iiiihhh, berisik. Awas ya, jika dalam waktu lima belas menit dari sekarang kamu tidak kembali ke mobil, aku akan tinggal pergi. Kamu pulang dengan jalan kaki saja.” Dimatikan teleponnya, kemudian menelepon Alya yang sejak tadi merajuk akibat lebih memilih mengantarkan Rianti dari pada pergi kepadanya.“ Al, ma- maaf ya. Aku...”Belum sempat meneruskan pembicaraannya Alya langsung memotong pembicaraannya.“ Aku tak butuh permintaan maafmu Mas, sekarang putuskan saja, kamu memilih Rianti atau kamu kesini antar aku ke rumah sakit. Sejak kemarin aku kurang enak badan Mas,” ungkapnya sambil memegang perutnya yang selalu mual itu.“ Tunggu sedikit lagi ya sayang. Aku...aku pasti kena marah Ibuku jika mengabaikan Rianti. Dia juga istri sahku. Jangan buat aku bimbang diantara dua pilihan.” Digaruk Kepalanya yang tidak gatal itu karena kebingungan.“ Terserah kamu Mas. Aku lelah menghadapi sikapmu ini. Nanti aku minta tolong diantar si Rocky saja ya,” balasnya karena kesal dengan sikap Rustam.
“ Ayo masuk, aku mau mengantarkan pasienku. Sejak tadi dia ditinggal suaminya dan pergi bertemu wanita lain.” Ditatapnya wajah Gilang sambil menjelaskan apa yang dialaminya tadi.“ Rustam meninggalkan Rianti demi si Alya, aduh mana dia pakai mobilku lagi.” Ditepuk jidatnya sambil menahan kesalnya.“ Ayo masuk nanti kita jelaskan di dalam mobil saja, aku kasihan sama wanita yang diperlakukan oleh suaminya seperti ini. Apalagi, dia bawa bayi kembar,” ujarnya sambil fokus menyetir.“ Lelaki yang menjadi suaminya adalah adikku Bro, kami seibu tapi sejak kecil aku tak dibesarkan bersamanya,” jelas Gilang meyakini temannya itu.“ Oh, jadi kita harus ke mana dulu apakah mencari mobil kamu atau mengantarkan Rianti dulu?”“ Aku...aku mau pulang ke rumah Bu Melati saja Mas, kasihan kedua anakku jika harus mengikuti kalian mencari Mas Rustam,” pinta Rianti.“Baiklah, sebagai saudara Rustam aku sangat malu melihat tingkahnya yang kekanakan itu. Seharusnya dia bertanggung jawab dengan apa yang dil
“Mas! Aku mohon jangan membatalkan pernikahan ini. Apa kata orang nanti?” bujukku pada lelaki yang sudah tiga belas tahun menjadi pacarku itu. “Sudah kukatakan Rianti, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Salahmu sendiri kenapa memaksa orang tuaku untuk melamarmu, “ jawab Mas Rustam dari seberang sana. “Mas Rustam, kumohon menikahlah denganku. Aku tak mau anak yang ku kandung ini lahir tanpa Ayah.” Kuberusaha membujuknya agar tetap menikahiku. “Salahmu sendiri jadi perempuan terlalu gampangan.” “Mas! Kupastikan setelah ini aku akan pergi menghadap orang tuamu kembali, agar segera melamarku secepatnya meskipun dirimu belum siap menikahiku.” Kuhapus air mata ini yang jatuh membasahi pipi. “ Terserah kamulah, jangan sampai kamu duduk sendiri di pelaminan berpasangan dengan kursi kosong jika terus memaksa aku menikahimu.” Tanpa pamit denganku Mas Rustam mematikan teleponnya dari seberang sana. Rasanya sangat sakit dikhianati dengan cara seperti ini oleh lelaki yang kucintai. Mas Rusta
