Share

Chapter 4

Author: Author newbie
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aruna membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa berat karena minum semalaman bersama Liza. Hingga pagi menjelang tidak terdengar suara Ayara memanggilnya, padahal Ayara biasa membangunkannya dan selalu menyuruhnya olahraga pagi untuk menjaga berat badan.

Aruna turun ke lantai bawah dan pergi ke dapur, setiap bangun tidur pagi Aruna selalu menyempatkan diri untuk minum air putih sebelum melanjutkan aktifitasnya.

"Bi, mamah kemana." tanya Aruna.

"Gak tau non, dari kemarin Ibu gak pulang, terakhir si bibi liat dia pergi bawa koper kecil gitu."

Aruna berdecak, ia tau persis kalau Ayara kabur menghindarinya. Aruna tau kalau mamahnya itu tidak mau sedikitpun dilibatkan dalam masalahnya, padahal jika untuk urusan uang Ayaralah yang paling getol mendampinginya meskipun uang dari jalur yang tidak baik. Aruna kembali ke kamarnya, dan merebahkan diri di sebelah Liza. Pikirannya masih menerawang soal kejadian memalukan kemarin, bisa-bisanya ia kepergok orang tua Kastara dan salah target dalam menjalankan rencananya.

Aruna membuka sosial medianya dan mencari akun milik Anggasta, namun tidak ia ketemui satupun akun milik Anggasta. Bahkan di pertemanan Kastara pun tidak ada.

"Ini orang hidup di zaman apa sih? masa sosial media aja gak punya," gerutunya.

"Berisik banget sih Na, aku masih pusing nih." Liza menggeliat dan menendang bokong Aruna.

"Hih, sakit tau. Pulang gih istirahat di rumah kamu sendiri!" Aruna balik menendang bokong Liza hingga tersungkur ke lantai.

Ponsel Aruna berdering, ada satu nomor tidak dikenal memanggilnya. Aruna tidak langsung menjawab panggilan telepon itu, dan malah bengong memikirkan siapa pemilik nomor yang tengah memanggilnya.

"Aruna! angkat itu teleponnya," Liza menepuk bahu Aruna agar ia tersadar dari lamunannya.

Segera Aruna menekan tombol warna hijau di ponselnya, ternyata ayah Kastara yang menelponnya menggunakan handphone milik Anggasta.

"Iya pak, bisa. Jam dua tepat saya pasti udah disana," jawabnya cepat.

Aruna memutus panggilan teleponnya dan segera bersiap mandi agar terlihat rapih, kali ini ia harus berpakaian sopan untuk memperbaiki imagenya yang sudah luluh lantak kemarin.

"Mau ketemu siapa sih?" tanya Liza penasaran.

"Ketemu orang tuanya Kastara," sahutnya sembari berdandan.

"Hah? jadi rencana kamu berhasil Na?"

"Enggak Liz, gagal."

"Terus kamu mau ngapain ketemu orang tuanya Kastara?" Tanyanya lagi sambil menyeruput jus buah kemasan.

"Mau dinikahin sama kakaknya Kastara," jawab Aruna.

Liza terkejut setengah mati, sampai-sampai jus yang ada di dalam mulutnya terhambur keluar dan untungnya tidak mengenai Aruna.

"Jorok banget ish, Liza!"

"Kamu lagi ngelawak apa gimana si Na? kok bisa dinikahin sama kakaknya Kastara?"

"Panjang ceritanya, yang jelas aku niatnya jebak Kastara eh malah kakaknya yang kejebak. Jadinya dinikahin deh sama kakaknya Kastara,"

"Astaga, hidup kamu complicated banget." Liza berlalu dan pergi ke dapur untuk mengambil jus lagi.

Aruna sudah siap dan saatnya pergi menemui kedua orang tua Kastara, mereka akan bertemu di cabang restoran milik ayah Kastara.

*****

Aruna pergi ke restoran milik ayah Kastara dengan menggunakan taksi online, ia belum mampu menyetir sendiri karena kepalanya masih terasa sedikit pening. Tadinya Liza ingin menemani Aruna, tapi ia urungkan karena merasa itu adalah urusan pribadi antara Aruna dan keluarga Kastara.

Restoran ayah Kastara merupakan resto yang menyediakan aneka masakan khas Indonesia, ayah Kastara adalah seorang chef yang hobinya travelling ke seluruh daerah di Indonesia. Itu sebabnya ayah Kastara tau berbagai jenis makanan khas di tiap daerah, dan nekat membuka resto dengan keahlian memasaknya.

