"Nunggu lama, Dek?" sapa Rusman pada Yuni yang sudah menunggu di depan warung.
"Lumayan, Bang." sahutnya singkat lalu naik ke boncengan suaminya.
"Kok, tumben jam segini pada pulang, Dek?" tanyanya penasaran sebab masih banyak karyawan yang keluar dari dalam pabrik itu.
"Iya, Bang, memang banyak yang pulang. Udah, yuk jalan. Oh iya, berasnya jadi dapat, Bang?" tanyanya mengalihkan perhatian Rusman.
"Alhamdulillah, Dek, dikasih 2 kg sama telur 1 kg dari Yu Hamidah. Enggak dihitung bayaran, jadi bayaran 2 hari ini utuh. Besok suruh datang lagi ke sana, Dek." sahutnya dengan senyum lebar, lalu merogoh uang di saku bajunya. Selembar uang berwarna merah ia angsurkan kepada istri tercintanya.
"Ini, Adek, pegang uangnya."
"Alhamdulillah, Bang. Kalau gitu kita mampir beli lauk buat makan sama Aa' nanti," sambutnya turut tersenyum lebar.
"Eh, gak usah, Dek. Si Neng udah masak di rumah, katanya dikasih daun singkong sama Wak Harjo tadi." sela Rusman cepat.
"Yasudah kalau gitu, nanti lauknya goreng telur saja. Uangnya buat kebutuhan besok-besok." girang Yuni lalu menyimpan uang itu dalam saku bajunya. Ia masih belum berniat memberitahukan perihal pemberhentian kerjanya, ia pikir nanti malam saja saat sudah di rumah.
Rusman segera memacu motor bututnya pulang, hanya butuh waktu 15 menit saja sudah sampai di rumah.
"Assalamualaikum ... " salam keduanya sembari membuka pintu yang setengah terbuka.
Sepi,
"Kok sepi, Bang? Si Neng ke mana?" gumam Yuni lalu membawa langkah semakin masuk diikuti Rusman di belakangnya.
"Walaikum salam, Ibu, Bapak!" balas Santi dan Adji berbarengan saat melihat Yuni masuk ke ruang tengah yang merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan.
Yuni dan Rusman sama-sama terkejut melihat pemandangan di ruangan itu. Dinding yang biasanya polos kini sudah berhias aneka pita warna-warni. Namun, lebih terkejut lagi saat melihat putra sulungnya sudah berdiri berdampingan dengan sang adik sembari tersenyum lebar.
"Kejutan!" ucapnya merentangkan tangan bersiap menyambut kedua orang tuanya.
"Aa'!"
"Aa'!"
Pekik Rusman dan Yuni berbarengan. Yuni segera berhambur memeluk anak sulungnya itu dengan mata merebak.
"Ya Allah ini teh Aa' anak Ibu?" gumam Yuni memeluk erat putranya. Adji balas memeluknya lebih erat lagi.
"Iya atuh, Bu, emang anak siapa kalau bukan anak Ibu. Ibu sehat, kan?" sahut Adji dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, A', ibu sehat. Kata si Neng, lepas maghrib sampainya?" ucapnya melepas pelukan sebab ia sadar ada suaminya yang menunggu giliran memeluk sang putra sulung.
"Kejutan, Bu!" sahut Adji terkekeh, lalu mengambil tangan Yuni dan menciumnya takzim. Ia lalu berpindah pada Rusman yang menanti di belakang tubuh istrinya.
"Pak,"
Adji melakukan hal yang sama, mengambil tangan sang ayah lalu menciumnya takzim. Setelahnya memeluk Rusman penuh kerinduan.
"Anak Bapak menih ganteng, pisan! Bapak teh pangling." kelakar Rusman menepuk-nepuk punggung anak lelakinya yang tingginya sudah melebihi dirinya sendiri. Tanpa bisa ia cegah, bulir bening turut menetes dari netra tuanya.
"Nurun dari Bapak tentunya," balas Adji turut berkelakar.
"Sebenarnya teh, Aa' sudah datang waktu kita pulang dari sekolah tadi, Pak, tapi sengaja ngumpet dulu katanya buat kejutan." terang Santi saat pelukan keduanya sudah terurai.