Diriku terbangun. Kutatap sekeliling tampak ruangan yang terasa asing. Inginku buang air kecil. Namun, kondisiku masih lemah sekuat tenaga berusaha bangun dan ingin menuju kamar kecil. Tiba-tiba seorang pemuda datang mendekatiku. Ditahannya pergelangan tanganku yang hendak menuju ke kamar kecil. “Eits! Jangan bangun dulu, kamu masih sakit,” seru lelaki itu. Kira-kira usianya tak jauh beda dengan usiaku. Kupegang kepalaku yang terasa pusing. Kemudian berusaha duduk kembali di tempat tidur yang terlihat serba putih ini. “A-aku di mana Kak?” tanyaku pada lelaki asing itu. “Kamu... Kamu di rumah sakit. Tadi, kamu pingsan karenaku yang berkendara tidak hati-hati!” Kucoba mengingatnya kembali kejadian sebelumnya. Tadi waktuku dari rumah Mas Rustam, pas di perempatan lampu merah diriku tak fokus memperhatikan rambu-rambu. Sehingga, diriku tertabrak oleh mobil. Setelah itu aku lupa semuanya. “ Berarti mobil Agya itu... Mobil kakak?” tanyaku pada lelaki yang berhidung mancung dan me
Segera kubaringkan tubuhku untuk beristirahat kembali. Tangisan yang tak bisa kutahan akhirnya pecah juga. Beberapa saat kemudian Ibu datang masuk ke kamar di tempat aku dirawat. Di peluknya diriku disusul tangisannya. “ Bu, Rianti tidak apa-apa! Sudah, Ibu tenang saja, Dokter Gilang sudah membawaku kemari untuk mendapatkan perawatan lebih.” Kubalas pelukan Ibu dengan hangat. “Sudah Ibu bilang padamu kan, kamu tak usah ikut campur masalah Ibu dan orang tua Rustam. Ibu juga masih bisa cari pekerjaan lain jika mereka sudah tak mau menerima Ibu lagi.” Tangan Ibu yang lemah segera melepaskan pelukannya. “ Bu, Siapa yang mau terima Ibu kerja kalau sudah tua? Rianti mohon bertahanlah sampai Rianti mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi kebutuhan keluarga kita!” bujukku pada Ibu. “Jadi, Ibu ada harapan untuk kerja kembali jadi buruh cuci pada Bu Melati?” tanya Ibu padaku.“ I- Iya, Bu. Rianti berusaha yang terbaik untuk keluarga kita. Aku juga sudah berjanji untuk putus den
Sore ini Rianti sudah bisa dinyatakan pulang oleh dokter. Tak lupa pula dirinya segera berpamitan pada dokter Gilang. “Terima kasih Pak, sudah baik pada Rianti selama di rumah sakit.” Meskipun masih dalam keadaan pucat Kedua lesung pipinya menambah kecantikannya saat tersenyum. “Sudah seharusnya...aku memperhatikanmu selama di sini Rianti! Karena, diriku yang berkendara kurang hati-hati sehingga aku mencelakakanmu,” ucap dokter Gilang.“Ow ya Pak Dok! Kami permisi dulu.” Rianti dan Ibunya segera keluar dari ruangan bersiap untuk pulang. “Kalian mau naik apa pulang ke rumah?” tanya Dokter Gilang. “Ka-kami mau... naik taksi saja Pak,” jawab Rianti“Aku antar ya! Kalau sore begini taksi sudah jarang ada yang lewat, takutnya kalian keburu malam” bujuk Gilang. “Tapi Pak..., “Tak usah malu, ingat kamu sampai begini karena aku yang berkendara kurang hati-hati. Jadi, kuharap kamu tidak menolak permintaanku.” Kali ini Gilang tak mau dengar alasan dari Rianti lagi. “Iya sudah kalau begit
Tak terasa waktu pagi telah tiba. Rianti terbangun. Dilihatnya jam di ponsel menunjukkan pukul setengah enam pagi. Masih ada waktu untuk menunaikan ibadah dua rakaat.Kini dirinya bersiap-siap menghadapi sang Ilahi. Setelah itu dilihat kembali ponselnya. Tampak ada pesan masuk di aplikasi hijau. “Sudah bangun, Nti?” Rianti yang melihat pesan masuk itu tampak heran. Apakah Dokter Gilang tak takut diketahui oleh istrinya?” batinnya. Rianti hanya membaca pesan itu. Kali ini diabaikannya lagi. Karena dirinya mengira dokter Gilang sudah beristri. Takut dicap perebut laki orang. Tak berselang lama kemudian Dokter Gilang meneleponnya kembali. Rianti yang melihat nama itu di layar ponsel segera mengangkatnya meskipun ada rasa malas. “Assalamualaikum Pak Dokter!” sapanya“Waalaikumsalam, bagaimana keadaannya?” tanya Dokter Gilang“Alhamdulillah Baik, Pak Dokter tidak takut ketahuan sama istrinya menghubungiku pagi begini?” “Apa? Istri? Menurutmu... Apakah aku mirip dengan pria yang sud