Saat memasuki restonya wewangian rempah langsung merasuk ke dalam hidung Aruna, perut Aruna jadi semakin keroncongan mengingat ia juga belum makan sedari kemarin karena galau. Aruna di persilahkan masuk ke ruangan pribadi Rajasa, karena ini urusan penting dan Rajasa tidak dapat meninggalkan pekerjaannya mau tidak mau mereka berunding di ruang pribadinya yang ada di restoran.

Aruna tercengang, ia kira di ruangan ini hanya ada dirinya dan keluarga inti Rajasa. Ternyata ada tiga orang tambahan yang merupakan kakak dan adik dari ayah Kastara, mereka memaksa ikut berunding karena penasaran dengan perempuan yang akan dinikahi oleh seorang Anggasta. Cucu kesayangan dari Arundaya, kakek kandung Anggasta Danadyaksa Arundaya.

"Eh, kok rame ya?" ucap Aruna seraya mengintip dari balik pintu.

Ada Anggasta disana namun tidak ada Kastara, ia nampak cuek dan dingin bahkan menatap Aruna saja tidak.

"Tidak apa Aruna, mereka kakak dan adik saya." sahut Rajasa.

Rajasa celingukan seperti mencari sesuatu di belakang Aruna, melihat Rajasa celingukan Aruna malah ikut-ikutan mencari yang ia sendiri tidak tau apa yang sedang di cari.

"Tidak ada yang mendampingi kamu Aruna?" tanya Rajasa kebingungan.

"Enggak ada pak, emang harus pakai pendamping ya?" Aruna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kita kan ingin membicarakan rencana pernikahan kamu dan Anggasta, harus ada orang yang lebih tua untuk mendampingi kamu mengambil keputusan Aruna."

"Tapi saya gak punya siapa-siapa pak, ayah saya sudah meninggal. Mamah saya gak tau kemana," Aruna tertunduk malu.

Rajasa menghela nafas, "Kamu sebantang kara?"

Aruna mengangguk, sebenarnya ia tidak sebatang kara. Tetapi karena ia hanya anak dari istri kedua, dan setelah ayahnya meninggal ia dibuang oleh keluarga ayahnya bahkan tidak diakui sebagai anggota keluarga mereka.

"Baiklah, kalau gitu semoga kamu paham dengan apa yang nanti akan saya bicarakan." ucap Rajasa.

Tidak banyak penjelasan yang Rajasa berikan, karena Rajasa takut Aruna tidak akan mengerti. Yang jelas semua urusan pernikahan ada di tangan keluarga Rajasa, Aruna hanya perlu melakukan persiapan sebelum menikah. Aruna ingin sekali memilih gaun pernikahannya dan juga dekor yang sesuai impiannya, namun Aruna sadar diri dan harus rela menahan semua keinginannya.

Ada banyak perdebatan antara Rajasa dan ketiga saudaranya, membuat pening Aruna semakin menjadi-jadi karena melihat mereka berdebat. Anggasta melirik sedikit ke arah Aruna, ia ingin tertawa melihat wajah Aruna saat ini. Aruna menatap mereka kebingungan dengan mulut sedikit menganga, ia mencoba mencerna setiap ucapan yang di perdebatkan ayah Kastara juga om dan tantenya.

"Aruna, ayo ikut saya keluar." ajak Anggasta.

"Tapi kita belum selesai berunding, liat tuh pak Rajasa aja masih berdebat sama om dan tante kamu mas." sahut Aruna.

"Udah selesai kok, tinggalin aja. Ayo ikut saya makan siang,"

Aruna mengangguk dan segera mengikutinya keluar, sebenarnya ini tidak bisa disebut dengan makan siang karena hari juga sudah menjelang sore. Anggasta menyuruh seorang waitress untuk membawakan makanan yang paling spesial, Anggasta memilih meja yang berhadapan dengan laut karena Anggasta suka melihat pemandangan laut saat makan.

Tidak butuh waktu lama, makanan yang Anggasta pesan sudah datang. Ada tujuh jenis makanan yang mereka sajikan di atas meja, air liur Aruna serasa berseluncur di dalam mulutnya saat melihat tujuh hidangan lezat yang ada di depan matanya.