"Eleh, anak Bapak badung pisan. Nakal, ngerjain orang tua yang udah kangen ini." Adji tergelak dengan omelan sayang dari bapaknya.
"Sengaja, Pak, biar bisa siapin kejutan buat Bapak sama Ibu." sahut Adji lalu merangkul kedua orang tuanya. "Selamat ulang tahun pernikahan, Pak, Bu! Semoga Bapak dan Ibu terus bahagia sampai maut memisahkan. Terimakasih karena cinta kasih Bapak dan Ibu membawa kami sampai di titik sekarang ini. Maafkan kami yang belum bisa membahagiakan Bapak dan Ibu." ungkap Adji tulus dengan mata berkaca-kaca.
"Masya Allah, A', Bapak sama Ibu saja lupa sama tanggal pernikahan kami." tanggap Yuni dengan derai air mata yang sudah mengalir deras di kedua pipinya.
Benar yang diucapkannya, bahwa ia memanglah lupa tanggal pernikahannya dengan Rusman puluhan tahun yang lalu, tepatnya 25 tahun yang lalu. Karena setiap harinya dia hanya mengingat seberapa banyak hutang dan uang yang harus didapatkannya untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tak sempat lagi dia mengingat tentang hari bersejarah dalam hidupnya itu.
Rusman dan Yuni memeluk erat anak sulungnya itu. Yang tanpa mereka sadari sudah begitu dewasa. 25 tahun pernikahan yang itu artinya, usia anak sulung mereka sudah menginjak angka 22 tahun. Santi tak mau kalah, ia pun turut memeluk kedua orang tua dan kakak lelakinya itu erat-erat penuh keharuan.
****
"Masya Allah, ini semua Aa' yang siapin?" kagum Yuni melihat ke arah meja makan sederhana mereka yang sudah dipenuhi dengan aneka makanan. Ada nasi kuning yang dibentuk menjadi tumpeng kecil berikut lauk pauknya yang mengitari tumpeng dan disusun sedemikian indah. Di samping tumpeng ada kue coklat berukuran sedang dengan tulisan 'Happy silver universary Bapak Ibu'. Kue yang sering kali ia lihat namun belum pernah tahu akan rasa dari kue tersebut.
"Sama si Neng, Bu!" sahut Adji merangkul adiknya di sisi yang lain.
Kembali air mata membanjiri kedua pipinya. Begitu bersyukur atas segala perhatian dari kedua anaknya, baginya ini semua terlalu mewah karena selama puluhan tahun hidup dalam kesederhanaan.
"Terimakasih anak Ibu," ucapnya lalu kembali mencium pipi dan kening Adji dan Santi bergantian. Dengan senyum mengembang meski air mata terus mengalir dari kedua matanya.
"Udah ih, nangisnya. Yuk kita makan, Neng udah nahan laper dari tadi!" ajak Santi memecah suasana haru yang membuat air mata banyak tertumpah itu.
Sontak mereka terkekeh atas ucapan polos dari Santi. Lalu masing-masing menempati kursi yang ada di meja tersebut.
Mereka benar-benar larut dalam suasana bahagia, makan dengan menu yang sangat spesial diselingi canda dan tawa. Sesekali terlontar pertanyaan Yuni dan Rusman akan dari mana uang untuk membeli semuanya itu, tetapi Adji menjawab bahwa semua itu adalah rejeki dari Allah untuk pernikahan orang tuanya yang ke 25 tahun atau sering disebut dengan ulang tahun pernikahan perak.
"Buat apa itu, Dek?" tanya Rusman saat Yuni memindahkan lauk opor ayam ke dalam wadah terpisah.
"Buat Emak, Bang, kasihan." sahutnya masih terus memindahkan beberapa potong daging ayam itu ke dalam wadah.
"Bu, yang buat Nini udah kita pisahin, kok! Udah, yang ini buat kita saja." sela Adji menahan tangan sang Ibu.
"Eh, iyakah, A'?" Adji mengangguk yakin sedang Rusman menatap istrinya dengan perasaan yang bercampur aduk di dalam dadanya.