“ Ibu!”Gilang segera melepaskan pelukannya. “ Bu, Pao- Pao anak Ibu.” Serentak Bu Melati terdiam kaget mendengar Gilang menyebutkan nama kecilnya. “Apakah Ibu tak merindukan Pao Bu.” Kini Gilang tenggelam di pelukan Bu Melati.Tangisanny pecah, ketika anak dan Ibu yang sudah terpisah puluhan tahun lamanya kini dipertemukan dalam keadaan seperti ini. “Ma-maafkan Ibu Nak! Bukan maksud Ibu yang tega menelantarkan kamu. Tapi... Ayahmu sudah tak menginginkan kehadiranku.” Kini kedua Ibu dan Anak tersebut larut dalam pelukan . “Bu, Gilang kangen dengan Ibu. Setiap malam Gilang sering mimpikan Ibu. Hari ini mimpi Gilang jadi kenyataan.” Tangisannya semakin pecah ketika Gilang mengutarakan isi hatinya. Bu Melati semakin mendekap Gilang dalam pelukannya. Selama ini Karena keegoisannya dia sampai lupa bahwa dirinya masih mempunyai satu anak lelaki yang tak dianggapnya ada.Beberapa saat kemudian pelukan anak dan Ibu yang baru bertemu itu terhenti oleh kedatangan perawat yang masuk ke da
“ Ayo masuk, aku mau mengantarkan pasienku. Sejak tadi dia ditinggal suaminya dan pergi bertemu wanita lain.” Ditatapnya wajah Gilang sambil menjelaskan apa yang dialaminya tadi.“ Rustam meninggalkan Rianti demi si Alya, aduh mana dia pakai mobilku lagi.” Ditepuk jidatnya sambil menahan kesalnya.“ Ayo masuk nanti kita jelaskan di dalam mobil saja, aku kasihan sama wanita yang diperlakukan oleh suaminya seperti ini. Apalagi, dia bawa bayi kembar,” ujarnya sambil fokus menyetir.“ Lelaki yang menjadi suaminya adalah adikku Bro, kami seibu tapi sejak kecil aku tak dibesarkan bersamanya,” jelas Gilang meyakini temannya itu.“ Oh, jadi kita harus ke mana dulu apakah mencari mobil kamu atau mengantarkan Rianti dulu?”“ Aku...aku mau pulang ke rumah Bu Melati saja Mas, kasihan kedua anakku jika harus mengikuti kalian mencari Mas Rustam,” pinta Rianti.“Baiklah, sebagai saudara Rustam aku sangat malu melihat tingkahnya yang kekanakan itu. Seharusnya dia bertanggung jawab dengan apa yang dil
iiiihhh, berisik. Awas ya, jika dalam waktu lima belas menit dari sekarang kamu tidak kembali ke mobil, aku akan tinggal pergi. Kamu pulang dengan jalan kaki saja.” Dimatikan teleponnya, kemudian menelepon Alya yang sejak tadi merajuk akibat lebih memilih mengantarkan Rianti dari pada pergi kepadanya.“ Al, ma- maaf ya. Aku...”Belum sempat meneruskan pembicaraannya Alya langsung memotong pembicaraannya.“ Aku tak butuh permintaan maafmu Mas, sekarang putuskan saja, kamu memilih Rianti atau kamu kesini antar aku ke rumah sakit. Sejak kemarin aku kurang enak badan Mas,” ungkapnya sambil memegang perutnya yang selalu mual itu.“ Tunggu sedikit lagi ya sayang. Aku...aku pasti kena marah Ibuku jika mengabaikan Rianti. Dia juga istri sahku. Jangan buat aku bimbang diantara dua pilihan.” Digaruk Kepalanya yang tidak gatal itu karena kebingungan.“ Terserah kamu Mas. Aku lelah menghadapi sikapmu ini. Nanti aku minta tolong diantar si Rocky saja ya,” balasnya karena kesal dengan sikap Rustam.