Seperti biasa, sebelum makan Aruna selalu mendokumentasikan makanan lewat foto terlebih dahulu. Anggasta sedikit kesal karena ia sudah sangat kelaparan, tapi masih harus menunggu Aruna selesai memotret hidangan. Penderitaan Anggasta akhirnya berakhir, Aruna selesai memotret hidangan dan ia siap menyantap seluruh makan lezat tersebut.

Related chapters

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 5

    Aruna memegangi perutnya yang terasa begah, belum pernah Aruna makan sebanyak ini dan kalau sampai Ayara tau ia bakal dimarahi habis-habisan. Dari sekian banyak menu yang Anggasta minta, ia hanya memakan dua jenis saja. Anggasta cukup takjub melihat selera makan Aruna yang begitu banyak, padahal ketujuh jenis makanan itu biasa dipesan untuk 3-4 anggota keluarga. "Kenyang?" tanya Anggasta. Aruna mengangguk, ia tengah memikirkan berapa banyak kalori yang masuk ke tubuhnya dan berapa lama olahraga yang harus ia lakukan. Dan yang paling memenuhi pikirannya saat ini adalah siapa yang akan membayar semua makan ini. "Ya sudah saya pamit," ucap Anggasta. "Eeee tunggu mas, ini siapa yang bayar?" tanya Aruna, "Ini semua gratis," jawabnya. "Makasih mas Anggasta," Aruna menampilkan cengirnya lebar. Anggasta melenggang pergi, tidak ada senyum sejak pertama mereka bertemu hingga kini. Selesai sudah urusan Aruna disini, saatnya ia kembali ke Yvaine untuk jadwal pemotretan dengan merek pakaian

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 6

    Anggasta membuka aplikasi peramban di ponselnya, Anggasta berniat mencari tahu tentang Aruna lewat internet padahal kalau mau ia bisa mencari tahu lewat Kastara. Banyak berita negatif tentang Aruna yang tersebar di internet, apalagi berita terbaru tentang skandalnya. Anggasta mengalihkan pencariannya ke informasi pribadi Aruna, hanya sedikit informasi tentangnya yang ditulis di internet namun Anggasta terkejut saat mengetahui kalau Aruna kuliah di kampus tempat ia mengajar. Anggasta memang baru mengajar disana, dan mungkin Aruna juga bukan mahasiswi yang ia ajar. Tapi Anggasta pernah mendengar kalau ada mahasiswi yang diberi julukan 'Dewi Aphrodite' Universitas Surya Cakra, mahasiswi itu terkenal karena kecantikannya tapi juga terkenal karena berita negatifnya. Cukup bagi Anggasta untuk mencari tahu tentang Aruna, karena Anggasta juga sebenarnya tidak terlalu mempercayai berita yang tersebar di internet. Seharusnya dua hari kedepan adalah hari pertunangan Aruna dan Anggasta, agar ti

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 7

    Anggasta mengelilingi seluruh sudut kampus untuk mencari keberadaan Alana, tapi sayangnya Alana hari ini sedang libur mengajar dan pulang ke rumah orang tuanya. Anggasta melirik arloji di tangan kirinya, lima belas menit lagi waktunya Anggasta mengajar dan ia tidak bisa meninggalkan tugasnya. Selama mengajar pikiran Anggasta sama sekali tidak fokus, banyak kesalahan yang ia perbuat bahkan sampai penyampaian materipun ia salah. "Pak, kalau memang keadaan bapak sedang tidak baik gak apa kok kalau kelasnya di undur aja." saran seorang mahasiswa. Dengan berat hati Anggasta menyudahi pelajaran hari ini, beberapa murid ada yang senang dan beberapa lagi ada yang kecewa karena mereka memang sedang mengejar materi kuliah. Anggasta segera pergi menuju ke parkiran mobil, tapi ternyata ada seseorang yang tengah menunggunya tepat di depan kap mobilnya. "Hai, kamu Anggasta kan?" sapa Liza. "Iya, ada apa ya?" "Saya Liza, kedatangan saya kesini ingin memberitahukan soal konferensi pers yang aka