Betapa beruntungnya dia memiliki istri sepertinya. Yang bahkan masih memikirkan ibunya yang sudah berlaku tega terhadap mereka. Mengingat segala perlakuan ibunya, rasanya tak rela jika ibunya turut menikmati makanan itu. Terlebih, mengingat beras pemberian ibunya tadi siang, sudah sangat menghancurkan hati dan perasaannya. Lalu, untuk apa istrinya masih memikirkan ibunya itu?
"Sudahlah, Dek, untuk apa mikirin orang yang tidak mikirin kita. Lebih baik--"
"Abang gek boleh begitu, biar bagaimanapun Emak itu ibunya Abang. Nininya anak-anak. Jangan ajari anak-anak untuk mendendam, Bang!" sela Yuni halus sembari mengulas senyum di wajah teduhnya.
Sungguh, definisi malaikat tak bersayap ada dalam diri Yuni. Entah terbuat dari apa hatinya? Semakin bertambahlah rasa sayang dan cinta Rusman untuknya. Untuk wanita sederhana berhati mulia, bergelar istri dan ibu dari anak-anaknya itu.
***
Usai makan, Santi membantu ibunya membereskan meja makan lalu mencuci piring kotor.
Yuni kembali dibuat syock saat melangkahkan kaki ke dapur, melihat sekarung beras 25 kg teronggok di dekat lemari penyimpanan makanan. Wadah tempat bumbu dapur juga sudah penuh oleh bawang merah dan putih, garam, micin dan yang lainnya terlihat penuh memenuhi wadah yang biasanya lenggang itu. Bahkan, minyak goreng yang berjajar di meja juga turut memeriahkan pemandangan di meja yang biasanya hanya berisi wadah kosong saja.
Melempar tatapan pada sisi lain dapur sederhana itu, terlihat kompor dua tungku yang selama ini hanya menjadi khayalannya sudah duduk manis di sana lengkap dengan tabung berwarna hijau tersambung di bawahnya.
"Ini semua buat Ibu, semoga Ibu semakin nyaman memasakkan makanan yang enak untuk Bapak dan si Neng." ucap Adji merangkul kembali ibunya.
"Tapi semua ini uang dari mana, A'?" heran Yuni masih terus bertanya-tanya.
"Nanti Aa' jelaskan, yang jelas semua ini dari uang halal, Bu!" kekeh Adji yang berhasil mendapat cubitan sayang di pinggangnya oleh tangan sang ibu.
Yuni membuka lemari penyimpanan, berniat menyimpan lauk yang masih tersisa. Namun, lagi-lagi matanya terbelalak melihat isi dalam lemari itu.
Tumpukan mie instan memenuhi dua rak bawah dan tengah. Mie goreng di bagian bawah dan mie kuah di bagian atasnya. Lalu rak paling atas ada tumpukan gula pasir dan teh, serta kopi kemasan yang sering dinikmati Rusman. Beberapa kaleng susu berjajar di sana, juga dua botol sirup berwarna hijau dan merah turut hadir mengisi lemari itu.
Di space kedua lemari itu ada telur yang tersusun rapi dalam tempatnya, setidaknya ada dua layer telur di sana. Beberapa bungkus tepung terigu dengan bungkus warna hijau dan aneka perbumbuan instan yang sering dia lihat di iklan TV ada di sana. Di bagian paling bawah dimana tempat penyimpanan segala kebutuhan kamar mandi juga tak luput dari perhatian Adji. Detergen dalam ukuran besar berjajar rapi, sabun mandi, shampo dan pasta gigi juga rapi tersusun di sana.
"Masya Allah, Aa'!" pekik Yuni menatap anak sulungnya dengan tatapan haru bahagia yang tak dapat ia katakan. Tangis bahagia kembali pecah dari wanita berusia hampir setengah abad itu.
Berhambur memeluk sang putra dengan bahu bergetar karena tangis. Seumur hidup, baru kali ini dapurnya terisi dengan penuh seperti sekarang ini.
Sederhana bukan kebahagiaan seorang ibu rumah tangga? Hanya dengan terpenuhinya kebutuhan dapur dan sumur saja sudah mampu membuatnya menangis bahagia.
"Terimakasih, A' ... " isaknya dalam pelukan sang anak sulung.