Memang benar, kata orang. Kita dihargai Jika kita punya harta,” batinnya Tanpa berpikir panjang lagi dirinya segera pergi meninggalkan tempat itu. Tanpa diketahui oleh Rianti dan dari pihak keluarga Rustam. Sesakit inikah rasanya, ketika harus mempunyai besan dan menantu dari keluarga kaya. Kukira aku akan dihargai, namun tidak sesuai apa yang diharapkan. *** “ Mas, Hasan anak kita sakit. Bisakah aku diantar ke rumah sakit?” pinta Rianti ke Rustam. “ Aku tak bisa, suruh saja kang Asep antar ke sana,” balas Rustam yang masih berbaring di tempat tidur. “ Mas, Aku tak bisa jika harus dengan Mas Asep ke sana. Siapa yang bantu aku jaga Husein Jika ke sana bersama Mas Asep?” “ Kamu bisa mengerti aku tidak, aku masih capek karena resepsi pernikahan kita kemarin. Pergilah bawa anakmu itu aku masih lelah.” Ditariknya selimut kemudian tidur kembali. “Astagfirullah!" Rianti hanya menggelengkan kepalanya karena marah pada Rustam saat ini tak ada gunanya. Rustam yang semakin
Bu- bukan itu maksud saya Bu. Saya hanya...” “Hanya apa? Mundurlah sesukamu. Tapi kembalikan uangku yang sudah rugi karena terlanjur mempersiapkan semuanya.” Rianti hanya terdiam menahan kecewa atas ulah calon mertuanya itu. Dirinya tak berani menatap wajah kedua mertuanya yang saat ini berdiri di hadapannya. “ Rianti! Apa yang terjadi padamu? Kenapa ingin mundur dari pernikahan ini,” ucap Pak Haikal sambil memegang bahu Rianti . “ A-anu Pak, tadi saya mendapatkan informasi kalau Mas Rustam sekarang lagi tinggal bersama Alya di sebuah apartemen. Mas Gilang yang bilang ke aku barusan,” jelasnya. “ Baiklah jika itu yang membuat kamu kecewa. Tapi, sebagai calon mertua kamu, sekali lagi bapak mohon jangan segampang itu mengatakan mundur. Buat kami yakin dengan kemampuanmu untuk menjadi istri Rustam.” “ Baiklah pak, semua ini aku lakukan masih bertahan hanya demi Hasan dan Husein agar mereka bisa punya Ayah,” ujarnya kemudian berpaling menghadap ke putra kembarnya. Rasanya
Kemudian perawat itu segera keluar dari ruangan tempat bersalin Bu Lasmi. Setelah memastikan semuanya aman, Bu Lasmi diam-diam keluar dari ruangan tempatnya dirawat. Dirinya segera menuju ke kamar bayi. Matanya yang liar ke sana-kemari hanya untuk memastikan semuanya aman. Kemudian, segera mencari bayinya dan bayi Bu Melati untuk ditukar olehnya Tangannya yang masih lemah, berusaha menggendong kedua bayi itu , secepat mungkin dirinya beraksi untuk ditukar olehnya. Terdengar suara langkah kaki dari luar menuju ke kamar bayi. “Ibu mau apa di sini?” ucap salah seorang perawat yang berdiri di depan pintu. “ Oh, sa- saya hanya rindu ingin bertemu anak saya Bu,” jawab Bu Lasmi seraya berbalik ke arah perawat yang berdiri di pintu. “Bu, tidak seorang pun yang bisa masuk ke ruangan ini kecuali perawat. Meskipun, Anda adalah seorang pasien harus sepengetahuan dari pihak rumah sakit dulu baru diizinkan masuk ke sini,” jelas salah satu perawat tersebut dengan tegas. “ Ma- maaf Bu, sa
Urus dulu nasibmu Nak. Pastikan kedua anakmu memiliki identitas punya Ayah selanjutnya kamu berpikir bagaimana cara yang terbaik,” balas Ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. “ Baiklah Bu, jika ini permintaanmu. Akan Rianti lakukan meskipun saat ini Rianti sudah lelah menghadapi keluarga Mas Rustam. Tapi, Rianti akan berusaha tegar demi kedua anakku,” jawab Rianti berusaha kuat. “ Kamu pulanglah. Bersikap biasa saja ketika menghadapi mereka. Semoga kamu kuat ya Nak.” “ Baiklah Bu, terimakasih selalu ada untuk Rianti. Besok Rianti berkunjung lagi kemari.” Dipegangnya tangan Ibunya yang masih lemah itu. “ Cucu lembar Ibu mana?” tanya Bu Lasmi tiba-tiba “ Oh, mereka sudah tidur Bu. Aku, menyuruh Bik Tum dulu untuk menjaga mereka,” jawabnya Kedua Ibu dan anak itu saling berpelukan untuk saling menguatkan. Tak lupa pula Rianti pamit ke Gilang agar bisa menjaga Ibu. Seperti pesan Ibunya ketika sampai di rumah keluarga Rustam dia bersikap seperti biasa tanpa peduli tatapan mereka ya
