Sesuai kesepakatan, usai sholat berjamah di masjid. Adji dan juga Santi pergi ke rumah Rusni untuk mengantar oleh-oleh serta opor ayam yang sore tadi sudah mereka sisihkan. Hanya berdua saja, sebab Yuni dilarang ikut oleh Adji karena Adji tidak ingin melihat ibunya diperlakukan tidak baik oleh neneknya di dapannya langsung. Sudah cukup selama ini saja, ke depannya tidak boleh lagi.
"Assalamualaikum ... " salamnya sembari mengetuk pintu rumah sang nenek.
"Walaikumsalam ... " terdengar salam balasan dari dalam.
Tak lama, pintu ber cat hijau itu terbuka lalu muncullah Rukaya, bibi mereka. Istri dari Bahar, adik Rusman.
"Oh, kalian! Ada apa?" tanyanya tak ramah.
"Mau ketemu Nini, Bi. Ada?" sahut Adji tetap tenang.
"Masuk!" titahnya lalu membuka lebar daun pintu agar kakak beradik itu masuk.
Rukaya lalu beranjak masuk untuk memanggil mertuanya. Sedang Adji dan Santi duduk di kursi ruang tamu. Tak seberapa lama, Rusni datang dengan muka masam.
"Mau apa? Kalau mau minta makan, jangan ke sini." ketusnya tanpa bertanya kabar sekedar berbasa-basi.
Adji tak menghiraukan ucapan ketus sang nenek, dia justru bangkit menyambut tangan sang nenek lalu diciumnya takzim, Santi mau tak mau mengikuti kakaknya itu.
"Nini gimana kabarnya? Sehat, Ni?" tanya Adji basa-basi. Namun, hanya gumaman sang nenek yang ia dapat sebagai jawaban.
"Ini, Ibu buat opor ayam buat Nini. Mungkin tak seenak masakan Bibi, tapi Ibu buat ini khusus buat Nini." ujar Adji menyodorkan rantang dua susun yang berisi opor ayam dan satu lagi berisi tumis kacang dan tempe.
Senyum miring tercetak jelas dari bibir wanita berusia lanjut itu. Namun, belum sempat Rusni berucap, Adji lebih dulu menyerobot lagi dengan mengangsurkan barang yang mereka bawa dari rumah tadi.
"Ini juga ada sedikit oleh-oleh buat Nini, sebagai ucapan terimakasih karena siang tadi Nini sudah meminjamkan beras berkualitas bagus pada Bapak." lanjut Adji menyindir, wajah Rusni berubah seketika.
"Ini juga, ada beras sebagai ganti beras Nini yang dipinjam Bapak tadi. Meski tidak sebagus punya Nini, tapi yang jelas tidak kutuan dan ini layak makan, Ni." sambunyanya lagi membuat wajah Rusni pias.
Rusni melirik dua kantong kresek yang disodorkan untuknya di atas meja itu. Satu kantong berisi beras kemasan 5 kg dengan merk terbaik dan paling mahal di daerah mereka tinggal. Dan satu lagi kantong berisi aneka makanan khas yang terkemas rapi. Lalu, Rusni membuang tatap dari ketiga benda di atas meja itu. Hatinya mencelos, tetapi gengsinya jauh lebih dari segalanya.
"Hemm."
Hanya itu sebagai sahutan atas ucapan panjang dari cucu lelaki pertamanya itu. Cucu yang selalu dibandingkan dengan cucunya yang lain, cucu yang selalu tak mendapat kasih sayang seperti yang lain. Cucu yang tersingkirkan oleh sebab keadaan orang tuanya yang miskin, ataukah ada suatu rahasia lain yang disembunyikan oleh nenekya itu?
"A' Adji ... Teh Santi ... "
Tiba-tiba perhatian Adji teralihkan dari panggilan dari adik sepupunya dari dalam. Lalu anak perempuan berusia 10 tahun itu bergabung dengan mereka.
"Wulan, kumaha damang?" sapa Adji, Wulan segera menyalimi kakak sepupunya itu bergantian.
"Alhamdulillah, A' ... Aa' kapan datang?" tanya Wulan santun. Bahkan, bibi dan neneknya saja kalah santun dari bocah berusia 10 tahun itu.
"Siang tadi, Lan. Sekolanya lancar?"
"Ya gitu deh, A' ... Rencananya Wulan mau pindah ke pondok saja, A', belajar agama yang bener biar enggak salah jalan." ujar Wulan penuh keyakinan.
