya.
"Ya kayak gitu tadi, A'." sahut Yuni meyakinkan. "Kalau di kota, Aa' teh udah punya pacar belum?" tanya Yuni mengalihkan topik pembicaraan.
"Eh?" Adji menoleh, menatap ibunya yang justru tersenyum lebar. Setelahnya dia tertawa.
"Ibu aya-aya wae! Aa' teh belum ada kepikiran ke sana, Bu. Kepala udah pusing mikirin tugas kuliah sama kerjaan, jadi enggak sempet mikirin perempuan selain Ibu sama si Neng!" jawab Adji yakin diiringi tawa yang tak kunjung usai.
"Ih, jangan gitu atuh, A', entar dikira orang Aa' teh enggak normal lagi."
"Ya, gak gitu juga, Bu. Suka mah ya ada, cuma belum kepikiran buat ke hubungan yang serius gitu."
"Alhamdulillah kalau gitu, Ibu pikir teh Aa' gak suka sama perempuan."
Keduanya lantas tertawa lepas, berbincang apa saja yang bisa mengalihkan kesedihan akan keadaan ekonomi yang serasa mencekik leher. Melupakan sejenak bahwa selama ini ada beban hutang yang bertumpu di kedua pundaknya.
***
Sedangkan di tempat lain. Ada tiga orang wanita yang tengah bergunjing. Siapa lagi jika bukan Bu Tami, Bu Ratna dan Iroh. Tepatnya adalah Bu Tami yang melapor kepada Iroh apa yang tadi dia lihat mengenai Yuni di warung Bu Imas.
"Beneran si Yuni gak ngutang lagi?" tanya Iroh lagi memastikan cerita Tami.
"Iya, Teh, katanya beras udah dibelikan sama anaknya. Emang benar ya, itu anaknya si Yuni kuliah sambil kerja di kota? Kerja apa ya kira-kira?" lanjut Tami yang sejatinya penasaran dengan anak lelaki Yuni yang kerap anaknya ceritakan sebagai lelaki yang dipuja-puja kaum hawa itu.
"Kenapa? Penasaran kamu? Berubah pikiran, gak jadi jodohin si Ana sama ponakan saya, Diaz?" cecar Iroh bernada tak suka.
"Ya, enggak gitu atuh, Teh. Cuma penasaran aja, anak miskin seperti dia teh kerja apa gitu." kilah Tami salah tingkah.
"Paling banter juga cleaning servis, atau tukang cuci mobil kali, bisa juga tukang parkir!" gelak Iroh diikuti Tami dan Ratna.
Tanpa mereka sadari ada telinga yang mendengar pembicaraan mereka dari balik pintu. Dialah Hani, anak pertama Iroh, sepupu Adji.
"Bener gak sih, si miskin itu kerja di kota? Kerja apa, ya? Wah gak bisa dibiarin nih, awas aja kalau sampai dia nyaingin aku. Gak, gak boleh ada yang lebih baik dari aku." gumamnya sendiri.
Ia lantas melangkah keluar dari dalam rumah, sudah dengan penampilan rapi dan bersiap untuk pergi. Ketiga wanita sepuh yang masih bergunjing di teras itu lantas menoleh ke arahnya.
"Eh, Neng Hani. Gak kerja, Neng?" sapa Tami menatap kagum penampilan 'wah' Hani dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Dia kan manajernya, jadi suka-suka dia mau masuk jam berapa juga. Lagian, bosnya baik, banget." sahut Iroh membanggakan anak pertamanya itu.
"Gitu, ya, Neng. Ajak atuh si Ana kerja di tempatnya Neng Hani, kalian kan bestie!" pinta Tami yang sejatinya sudah begitu kesal karena anaknya hanya nganggur di rumah.
"Si Ana yang gak mau kerja, Bi. Capek katanya!" sahut Hani enteng.
"Rayu atuh, biar bisa beli mobil kayak Neng Hani. Duh, Bibi saja kepengen, loh!" lanjutnya dengan mata berbinar menatap mobil honda jazz berwarna merah terang yang terparkir di halaman rumah Iroh itu.
"Ya, mau gimana lagi. Kerja ya emang capek, kadang harus pulang larut malam kalau bos minta lembur. Kadang juga enggak pulang kalau kerjaan belum beres, tapi sebandinglah sama yang didapetin. Tuh, bonus dari bosnya Hani karena dua bulan ini kerja Hani bagus dan memuaskan katanya." pamer Hani menunjuk mobilnya yang katanya adalah bonus dari bosnya itu.
Tami semakin menatap kagum dan dalam pikirannya harus bisa membujuk anaknya agar mau kerja bersama Hani.
"Mah, Hani jalan dulu!" pamitnya pada Iroh. Lalu melenggang pergi menaiki mobilnya. Tanpa ada satu orang pun yang tahu akan kebenaran pekerjaan Hani di kota.