Rianti yang sudah berada di rumah sakit segera masuk ke ruangan Ibunya dirawat. Sementara di sampingnya ada sosok Dokter Gilang yang masih setia menemani. “ Bu, ini Rianti. Kumohon bangunlah!” ujarnya sambil memeluk tubuh Ibunya yang terbaring tak sadarkan diri.“Bu, Rianti mohon sadarlah!” Isak tangisnya membuat seisi ruangan yang awalnya sepi kini menjadi ribut. Perlahan Gilang merangkulnya untuk saling menguatkan. “Rianti, sabar. Semua sudah sesuai kehendak Tuhan. Saat ini, Ibumu perlu istirahat. Pulanglah, ke rumah calon keluarga barumu,” perintah Gilang.“ Ta-tapi Mas, Aku...” “Pulanglah! Kamu tak perlu ragu dengan keadaan Ibumu. Dia hanya mengalami sedikit luka lebam akibat jatuh di lantai licin.” “ Mas, aku titip Ibu ya. Insya Allah besok Rianti balik lagi kemari.” Ditinggalkannya Gilang yang masih setia menemani Ibunya. “Besok, jika dirimu kemari bawalah Hasan dan Husein, sejak kamu pergi meninggalkan rumah Ibu sering bercerita bahwa dia merindukan kedua cucu kembarnya
Ricko yang merasa kesakitan segera pergi mencari tempat persembunyian yang aman.Dari lantai dua Rustam segera turun ke lantai satu untuk mencari sosok kucing yang bersuara manusia sempat meresahkan dirinya tersebut.Namun, usahanya itu segera dicegat oleh Alya yang tiba-tiba saja memeluknya dengan erat dari belakang.“Sudahlah Mas, tidak usah pedulikan suara itu. Ayo, apakah Mas tidak rindu padaku.” Bisikan Alya tepat ditelinganya semakin membuat hasrat li***onya memuncak. Sehingga Rustam sulit menolak ajakan Alya.Sementara di tempat lain Rianti sedang disibukkan mengurus kedua putra kembarnya. Nampaknya Hasan dan Husein makin suka dengan kehadiran Bu Melati.“Rianti, sebentar kami akan pergi menyiapkan semua keperluan kamu dan Rustam yang akan menikah. Nanti, Hasan dan Husein dititip ke Mpok Iyem saja ya,” ucapnya sambil memegang pundak Rianti.“Ba- baik Bu.” Dianggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.“ Kita tunggu saja sampai sore, jika Rustam belum kembali nanti kamu sama Jing
“ Nit, sekarang aku lagi di depan Villa tempat kalian berada. Bolehkah aku masuk?” Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau ponsel Anita.Anita yang saat itu sedang asyik memainkan ponselnya tersentak kaget melihat pesan dari Rustam.“ Aduh Mel, gawat!” Sambil memegang kepalanya yang tidak pusing itu.“Kenapa Nit? Apanya yang gawat?” Tiba-tiba Melsi keheranan melihat tingkah Anita.“Rustam sekarang ada di luar Villa ini. Sementara Alya di dalam lagi tidur bareng Ricko. Kita harus bagaimana?” ucap Anita yang kemudian berdiri mondar mandir di ruang tengah.“Begini Nit, alangkah baiknya kita harus beritahu mereka di dalam. Jangan sampai ketahuan Rustam.” Keduanya segera mengetuk pintu kamar Alya dari luar. Namun, tetap saja Alya dan Ricko tak mendengar.“ Mel, kita buka saja pintunya yuk! Siapa suruh tidak dengar teriakan kami,” ujar Anita yang bersiap membuka pintu kamar Alya.“Aduh Nit, jangan sampai si Alya marah cuma karena tingkah konyol kami ya. Coba teriak lagi.“Alya! Alya! Di luar