"Lukamu ... benar-benar menghilang."Luke langsung menurunkan lengan bajunya yang digulung. Ia merasa tidak nyaman dengan tatapan Galiard yang begitu mengintimidasi. Secepat mungkin ia memutar otak untuk mengalihkan perhatian pria tersebut."Bagaimana kalau Tuan mengajari saya teknik berpedang yang lain?" tanya Luke.Galiard langsung mengalihkan tatapannya ke arah Luke. "Kau tertarik?""Saya harus menguasai banyak teknik jika ingin menang," jelas Luke.Galiard tersenyum miring. Ia cukup puas mendengar jawaban Luke. Sebab dengan keinginan menang, menandakan kalau Luke ingin tetap bertunangan dengan Caroline.Galiard mengajari cukup banyak ilmu pedang yang diketahuinya. Luke sempat tidak menyangka kalau di zaman modern ini ada orang yang begitu ahli menggunakan pedang. Kemampuan Galiard hampir menandinginya. Padahal Luke termasuk Kesatria dengan kemampuan berpedang tingkat tinggi. Bahkan dengan kemampuannya, Luke bisa seorang diri membereskan naga inferno."Kau mau minum sesuatu?" tanya
"Siapa pun orangnya, tidak akan aku biarkan lolos! Itu janjiku di atas uang 100 juta Leu!" ujar Robert.Luke tersenyum puas. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya menatap lampu besar yang menggantung di langit-langit restoran tersebut."Christoper Brandon. Aku ingin kau mencari orang itu," ujar Luke.Robert membulatkan matanya. "Tu-tunggu! Kenapa kau mau mencari beliau?""Sebenarnya aku bukan ingin mencari Christoper Brandon. Hanya saja aku butuh jangkauan yang luas untuk bisa menemukan orang ini."Robert memicingkan matanya menatap lurus Luke. Ia sedikit menggeser kursinya agar semakin dekat. Lalu ia memajukan wajahnya."Apa dia mafia?" bisik Robert."Dia pembunuh yang punya kekuatan magis," jawab Luke.Wajah Robert langsung memucat. Ia kembali teringat dengan awal pertemuannya dengan Luke. Sebelumnya ia hanya pernah bertemu dengan satu orang yang sekuat itu, tapi ternyata di luar sana masih banyak orang yang memiliki kekuatan serupa."Sebenarnya ada berapa banyak orang
"Ciel!!"Tubuh Ciel langsung terhempas ke belakang saat peluru berhasil bersarang di perutnya. Luke yang masih belum diketahui tempat persembunyiannya mencoba untuk tenang. Ia membidik salah satu yang paling dekat dengannya.Ku mohon ... harus kena! batin Luke.Dor!Luke membulatkan matanya saat peluru itu mengenai tepat di leher bagian belakang pria tersebut.Satu orang tumbang, Luke langsung mencari tempat persembunyian baru. Dua orang lainnya berjalan cepat ke arah rekannya yang sudah tergeletak berlumuran darah. Dengan posisi siap menyerang, telunjuk mereka sudah siap di pelatuk. Mata mereka menyapu layaknya gagak di malam hari. Bahkan dedaunan yang tertiup angin, sudah berada dalam pengawasan mereka."Berpencar!" titah salah satunya.Luke memejamkan matanya agar indera pendengarannya semakin menajam. Dari arah kanan dan kiri, langkah terdengar seirama. Semakin lama semakin dekat ke tempat persembunyiannya.Tembak satu orang, lalu mencari tempat belindung! batinnya.Luke menggulun
Luke tiba di depan rumah tepat tengah malam. Suasana sudah sangat sepi. Hanya ada petugas jaga yang hampir mirip dengan patung. Bahkan saat disapa, mereka hanya menunduk.Semilir angin menemani Luke begitu menyusuri koridor panjang menuju ke ruang utama. Begitu tiba di sana, tanpa sengaja ia menangkap siluet di tengah gelapnya ruangan berdiri di dekat jendela.Perlahan Luke mendekati siluet itu. Semakin dekat, ia mulai mengenalinya sebagai sosok Caroline. Rambutnya dibiarkan tergerai ditiup angin. Namun ada yang aneh."Caroline?" panggil Luke dengan lembut.Gadis itu menoleh. Matanya sudah membengkak dan wajahnya pucat. Detik berikutnya ia langsung memeluk Luke dengan erat."Kenapa baru pulang?" tanya Caroline.Luke menunduk, sebelah tangannya bergerak mengusap kepala gadis itu. Ia tidak menjawab. Justru semakin mengeratkan pelukannya."Joan."Luke mendeham pelan sebagai jawabannya."Kamu tidak menjawab pertanyaanku," ujar Caroline lagi.Luke semakin mengeratkan pelukannya. Ia bisa me