"Masya Allah, semoga terniatkan dengan baik, ya, Lan." balas Adji mendoakan dengan tulus.
"Khem ... Lan, bawa itu ke dalam!" deheman serta titah dari Rusni menghentikan percakapan dua saudara itu.
Wulan menatap Adji yang mengangguk sekilas, lalu membawa pemberian Adji itu ke dalam dan ia letakkan di meja makan.
"Ni, kami mohon pamit, sebentar lagi isya'." pamit Adji bangkit berdiri diikuti Santi yang melakukan hal yang sama.
Rusni tak merespon dengan baik, ia bergeming di tempatnya duduk. Namun, lagi-lagi, duplikat Rusman itu mendekat lalu menyalaminya dengan takzim. Bahkan, Adji menyelipkan amplop berisi uang ke tangan neneknya itu.
"Ini ada sedikit pegangan buat Nini. Nini jaga kesehatan, jangan sampai sakit. Kasihan Ibu kalau harus merawat Nini di rumah sakit lagi." sindir Adji telak, membuat wajah Rusni kembali masam. Namun, Adji abai dan segera beranjak.
"Loh, mau ke mana, A', Teh?" kejut Wulan yang kembali ke ruang tamu.
"Mau pulang dulu, Lan. Bentar lagi isya, main ke rumah kalau sempet, Lan!" jawab Adji.
"Insya Allah, A'. Terimakasih ya, A', Teh oleh-olehnya." ucapnya mewakili sang nenek yang sudah ia hafal pasti anti untuk berucap demikian.
"Sama-sama, Lan. Balik dulu, ya!"
"Yuk, Lan!" sambung Santi segera merangkul lengan Adji agar segera pergi dari sana.
Mereka berjalan bersisian, bagi yang tidak tahu akan hubungan keduanya pastilah menyangka mereka adalah sepasang kekasih karena memang demikian mesra tingkah keduanya.
"Nini pasti kesal dengan ucapan Aa' tadi!" kikik Santi saat mereka sudah menjauh dari rumah Rusni.
"Biarin, sekali-kali kita boleh mengingatkan tetapi tetap dengan bahasa yang sopan. Aa' enggak rela Bapak sama Ibu terhina terus oleh mereka." sahut Adji tenang tapi tegas.
"Iya! Neng teh juga heran, kan, Bapak itu anaknya Nini, kenapa gitu banget perlakuannya ya, A'?" gerutu Santi sembari terus melangkah di samping sang Kakak.
"Entahlah, mungkin Nini ada rahasia yang kita tidak tahu, Neng. Biarlah, yang penting kita teh enggak boleh mendendam. Kita doakan saja, semoga Nini lekas menyadari kekeliruannya."
"Amin, semoga sebelum dipanggil sama Allah udah tobat, ya, A'!" kikik Santi geli sendiri dengan pikiran konyolnya.
"Neng ... " tegur Adji justru ditanggapi tawa oleh sang adik.
Mereka lekas membawa langkah pulang, tapi baru sampai pertigaan sebelum sampai ke rumah seseorang memanggil Santi dari arah berlawanan.
"Santi!" panggil seorang lelaki yang diperkirakan seumuran atau sedikit lebih tua dari Santi.
"A' Dimas?" gumamnya menoleh ke arah kanan dimana lelaki bernama Dimas itu berjalan ke arahnya.
"Kamu dari mana?" tanya Dimas menatap lekat tangan Santi yang bergelayut manja di lengan Adji.
"Dari rumah, Nini. Aa' kok di sini?" jawab dan tanya Santi heran pasalnya yang ia tahu Dimas bukanlah warga kampungnya.
"Antar pesanan pelanggan, Ibu." sahutnya lalu beralih menatap Adji dengan intens.
"Dia siapa? Katanya gak mau pacaran tapi udah mesra-mesraan aja sama cowok." tanyanya dengan nada tak suka.
Santi dan Adji saling tatap dengan tatapan heran sekaligus geli atas kalimat Dimas itu. Santi bahkan mengulum senyum menatap wajah kakak lelakinya yang keheranan.
"Oh, memangnya kenapa atuh?" tanya Santi tak menghiraukan ekspresi Dimas sama sekali. "Suka-suka saya atuh," lanjutnya lalu menarik sedikit lengan Adji untuk ia ajak segera pulang.