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 8

    Aruna merapihkan kerah kemeja Anggasta yang terlihat sedikit berantakan, mereka harus tampil perfek di depan kamera meskipun semuanya hanya sandiwara. Aruna memakai dress selutut berwarna peach, sedangkan Anggasta memakai setelan celana bahan berwarna krem dan juga kemeja berwarna biru soft. "Lima menit lagi konferensi pers di mulai, tolong jangan buat kesalahan saat wawancara nanti." titah Theana. "Oke mi, aku dan mas Anggasta bakal keluarin statement terbaik ke media." Anggasta gugup, ia terus-menerus menarik nafas lalu membuangnya untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Na, aku gak perlu hapalin skrip gitu buat wawancara nanti?" tanyanya. Aruna tertawa mendengar pertanyaan Anggasta, "Kita bukan mau syuting mas, buat apa pake skrip." "Jadi aku harus jawab spontan gitu?" "Iya dong lagian tenang aja mas, urusan itu biar serahin aja ke aku. Aku bakal oper jawaban ke mas yang menurut aku mudah dan bisa mas jawab," Anggasta mengangguk, dan kini waktunya konferensi pers di mulai. Kila

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 9

    Aruna kini tengah sibuk mengacak-acak isi lemarinya dan mengeluarkannya tanpa rasa bersalah, sedangkan di sudut ruangan ada Imah yang tengah melirih karena melihat pakaian-pakaian itu berserakan tidak beraturan. "Bi, aku gak punya baju!" pekik Aruna. "Itu yang non acak-acak kan baju, bukan keset atau lap dapur." ucapnya sedikit agak kesal. "Bi, ini semua tuh udah aku pakai. Malu dong kalau harus di pakai lagi," gerutunya, dan sekarang Aruna beralih ke rak sepatunya. "Tapi kan baru sekali non, apa mau pinjem daster bibi?" Aruna melotot mendengar perkataan Imah, "Bi, ih ada-ada aja! tapi boleh deh aku liat daster punya bibi yang belum di pakai ada gak?" "Eh, non bibi kan cuma bercanda." "Bi, udah nawarin loh. Mana cepet dasternya," Dengan berat hati Imah mengambil daster miliknya yang masih baru untuk diberikan kepada Aruna, daster ini memiliki belahan serut di bagian kanan dan memiliki panjang selutut. Yang paling Aruna suka adalah model dari bahunya yaitu model off shoulder, A

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 10

    "Saya gak mampir ya, sudah malam juga." ucap Anggasta tanpa turun dari mobil. "Iya mas, hati-hati ya." Anggasta melajukan mobilnya kembali, dan menghilang perlahan dari rumah Aruna. Setiap pergi bersama Anggasta, perut Aruna selalu berakhir terisi penuh dengan makanan. Aruna merasa bobotnya kini sudah bertambah, dan esok saat ia datang ke Yvaine mungkin Liza akan langsung menyeretnya ke tempat gym. "Bi," panggil Aruna. Bukan Imah yang datang melainkan Ayara, rupanya ia sudah kembali dari pelariannya. "Loh masih inget pulang ternyata," ejek Aruna. "Kamu mau menikah dan kenapa gak kasih tau mamah? lalu siapa calon kamu itu? pengusaha? konglomerat? atau pejabat?" tanyanya membuat Aruna muak. "Cuma orang biasa, kakaknya Kastara." Ayara berdecih kesal, ia nampak tidak suka dengan status lelaki yang akan menikahi Aruna. "Kenapa kamu mau sih dinikahin sama orang biasa kayak dia! percuma dong kamu punya wajah cantik kalau dapetnya yang biasa aja," ucap Ayara ketus. "Mah, berhenti at

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 11

    Aruna menatap figur dirinya di cermin, ini hari pertunangannya tapi tidak ada kebahagiaan yang terasa di hatinya. Hampa, hanya itu yang Aruna rasakan. Dulu ia pernah memimpikan hal ini saat masih menjadi kekasih Kastara, ia membayangkan betapa bahagianya saat Kastara resmi menjadi tunangannya dan kelak akan menjadi suaminya. "Aruna," panggil Anggasta. "Udah mulai acaranya?" tanya Aruna. "Sudah, beberapa wartawan juga sudah ada di aula untuk memotret kita." Anggasta sebenarnya tidak nyaman jika di pestanya kali ini harus ada wartawan, tapi Anggasta tidak bisa berbuat apa-apa karena inilah resiko menjadi pasangan dari orang yang berkecimpung di dunia entertainment. Anggasta menadahkan tangannya untuk membantu Aruna berdiri, lalu meletakkan tangan Aruna di pergelangannya. Mereka harus tampil baik dan romantis dihadapan semua orang, meskipun hati mereka saling bertolak belakang. Saat Aruna dan Anggasta keluar semua bersorak menyambut mereka berdua, begitu juga wartawan yang langsung