Luke memasang topi baseball hitamnya dengan jantung berdegup cepat. Ia tidak menyangka kalau Christoper Brandon masih mengira anak buahnya hidup. Ia bahkan mengajak bertemu anak buahnya di sebuah bar yang menjadi basecamp kelompoknya."Ciel, kau bisa mendengarku?" bisik Luke melalui earphone yang terpasang di telinganya."Sangat jelas.""Aku berangkat sekarang. Tugasmu hanya memberitahuku identitas orang-orang di sana.""Kau yakin penyamaranmu akan berhasil?" tanya Ciel.Luke tersenyum miring. "Aku bertaruh mereka belum pernah bertemu.""Kalau begitu, semoga berhasil, Kesatria Luke!""Jangan panggil aku begitu."Luke langsung mengarah ke sebuah mobil yang sudah disiapkan beserta sopirnya. Ia mengetuk kaca mobil bagian depan tepat di kursi kemudi. Kaca itu langsung turun dan menampakkan pria paruh baya berusia hampir setengah abad."Anda bisa mengantar saya ke Freddi Bar?" tanya Luke.Sopir itu menunduk. "Kalau pergi ke bar, saya harus minta izin pada nona."Luke mendesis pelan. Walau
Luke dan Klosa memarkir mobil sedikit lebih jauh dari lokasi yang disebutkan oleh Ciel. Rupanya selama ini Christoper Brandon menyembunyikan dirinya di Apartemen Luxury Bucharest."Klosa, kau bisa menggunakan pistol?" tanya Luke.Klosa mengangguk, tentunya sudah cukup untuk membuat Luke puas. Ia langsung dihadiahi sebuah pistol semi otomatis yang entah bagaimana bisa dimiliki oleh pria tersebut."Tetap berjaga di belakang."Keduanya berjalan santai memasuki lobby apartemen tersebut. Klosa juga sudah menyembunyikan senjata apinya di dalam baju. Sebisa mungkin Luke menghindari kontak mata dengan setiap pengunjung di sana. Sebab menurut pesan yang dikirim Ciel, semua orang di sini bisa jadi terlibat langsung dengan Christoper Brandon."Kau lewat tangga darurat. Kita bertemu di lantai 3," bisik Luke.Seperti biasa, Klosa mengangguk patuh. Mereka berpisah tepat di depan lift. Luke masuk ke salah satunya, sementara Klosa berjalan cepat menuju tangga darurat.Selama berada di lift, Luke bisa
Klosa merasa kerongkongannya begitu kering. Apalagi saat satu gelas whiski sudah disodorkan padanya. Ia tidak bisa bergerak sama sekali, bahkan untuk sekedar menoleh ke arah Christoper Brandon. Padahal saat ini mereka duduk bersebelahan."Setelah kalah, temanmu yang tadi mengantar makanan akan langsung kami habisi," ujar Christoper.Klosa mengangguk kaku. Keringat dingin sudah membanjiri wajahnya. Ia benar-benar merasa seperti akan mati.Perlahan Klosa mendekatkan gelas ke bibirnya. Christoper dari samping nampak geram hingga mendorong paksa isi gelas itu hingga masuk ke dalama mulut Klosa. Sontak semua yang ada di sana bertepuk tangan."Wah! Anda memang hebat! Habis dalam sekali teguk!"Klosa tersenyum kaku. Ia bisa melihat gelas Christoper juga sudah kosong. Kini sudah gelas kedua. Kali ini mereka mencampur whiski dengan vodka. Klosa dipersilakan minum terlebih dahulu.Begitu alkohol masuk ke kerongkongannya, ia merasa seperti terbakar. Rupanya campuran alkohol itu sangat kuat hingg
"Tunggu apa lagi? Cepat ikat dia." Ketiga pria itu perlahan mendekati Christoper yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Luke mengambil tali dari bawah meja. Sebenarnya tali itu dibawanya dari belakang lemari. "Ikat kaki dan tangannya. Jangan sampai terlepas!" titah Luke. Ketiganya mengangguk dengan ketakutan. Mereka mulai membagi tugas. Sambil menunggu, Luke mengambil ponsel dari sakunya. Ia mendesis pelan begitu mendapati cukup banyak panggilan dari Galiard dan Caroline. "Jangan bilang, ada jadwal latihan?" gumam Luke. Brak! Ponsel di tangan Luke langsung terhempas ke lantai. Begitu menoleh, ketiga pria itu sudah tersungkur tidak sadarkan diri. Kini di sampingnya, sosok Christoper Bran berdiri tegak. Raut wajahnya benar-benar mengerikan, sorot matanya seperti mengeluarkan petir. "Bajingan kecil ini," gumam Christoper. Luke menatap pria itu dengan sorot tajam. Ia sudah bersiap dengan kuda-kuda dan pisau lipat di tangannya. Mata pisau itu sudah berlumuran darah. Tentu saj