"Eh, udah azan, kami duluan, ya!" ucapnya lalu segera beranjak meninggalkan Dimas yang masih terpaku di tempat.
Bukan tanpa alasan Santi menghindari Dimas, sebab lelaki muda itu menaruh hati padanya. Sudah bukan rahasia lagi di lingkungan sekolahnya karena Dimas kerap kali menunjukkan perhatiannya pada anak bungsu pak Rusman itu.
"Siapa, Neng? Pacar?" cecar Adji saat sudah menjauh.
"Ish, bukanlah, A'. Neng teh enggak mau mikirin yang begitu-begituan, Neng teh mau fokus belajar. Sekolah yang bener lalu bisa kuliah kayak Aa'." tukas Santi penuh percaya diri.
"Tapi sepertinya dia suka sama Neng!"
"Iya, udah banyak kali nyatain cinta sama Neng, tapi Neng gak mau." sahut Santi dengan wajah kesal.
Adji tergelak dengan jawaban adiknya. Membuatnya semakin yakin kalau adik kecilnya itu kini telah tumbuh dewasa. Bukan hanya secara fisik saja, tetapi juga secara pemikiran.
"Eh, kenapa enggak mau? Ganteng loh!" goda sang kakak membuat Santi mencebik.
"Ganteng doang tapi akhlak minus teh sama saja bohong atuh, A' ... Selain itu, dia itu anaknya juragan Rusminah. Itu loh, yang sejatinya dulu mau Nini jodohkan sama Bapak. Wanita yang selalu disebut Nini, yang selalu dibanding-bandingin sama Ibu. Ya, Neng gak maulah, kalau Neng mau sama dia, itu sama saja mendukung Nini nyakitin hati Ibu." tegas Santi berapi-api.
Ada nada kemarahan di akhir kalimatnya membuat sang kakak memahami alur kisah sang adik. Meski tak pernah terucap, nyatanya sang adik begitu terluka oleh perilaku neneknya yang selalu menyudutkan sang ibu.
Adji semakin manatap kagum terhadap adiknya itu. Semakin ia yakin dan tenang meninggalkan keluarganya untuk bekerja di kota. Padahal awalnya ia begitu yakin akan mengajak pindah keluarganya ke kota saja agar tidak perlu lagi menghadapi cemoohan dari orang yang notabenenya adalah keluarga mereka sendiri.
Miris memang, keluarga yang seharusnya saling mendukung satu sama lain justru tidak berlaku di keluarganya sendiri. Mereka sedari dulu sudah dikucilkan hanya karena bertaraf ekonomi di bawah yang lainnya. Pun dengan perlakuan dari neneknya sendiri, yang sudah amat kentara menyudutkan ayahnya hanya karena memilih wanita yatim piatu dan dari keluarga miskin harta.
Ya, harta nyatanya mampu membangun benteng pemisah antar darah yang mengalir di tubuh bersaudara. Tidak ada lagi kehormatan jika tidak memiliki harta dunia yang sejatinya hanyalah titipan semata.
***
Keesokan paginya, Adji mengambil alih tugas sang ayah untuk mengantarkan Santi ke sekolah. Mengendarai motor butut yang kata banyak orang sudah tidak layak pakai itu, Adji melaju dengan percaya diri. Tidak ada kata malu maupun gengsi di dirinya.
Sampai di depan sekolah, puluhan pasang mata menatap kagum pada sosok kakak kandung Santi tersebut, terutama mata para gadis-gadis berseragam putih abu-abu itu.
Mulut mereka ternga-nga manakala Adji mendaratkan kecupan sayang di pucuk kepala adiknya usai santi menyaliminya takzim. Ada yang memekik tertahan sebab menyaksikan adegan romantis yang tersaji di depan mata, tanpa mereka ketahui bahwa lakon dari adegan romantis itu adalah sepasang kakak beradik dengan darah yang sama mengalir dalam tubuh mereka.
"Uang jajan udah?" tanya Adji memastikan lagi. Santi tersenyum lebar, lalu mengangguk yakin. Merasa girang hatinya, sebab kali ini adalah pertama kalinya dia datang ke sekolah dengan uang jajan yang menurutnya luar biasa. Satu lembar uang berwarna merah pemberian sang kakaklah yang kini menghuni saku baju seragamnya.
"Jam 2 nanti Aa' jemput lagi, sekalian mau pamer. Tuh, lihat! Pada melongo gitu ngeliatin Aa'!" Santi tergelak melihat ke segerombolan teman-temannya yang masih terpaku menatap mereka dengan tatapan kagum.