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 12

    Pukul dua dini hari Anggasta baru kembali ke rumah, Rajasa sudah siap menunggu Anggasta di tengah kegelapan ruang tamu. Anggasta terlihat mengintip lewat jendela dari luar, merasa keadaan aman Anggasta segera masuk mengendap-endap. "Darimana kamu, Anggasta?" tanya Rajasa. Anggasta terkejut mendengar suara berat ayahnya di tengah kegelapan, jantungnya serasa mencelos karena kaget. Anggasta meraba dinding untuk menemukan saklar lampu ruang tamu. "Habis jalan aja yah," "Sama siapa?" tanya Rajasa dengan nada menginterogasi. "Sendiri yah," "Bukannya sama Alana kamu pergi?" Anggasta terdiam, darimana ayahnya tau kalau ia baru saja pergi bersama Alana. "Terkejut karena ayah tau? Anggasta, kamu sebentar lagi akan menjadi suami Aruna. Meskipun kamu gak cinta sama dia, tapi kamu harus bisa menjaga jarak dengan perempuan lain." ujar Rajasa membuat Anggasta sedikit kesal. "Ayah cuma mau peringatin kamu, Alana gak sebaik yang kamu kira Ngga. Jadi jangan terlalu dekat dengannya," "Oh ya?

Latest chapter

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 116 (End)

    Hingga setengah tahun pernikahan, Aruna masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Anggasta memang tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal anak, tapi sejujurnya Aruna sudah ingin merasakan kembali rasanya mengandung dan menjadi calon ibu. Saat melihat tetangga yang sedang hamil ataupun memiliki bayi, rasa iri dan sedih di hati Aruna langsung muncul secara bersamaan. Aruna takut jika ia memang benar-benar tidak bisa mengandung dan memiliki anak, Aruna takut jika suatu saat Anggasta berubah pikiran dan menginginkan seorang anak darinya tapi ia tidak bisa mewujudkan yang Anggasta inginkan. "Sayang kamu kenapa?" tanya Anggasta seraya menghapus air mata Aruna."Aku cuma sedih aja, udah setengah tahun umur pernikahan kita tapi gak ada sedikitpun tanda-tanda kalau aku akan hamil.""Gak usah pikirin hal itu sayang, udah aku bilang berkali-kali kan kalau kita memang gak di takdirkan menjadi orang tua aku tetap akan mencintai dan menerima keadaan kamu." Anggasta mengelus pelan

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 115

    Satu minggu kemudian, "Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Clarabella Gistara binti Rei Takahiro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Anggasta lantang di hadapan semua saksi dan tamu undangan. "Bagaimana bapak-bapak? sah?" tanya penghulu. Semua orang serempak mengucapkan kata sah, mulai detik ini Aruna resmi menjadi istrinya Anggasta. Setelah ijab qobul selesai, Anggasta membawa Aruna ke meja inti untuk bergabung bersama kedua orang tua mereka. Tidak ada pelaminan disini dan hanya menyediakan meja untuk pengantin beserta keluarga juga meja untuk para tamu undangan, Anggasta sengaja tidak membuat konsep pelaminan karena Aruna tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang. Raja terpaku di balik stir mobil, rasanya berat sekali untuk masuk ke dalam gedung dan melihat Aruna menjadi istri orang lain. Seharusnya ia yang menjadi suami Aruna bukan Anggasta, semua impiannya berantakan karena perjodohannya dengan Celine. Hingga detik ini Raja belum bisa menerima Celine di hatinya meski

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 114

    Pagi hari saat Aruna dan Ayara sedang sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Rajasa beserta keluarganya dengan membawa barang hantaran lamaran yang cukup banyak. Ayara memang menyuruh Anggasta menunjukkan keseriusannya pada Aruna dalam waktu dekat, tapi ia tidak menyangka jika Anggasta datang pagi ini juga untuk menunjukkan keseriusannya. "Maaf, saya tidak menyiapkan apapun untuk keluarga pak Rajasa." ucap Ayara kikuk. "Tidak apa-apa Ayara, saya tau Anggasta lupa mengabari kamu karena dia terlalu sibuk kemarin menyiapkan semua ini." sahut Rajasa. Di sebelah Ayara Aruna duduk dengan tatapan tanpa ekspresi menatap semua orang, sedangkan di hadapannya ada Anggasta yang nampak gugup setengah mati. Setelah melewati obrolan panjang lebar antar dua keluarga, kini tinggal Aruna yang menjawab permintaan Rajasa tentang lamaran Anggasta. "Bagaimana sayang? apa kamu menerima lamaran Anggasta?" tanya Ayara karena Aruna tidak kunjung membuka suara. Aruna menarik nafas panjang dan menghe