"A' ... Udah mau jalan jemput si Neng?" tanya Yuni dengan sedikit berteriak karena Adji tengah duduk di teras sembari bermain ponsel."Sebentar lagi, Bu. Kenapa?" sahutnya, segera memasukkan ponsel.Begitulah dia, setiap berbicara pada orang lain dia akan menyimpan kembali ponselnya, menjunjung adab
Yuni segera masuk ke dalam, sedang Iin memanggil mertuanya ke belakang. Tak lama, lelaki sepuh yang dia cari datang dengan menggendong cucunya yang masih kecil."Oh, Yuni." sapanya mendekat lalu duduk di kursi seberang Yuni."Iya, Wak." balas Yuni. "Ini, Wak, si Adji teh kemarin pulang, ini ada gula
"Ya gak gitu juga, A' ... Sekolah si Neng gimana?" ucap Yuni mengingat anak gadisnya yang belum libur panjang."Tenang, Bu. Neng bisa libur sekolah dulu seminggu ke depan." sahut Adji."Apa enggak masalah ijin selama itu, A'?" sambung Rusman."Gak papa, kok, Pak. Tadi, Neng udah ijin sama wali kelas
Setelah cukup lama berpikir dan menimbang akan baik dan buruknya, akhirnya dia pun sudah mendapatkan keputusannya."Baiklah, A' ... Ibu setuju dengan ide Aa'. Ibu akan ikut apapun keputusan Aa', karena Ibu yakin apa yang Aa' putuskan adalah untuk kebaikan kita." putus Yuni mengulas senyum membuat Ad
"Iya, Pak!"Rusman lantas mengunci pintu, setelah kembali memeriksa keadaan dalam rumahnya. Dan setelah yakin semua aman, ia bergegas mengunci pintu utama dan bergabung dengan yang lainnya.Sedikit raut cemas dan khawatir tersirat di wajahnya, hingga ia menghela nafas lega saat mobil sudah meninggal
Perjalanan panjang yang cukup membuat kedua kaki Yuni dan juga Rusman keram telah terlewati dengan baik. Adji mengajak mereka untuk menempati salah satu rumah sewaan milik keluarga ibu kosnya. Yang mana, lokasinya pun tak jauh dari tempat kos Adji sendiri.Umar menolak untuk singgah walau hari telah
"Tadi sebelum berangkat, Bapak teh niatnya mau ke rumah Wak Harjo. Tapi belum sampai sana, Bapak papasan sana Yu Siti." jedanya menoleh ke arah Yuni, lalu Yuni mengangguk tanda setuju untuknya melanjutkan cerita."Terus?" desak Santi."Yu Siti bilang kalau di rumah Wak Roji sedang ramai orang gitu.
"Salma, apa-apaan kamu, hah?!" bentak Roji tak terkendali."Pa-pa ... " gagapnya, jemarinya segera menekan tombol on/off pada ponselnya agar segera mati sebelum dirampas oleh sang ayah."Pakai bajumu! Apa-apaan kamu ini!" bentaknya lagi meraup wajahnya frustasi.Melihat anak gadisnya yang nyaris tel
"Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih banyak Wak, Bi. Neng, bahagia sekali," ujar Santi sepenuh hati menatap sayang kepada keluarga ayahnya itu satu persatu. Sampai kepada Rida, Santi teringat akan pesan yang dikirimkan oleh Bintang tadi."Oh iya, Neng teh sampai melupakan sesuatu," lanjutnya mem
Kunjungan keluarga Bintang ke rumah sakit tempat dirawatnya Santi tak hanya sekedar kunjungan biasa. Rupanya, terjadi pembicaraan serius antara Rusman dan Hendrawan terkait kelanjutan rencana pernikahan anak-anak mereka.Semua sudah dibicarakan dan tanggal pun sudah ditetapkan, yaitu 2 minggu lagi m
"Hayuk masuk atuh, kita sarapan dulu!" ajaknya usai memeluk Aisyah dan Linda bergantian. Bahkan, Hendrawan pun dia perlakukan bak anak sendiri."Kebetulan kita belum sarapan, Ni," balas Hendrawan yang segera melangkah masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.Mereka bercengkerama selayaknya keluarg
"Sudah siap semua, A'?" tanya Hendrawan kepada Bintang yang tengah memakai sepatunya.Bintang mendongak menatap ayah sambungnya yang sudah terlihat semakin segar setelah 2 hari dia tunggui di rumah. Rupanya, sakitnya Hendrawan hanyalah penyakit malarindu kepada anak-anaknya saja. Setelah Bintang dan
Dalam pikirannya, kuliah dan mendapat gelar itu adalah penunjang langkah menuju sukses yang dia inginkan. Meski jalan yang dilalui tak mudah, tetapi memiliki ijazah sarjana adalah merupakan salah satu batu loncatan menuju puncak kesuksesan. Berbeda dengan Ikhsan yang memilih memgembangkan skil yang
Bintang membawa langkah dengan pasti saat burung besi yang mengatarnya pulang ke tanah air telah berhenti sempurna. Menderap langkah semakin cepat usai mengambil koper miliknya menuju pintu keluar bandara.Setelah hampir 5 jam di udara, akhirnya kakinya menapak tanah air dengan selamat. Namun, perja
Mau tak mau Santi pasrah juga, mengalungkan tangan di leher sang ayah yang terasa semakin tua itu. Menatap wajah lelaki hebatnya itu dalam-dalam. Sudah banyak keriput menghiasi wajah bapaknya, menandakan bahwa bapaknya tak lagi muda. Namun demikian, bapaknya masih kuat menggendongnya sampai ke toile
Waktu berputar begitu cepat, tanpa terasa mentari dengan cepat menghapus pekatnya langit malam. Usai sholat subuh, Bintang dengan segera bersiap untuk pulang ke tanah air. Mendapat penerbangan pagi membuatnya semakin tak sabar untuk bertemu dengan orang-orang yang dia rindukan.Dengan diantarkan ol
Di belahan bumi lain, Bintang tengah bersiap untuk kepulanganmya esok hari. Mengemasi beberapa pakaian yang akan dia bawa pulang. Kepulangannya kali ini bukan untuk tak kembali, karena masa pendidikannya juga belumlah usai."Berapa lama kamu di rumah, Tang?" tanya Abdi yang melihat rekan satu aparte