"Iseng banget!" Adji turut terkekeh dengan kepala menggeleng.
Santi gegas menghampiri satu dari segerombolan temannya itu, yang merupakan teman terdekatnya.
"Hai, Nov!" sapanya pada Novi yang masih terus menatap Adji dari kejauhan.
"Itu teh saha, San?" tunjuknya tanpa mengalihkan tatap.
"Aa'." sahutnya singkat.
"Iya, Aa' saha? Pacar? Apa suami?" tanya Novi semakin penasaran.
"Eh, ada gitu anak SMA udah nikah?" heran Santi mendengar pertanyaan sahabatnya barusan.
"Makanya teh jawab yang bener atuh!" cebiknya.
"Itu teh kakak aku, Nov. Aa' Adji yang sering aku ceritakan ke kamu, gimana, sih!" jelas Santi membuat Novi menoleh seketika.
"Masya Allah ... Seriusan? Menih ganteng pisan aslinya. Mau dong dikenalin, San!" rajuknya dengan mata berbinar dan senyum mengembang di wajahnya.
"Genit, ih!"
"Biarin, kali aja kita bisa iparan!" kelakar Novi terkikik.
Santi tergelak dengan permintaan konyol sahabatnya itu. Lalu keduanya melangkah masuk ke area sekolah setelah memastikan Adji berlalu dari sana.
"Lagaknya sok suci tapi gak tahunya ngumbar body!"
Suara sarkas dari depan pintu masuk kelasnya membuat Santi juga Novi urung masuk ke kelas mereka. Mereka berhenti karena ada Dimas dan gengnya berdiri berjarak dua langkah saja dari pintu masuk.
"Lagaknya, gak mau pacaran. Enggak bisa dipegang karena bukan muhrim. Tapi semalam gelendotan sama laki-laki, dasar perempuan tak tahu diri!" ejek Dimas sarkas dengan senyum miring di wajahnya. Menatap Santi dengan tatapan jijik seolah Santi adalah kotoran di hadapannya.
Santi tak tersinggung ataupun marah sebab sejak semalam ia sudah mengira hal ini akan terjadi. Justru dia semakin yakin dan tahu seperti apa wajah asli lelaki di hadapannya itu.
Novi yang ikut mendengar hinaan itu pun menyenggol lengan Santi yang nampak biasa-biasa saja menanggapi kakak kelas yang kerap kali ia tolak itu.
"Terus? Kamu teh mau berkoar-koar sama satu sekolah gitu? Ya, sok aja atuh! Gak akan ngaruh sama saya!" sahut Santi enteng lalu menerobos masuk ke dalam kelas.
"Sok cantik! Awas saja kamu!" kesal Dimas dan ditanggapi dengan tak acuh oleh Santi.
Sedang di balik pintu kelas sebelah, ada seseorang yang tengah tersenyum penuh kemenangan melihat Dimas yang tak lagi mengejar Santi yang ia anggap sebagai saingannya.
Tersenyum culas, kala sebuah ide melintas di kepalanya untuk membuat Dimas semakin membenci Santi dan membuatnya memiliki peluang mendapatkan anak juragan toko sembako tersebut.
Sedangkan di rumahnya, Rusman tengah bersiap kembali ke kediaman Hamidah untuk melanjutkan pekerjaannya yang kemarin.
"Barengan, Bang. Adek mau ke warung yu Sarni, mau bayar hutang kita." pinta Yuni pada suaminya yang sudah siap berangkat.
"Yasudah, ayok!"
Keduanya lantas berjalan beriringan karena arah jalan mereka sama meski tujuan mereka berbeda.
"Duh, romantis sekali Teh Yuni sama Kang Rusman ini." puji Ikah, salah satu tetangga Yuni.
"Halah romantis juga percuma kalau kere mah. Emangnya beras bisa datang sendiri dengan romantis-romantisan!" serobot Rukaya yang tiba-tiba datang dari arah warung dengan raut wajah tak suka.
"Kalian jangan umbar keromantisan di depan umum kalau buat makan saja kalian harus sering cati utangan!" ketusnya lagi pada dua iparnya itu. Entah ada masalah apa sampai Rukaya amat tidak menyukai mereka.