"Aa' yang harusnya bilang terimakasih sama Ibu, karena Ibu sudah sangat sabar menemani Bapak yang hidup serba seadanya. Yang sabar mendidik Aa' sehingga bisa jadi seperti sekarang ini. Ini semua berkat doa dan kesabaran Ibu." ucap Adji tulus masih dengan merengkuh ibu yang telah melahirkannya itu.
Ia begitu bersyukur memiliki ibu seperti ibunya. Yang masih dengan sabar dan setia di tengah ujian hidup bersama ayahnya. Tak terbayangkan andai ibunya bukan Yuni, bisa saja ia ditinggalkan karena keadaan ekonomi ayahnya yang begitu sulit. Bukan setahun dua tahun tetapi puluhan tahun lamanya.
***
"Pak, Bu, Aa' pulang teh sekalian mau kasih undangan ini sama Bapak dan Ibu." ucap Adji sembari menyodorkan kertas segi panjang berwarna hitam itu ke hadapan kedua orang tuanya.
"Apa ini, Aa'?" tanya Rusman sembari meraih kertas itu. Membukanya perlahan lalu membacanya. Yuni pun tak mau ketinggalan, ia mencondongkan tubuhnya agar bisa turut membaca kertas yang katanya undangan tersebut.
"Masya Allah ... Allahuakbar ... Anak Bapak teh sudah mau wisuda? Udah mau jadi sarjana?" girang Rusman menatap anak lelakinya penuh takjub. Adji mengangguk yakin dengan senyum lebar.
"Aa' mau wisuda?" pekik Santi yang langsung memburu tubuh tegap sang kakak yang duduk di sampingnya. Lalu memeluknya erat, bahagia dan juga bangga.
"Masya Allah ... Alhamdulillah, ya Allah!" isak Yuni kembali menangis.
Entah sudah berapa banyak air matanya tumpah sepanjang petang ini. Namun, kali ini bukan air mata karena lapar dan tak mampu membeli beras barang 1kg saja. Melainkan tangis bahagia yang lagi-lagi disebabkan oleh anak lelakinya.
"Apa kita harus datang, A'?" tanya Yuni ragu-ragu.
"Harus atuh, Bu, Pak. Aa mau Bapak, Ibu, Neng datang. Kalianlah saksi perjuangan Aa' selama ini dan oleh karena kalianlah Aa' bisa menyandang gelar sarjana." yakin Adji.
"Tapi, A' ... Apa Aa' gak malu nanti? Kita yang kayak gini--"
"Ibu teh bicara apa? Mana ada Aa' malu, yang ada Aa' justru bangga jadi anak Ibu dan Bapak. Orang tua yang miskin ini mampu memperjuangkan pendidikan anaknya sampai mendapat gelar sarjana." yakin Adji sekali lagi.
"Insya Allah kami akan datang A' ... Buat Aa'." putus Rusman terharu, bahagia dan bangga. Bahwa dirinya yang hanya buruh serabutan, orang kampung yang miskin bisa melihat putra sulungnya menyandang gelar sarjana. Kembali matanya merebak, ia terus berdoa dalam hatinya semoga kesuksesan menyertai kedua anaknya dan mendapat kehidupan yang jauh lebih baik dari dirinya.
"Lalu, benar selama ini Aa' kerja? Kerja apa?" tanya Yuni, ia ingin menuntaskan rasa penasaran akan dari mana uang yang Adji pakai untuk membelikannya berbagai kebutuhan dapur.
"Iya, Bu, alhamdulillah. Adji teh sudah kerja di perusahaan besar. Awalnya cuma magang saja, terus bosnya baik. Jadi, Adji lolos seleksi jadi karyawan." jelas Adji tak ingin orang tuanya berpikir yang tidak-tidak.
"Lalu Aa kerja apa?" sambung Santi yang juga penasaran.
"Aa' kerja di sebuah perusahaan teknologi yang bergerak di bidang sofware dan hardware. Awalnya Aa' di bagian marketing tetapi nanti lepas wisuda, Aa' akan bergabung dengan IT perusahaan." jelas Adji secara rinci. Rusman dan Yuni saling melempar tatap karena tidak paham apa yang disampaikan anak sulungnya.
"Wow, jadi Aa' kerja jadi IT?" kagum Santi dengan mata berbinar. "Pantesan borong belanjaan, gajinya gede!" lanjut Santi terkikik, pun dengan Adji. Sedangkan Rusman dan Yuni masih diam saja.