"Loh, emang kenapa, Ya? Mereka mau utang juga toh mereka sendiri yang bayar, kok kamu yang sewot!" bantah Ikah yang merasa geram dengan mulut tak beradab Rukaya.
"Saya yang ikut malu kalau mereka diomongin orang karena utangnya di mana-mana!" ketusnya lagi.
"Ya kalau malu, kamu bantulah. Kamu kan, adiknya!" debat Ikah mulai emosi.
"Kalau bukan karena Kang Bahar, aku juga gak sudi jadi adik mereka yang miskin ini. Malu-maluin aja!" ketusnya lagi, lalu berbalik cepat meninggalkan mereka yang masih geleng-geleng dengan ucapan Rukaya.
"Gitu tuh, kalau kasih tak sampai! Panas liat yang dicintai bahagia sama pasanganyanya!" teriak Ikah lantang membuat kening Yuni berkerut heran.
"Maksudnya apa, Kah?" tanya Yuni yang juga membuat Rusman penasaran. Seketika Ikah menoleh, lalu tergagap karena sudah keceplosan bicara.
"Eh, itu, Teh, anu-" gagapnya salah tingkah.
"Hu'um ... Anu apa, Kah?" sambung Rusman.
"Itu, emang Teh Yuni sama Kang Rusman enggak tahu, ya?" tanya Ikah membuat Yuni dan Rusman geleng-geleng kepala.
"Tahu apa, sih?" desak Yuni.
"Kan, si Rukaya teh suka sama Kang Rusman. Malah udah cerita ke orang-orang kalau dulunya teh yang mau nikahin dia itu Kang Rusman." beber Ikah sesuai cerita karangan dari Rukaya.
Yuni dan Rusman saling tatap dengan tatapan heran.
"Oh, kasih tak sampai rupanya!" gelak Yuni lalu diikuti oleh Ikah, sedangkan Rusman hanya geleng-geleng kepala saja.
Lalu melanjutkan langkah menuju kediaman Hamidah yang sudah mulai terlihat. Sedangkan Yuni berjalan bersama Ikah menuju warung milik Bu Imas.
Ada beberapa ibu-ibu yang tengah berkumpul di depan warung mantan pegawai negeri itu. Melihat Yuni datang, bisik-bisik dan raut wajah tak bersahabat ditunjukkan oleh dua di antara para ibu-ibu itu.
Namun, Yuni sama sekali tak menghiraukannya. Memilih terus pada tujuan awalnya datang ke warung yang sudah banyak membantunya sejak dulu dengan memberi utangan padanya, baik berupa beras maupun kebutuhan lainnya.
"Bu Imas, berapa total hutang saya?" tanya Yuni pelan."Sebentar ya, Neng!" sahut si pemilik warung, lalu beranjak mengambil buku catatannya."Bulan ini ada 130 ribu, Neng." beritahu wanita seusia mertuanya itu.Yuni lantas merogoh sakunya dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah dan biru."
"A' ... Udah mau jalan jemput si Neng?" tanya Yuni dengan sedikit berteriak karena Adji tengah duduk di teras sembari bermain ponsel."Sebentar lagi, Bu. Kenapa?" sahutnya, segera memasukkan ponsel.Begitulah dia, setiap berbicara pada orang lain dia akan menyimpan kembali ponselnya, menjunjung adab
Yuni segera masuk ke dalam, sedang Iin memanggil mertuanya ke belakang. Tak lama, lelaki sepuh yang dia cari datang dengan menggendong cucunya yang masih kecil."Oh, Yuni." sapanya mendekat lalu duduk di kursi seberang Yuni."Iya, Wak." balas Yuni. "Ini, Wak, si Adji teh kemarin pulang, ini ada gula
"Ya gak gitu juga, A' ... Sekolah si Neng gimana?" ucap Yuni mengingat anak gadisnya yang belum libur panjang."Tenang, Bu. Neng bisa libur sekolah dulu seminggu ke depan." sahut Adji."Apa enggak masalah ijin selama itu, A'?" sambung Rusman."Gak papa, kok, Pak. Tadi, Neng udah ijin sama wali kelas
Setelah cukup lama berpikir dan menimbang akan baik dan buruknya, akhirnya dia pun sudah mendapatkan keputusannya."Baiklah, A' ... Ibu setuju dengan ide Aa'. Ibu akan ikut apapun keputusan Aa', karena Ibu yakin apa yang Aa' putuskan adalah untuk kebaikan kita." putus Yuni mengulas senyum membuat Ad
"Iya, Pak!"Rusman lantas mengunci pintu, setelah kembali memeriksa keadaan dalam rumahnya. Dan setelah yakin semua aman, ia bergegas mengunci pintu utama dan bergabung dengan yang lainnya.Sedikit raut cemas dan khawatir tersirat di wajahnya, hingga ia menghela nafas lega saat mobil sudah meninggal
Perjalanan panjang yang cukup membuat kedua kaki Yuni dan juga Rusman keram telah terlewati dengan baik. Adji mengajak mereka untuk menempati salah satu rumah sewaan milik keluarga ibu kosnya. Yang mana, lokasinya pun tak jauh dari tempat kos Adji sendiri.Umar menolak untuk singgah walau hari telah
"Tadi sebelum berangkat, Bapak teh niatnya mau ke rumah Wak Harjo. Tapi belum sampai sana, Bapak papasan sana Yu Siti." jedanya menoleh ke arah Yuni, lalu Yuni mengangguk tanda setuju untuknya melanjutkan cerita."Terus?" desak Santi."Yu Siti bilang kalau di rumah Wak Roji sedang ramai orang gitu.
"Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih banyak Wak, Bi. Neng, bahagia sekali," ujar Santi sepenuh hati menatap sayang kepada keluarga ayahnya itu satu persatu. Sampai kepada Rida, Santi teringat akan pesan yang dikirimkan oleh Bintang tadi."Oh iya, Neng teh sampai melupakan sesuatu," lanjutnya mem
Kunjungan keluarga Bintang ke rumah sakit tempat dirawatnya Santi tak hanya sekedar kunjungan biasa. Rupanya, terjadi pembicaraan serius antara Rusman dan Hendrawan terkait kelanjutan rencana pernikahan anak-anak mereka.Semua sudah dibicarakan dan tanggal pun sudah ditetapkan, yaitu 2 minggu lagi m
"Hayuk masuk atuh, kita sarapan dulu!" ajaknya usai memeluk Aisyah dan Linda bergantian. Bahkan, Hendrawan pun dia perlakukan bak anak sendiri."Kebetulan kita belum sarapan, Ni," balas Hendrawan yang segera melangkah masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.Mereka bercengkerama selayaknya keluarg
"Sudah siap semua, A'?" tanya Hendrawan kepada Bintang yang tengah memakai sepatunya.Bintang mendongak menatap ayah sambungnya yang sudah terlihat semakin segar setelah 2 hari dia tunggui di rumah. Rupanya, sakitnya Hendrawan hanyalah penyakit malarindu kepada anak-anaknya saja. Setelah Bintang dan
Dalam pikirannya, kuliah dan mendapat gelar itu adalah penunjang langkah menuju sukses yang dia inginkan. Meski jalan yang dilalui tak mudah, tetapi memiliki ijazah sarjana adalah merupakan salah satu batu loncatan menuju puncak kesuksesan. Berbeda dengan Ikhsan yang memilih memgembangkan skil yang
Bintang membawa langkah dengan pasti saat burung besi yang mengatarnya pulang ke tanah air telah berhenti sempurna. Menderap langkah semakin cepat usai mengambil koper miliknya menuju pintu keluar bandara.Setelah hampir 5 jam di udara, akhirnya kakinya menapak tanah air dengan selamat. Namun, perja
Mau tak mau Santi pasrah juga, mengalungkan tangan di leher sang ayah yang terasa semakin tua itu. Menatap wajah lelaki hebatnya itu dalam-dalam. Sudah banyak keriput menghiasi wajah bapaknya, menandakan bahwa bapaknya tak lagi muda. Namun demikian, bapaknya masih kuat menggendongnya sampai ke toile
Waktu berputar begitu cepat, tanpa terasa mentari dengan cepat menghapus pekatnya langit malam. Usai sholat subuh, Bintang dengan segera bersiap untuk pulang ke tanah air. Mendapat penerbangan pagi membuatnya semakin tak sabar untuk bertemu dengan orang-orang yang dia rindukan.Dengan diantarkan ol
Di belahan bumi lain, Bintang tengah bersiap untuk kepulanganmya esok hari. Mengemasi beberapa pakaian yang akan dia bawa pulang. Kepulangannya kali ini bukan untuk tak kembali, karena masa pendidikannya juga belumlah usai."Berapa lama kamu di rumah, Tang?" tanya Abdi yang melihat rekan satu aparte