"Itu teh kerjanya bagaimana, A'?" tanya Rusman dengan polosnya. Yuni mengangguk turut membenarkan.
Santi dan Adji tergelak dengan wajah penasaran dari kedua orang tuanya. Bukan bermaksud menertawakan kebodohan mereka, tetapi merasa geli dengan ekspresi keduanya.
"Itu, loh, Pak. Kerja yang berhubungan dengan komputer, laptop dan yang sejenis gitu-gitulah!" sahut Santi. Adji mengangguk membenarkan.
"Pintar adiknya Aa'!" puji Adji tersenyum bangga.
"Memangnya bener gajinya gede?" tanya Yuni lagi.
"Alhamdulillah, Bu. Aa' bisa bantu Bapak dan Ibu buat beli beras." sahut Adji merendah.
"Emang berapa gajinya sebulan, A'?" tanya Rusman penasaran.
"Yang Neng tahu, gaji seorang IT gede, Pak. Kalau tidak salah, 5 juta sebulan." sahut Santi mengutarakan apa yang dia tahu.
"Hah? 5 juta?" kejut Yuni dan Rusman bersamaan. Adji tertawa dengan reaksi kedua orang tuanya.
"Benar itu, A'?" Adji masih tertawa menanggapi pertanyaan Yuni.
Dari reaksi putranya, Yuni bisa tahu bahwa yang diucapkan anak bungsunya memang benar adanya.
"Alhamdulillah, Bu!" sahut Adji tak mau membenarkan ataupun menyangkal nominal yang membuat orang tuanya terkejut.
Di tengah keterkejutan akan gaji yang diterima sang anak sulung, mereka juga dikejutkan dengan pintu yang mendadak terbuka dengan kasar.
Brak!
"Man, Rusman!"
Teriakan seseorang di luar membuat mereka semua bangkit berdiri dengan segera. Di kala senja, tanpa salam maupun permisi seorang lelaki paruh baya masuk begitu saja lantas memanggil sang empunya rumah dengan suara lantang.
"Astaghfirullahhalazim ... Mau apa orang itu datang?" gumam Rusman terdengar lirih.
"Man, Rusman!"Teriakan seseorang di luar membuat mereka semua bangkit berdiri dengan segera. Di kala senja, tanpa salam maupun permisi seorang lelaki paruh baya masuk begitu saja lantas memanggil sang empunya rumah dengan suara lantang."Astaghfirullahhalazim ... Mau apa orang itu datang?" gumam Ru
Sesuai kesepakatan, usai sholat berjamah di masjid. Adji dan juga Santi pergi ke rumah Rusni untuk mengantar oleh-oleh serta opor ayam yang sore tadi sudah mereka sisihkan. Hanya berdua saja, sebab Yuni dilarang ikut oleh Adji karena Adji tidak ingin melihat ibunya diperlakukan tidak baik oleh nenek
"Bu Imas, berapa total hutang saya?" tanya Yuni pelan."Sebentar ya, Neng!" sahut si pemilik warung, lalu beranjak mengambil buku catatannya."Bulan ini ada 130 ribu, Neng." beritahu wanita seusia mertuanya itu.Yuni lantas merogoh sakunya dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah dan biru."
"A' ... Udah mau jalan jemput si Neng?" tanya Yuni dengan sedikit berteriak karena Adji tengah duduk di teras sembari bermain ponsel."Sebentar lagi, Bu. Kenapa?" sahutnya, segera memasukkan ponsel.Begitulah dia, setiap berbicara pada orang lain dia akan menyimpan kembali ponselnya, menjunjung adab
Yuni segera masuk ke dalam, sedang Iin memanggil mertuanya ke belakang. Tak lama, lelaki sepuh yang dia cari datang dengan menggendong cucunya yang masih kecil."Oh, Yuni." sapanya mendekat lalu duduk di kursi seberang Yuni."Iya, Wak." balas Yuni. "Ini, Wak, si Adji teh kemarin pulang, ini ada gula
"Ya gak gitu juga, A' ... Sekolah si Neng gimana?" ucap Yuni mengingat anak gadisnya yang belum libur panjang."Tenang, Bu. Neng bisa libur sekolah dulu seminggu ke depan." sahut Adji."Apa enggak masalah ijin selama itu, A'?" sambung Rusman."Gak papa, kok, Pak. Tadi, Neng udah ijin sama wali kelas
Setelah cukup lama berpikir dan menimbang akan baik dan buruknya, akhirnya dia pun sudah mendapatkan keputusannya."Baiklah, A' ... Ibu setuju dengan ide Aa'. Ibu akan ikut apapun keputusan Aa', karena Ibu yakin apa yang Aa' putuskan adalah untuk kebaikan kita." putus Yuni mengulas senyum membuat Ad
"Iya, Pak!"Rusman lantas mengunci pintu, setelah kembali memeriksa keadaan dalam rumahnya. Dan setelah yakin semua aman, ia bergegas mengunci pintu utama dan bergabung dengan yang lainnya.Sedikit raut cemas dan khawatir tersirat di wajahnya, hingga ia menghela nafas lega saat mobil sudah meninggal
"Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih banyak Wak, Bi. Neng, bahagia sekali," ujar Santi sepenuh hati menatap sayang kepada keluarga ayahnya itu satu persatu. Sampai kepada Rida, Santi teringat akan pesan yang dikirimkan oleh Bintang tadi."Oh iya, Neng teh sampai melupakan sesuatu," lanjutnya mem
Kunjungan keluarga Bintang ke rumah sakit tempat dirawatnya Santi tak hanya sekedar kunjungan biasa. Rupanya, terjadi pembicaraan serius antara Rusman dan Hendrawan terkait kelanjutan rencana pernikahan anak-anak mereka.Semua sudah dibicarakan dan tanggal pun sudah ditetapkan, yaitu 2 minggu lagi m
"Hayuk masuk atuh, kita sarapan dulu!" ajaknya usai memeluk Aisyah dan Linda bergantian. Bahkan, Hendrawan pun dia perlakukan bak anak sendiri."Kebetulan kita belum sarapan, Ni," balas Hendrawan yang segera melangkah masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.Mereka bercengkerama selayaknya keluarg
"Sudah siap semua, A'?" tanya Hendrawan kepada Bintang yang tengah memakai sepatunya.Bintang mendongak menatap ayah sambungnya yang sudah terlihat semakin segar setelah 2 hari dia tunggui di rumah. Rupanya, sakitnya Hendrawan hanyalah penyakit malarindu kepada anak-anaknya saja. Setelah Bintang dan
Dalam pikirannya, kuliah dan mendapat gelar itu adalah penunjang langkah menuju sukses yang dia inginkan. Meski jalan yang dilalui tak mudah, tetapi memiliki ijazah sarjana adalah merupakan salah satu batu loncatan menuju puncak kesuksesan. Berbeda dengan Ikhsan yang memilih memgembangkan skil yang
Bintang membawa langkah dengan pasti saat burung besi yang mengatarnya pulang ke tanah air telah berhenti sempurna. Menderap langkah semakin cepat usai mengambil koper miliknya menuju pintu keluar bandara.Setelah hampir 5 jam di udara, akhirnya kakinya menapak tanah air dengan selamat. Namun, perja
Mau tak mau Santi pasrah juga, mengalungkan tangan di leher sang ayah yang terasa semakin tua itu. Menatap wajah lelaki hebatnya itu dalam-dalam. Sudah banyak keriput menghiasi wajah bapaknya, menandakan bahwa bapaknya tak lagi muda. Namun demikian, bapaknya masih kuat menggendongnya sampai ke toile
Waktu berputar begitu cepat, tanpa terasa mentari dengan cepat menghapus pekatnya langit malam. Usai sholat subuh, Bintang dengan segera bersiap untuk pulang ke tanah air. Mendapat penerbangan pagi membuatnya semakin tak sabar untuk bertemu dengan orang-orang yang dia rindukan.Dengan diantarkan ol
Di belahan bumi lain, Bintang tengah bersiap untuk kepulanganmya esok hari. Mengemasi beberapa pakaian yang akan dia bawa pulang. Kepulangannya kali ini bukan untuk tak kembali, karena masa pendidikannya juga belumlah usai."Berapa lama kamu di rumah, Tang?" tanya Abdi yang melihat rekan satu aparte