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 113

    Setelah menghabiskan waktunya seharian bersama Anggasta, kini Aruna tertidur pulas setelah menyantap pancake buatan Anggasta. Meskipun ia belum bisa menerima kehadiran Anggasta, namun kedatangan Anggasta hari ini membuatnya sedikit terhibur setelah beberapa hari ia habiskan sendirian di rumah tanpa teman mengobrol. Saat kedua mata Anggasta hendak terpejam menyusul Aruna, tiba-tiba pintu kamar Aruna di buka oleh seseorang. "Anggasta?!" "Mamah eh maksudnya tante Ayara," "Sedang apa kamu di kamar Aruna, Anggasta?" tanya Ayara berbisik, matanya melotot menatap Anggasta tidak suka. "Tante, kita ngobrol di luar aja ya? Aruna baru aja tertidur." Ayara mengangguk dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar Aruna, di ruang tamu ia duduk bagaikan nyonya besar yang siap menginterogasi anak buahnya. Anggasta mengambil posisi duduk bersebrangan dari Ayara, ia sudah siap dengan hal apapun yang akan Ayara katakan padanya bahkan sebuah penghinaan. "Kalau kamu ada di sini, saya bisa tebak pasti k

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 112

    "Alisya," panggil Aruna untuk yang ke sekian kalinya, namun asisten rumah tangganya itu tidak kunjung datang.Aruna cukup kerepotan tanpa seorang perawat yang membantunya untuk berpindah posisi ataupun mengambil barang, apalagi Alisya tidak selalu ada di rumah entah kemana ia pergi. Semenjak Takahiro meninggal pekerja di rumah ini di kurangi hingga tersisa dua orang saja dan satu penjaga keamanan di depan, juga satu orang supir kantor yang di panggil bekerja di rumah jika Ayara sedang membutuhkan supir. "Alisya, Tuti!" panggil Aruna mulai tidak sabaran. Tenggorokan Aruna rasanya sudah kering sekali, tapi air yang tersedia di kamar sudah habis. Entah kemana perginya dua asisten rumah tangga itu, sampai Aruna memanggil dan menunggu hampir setengah jam lamanya mereka tidak kunjung datang juga. Mau tidak mau Aruna terpaksa mengambil air di dapur sendirian jika begini, Aruna menyeret tubuhnya menuju tepi kasur dan saat hendak menyentuh nakas untuk menarik kursi roda pijakan tangannya ter

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 111

    Setelah kemarin Anggasta yang datang, kini gantian Rajasa dan Kinan yang datang menemuinya. Meskipun mereka mengatakan hanya ingin menjenguk keadaannya sekaligus bersilaturahmi, tapi Aruna yakin mereka ingin mencoba meluluhkan hatinya untuk menerima Anggasta kembali dengan cara yang halus. "Gimana kabar kamu nak?" tanya Kinan. "Seperti yang ibu lihat, saya masih di kursi roda sampai sekarang." Aruna tersenyum tipis dengan nada bicara yang sedikit sarkastik. "Oh iya mamah kamu kemana Aruna?" tanya Rajasa. "Mamah masih d Taiwan pak Rajasa, rencananya baru pulang besok." sahut Aruna. "Panggil saja saya ayah seperti dulu, Aruna." "Maaf pak, tapi sekarang Aruna bukan lagi menantu pak Rajasa. Yang lebih berhak memanggil pak Rajasa ayah ya istri mas Anggasta yang selanjutnya nanti," sahut Aruna. Kinan dan Rajasa terdiam sejenak, sepertinya meluluhkan kembali hati Aruna tidak bisa tergesa-gesa tapi mereka tidak mau menyerah demi Anggasta. Untuk mengalihkan pembicaraan, Kinan mengajak

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 110

    "Nona Aruna, itu mas Anggasta kan?" tunjuk supir Ayara ke halaman rumah Takahiro yang sekarang menjadi milik Aruna. Aruna menajamkan penglihatannya di tengah gelapnya halaman rumah, ternyata itu benar-benar Anggasta dengan bola mata yang memerah seperti habis menangis juga kelopak matanya yang sembab. "Pak, tolong bantu saya turun." pinta Aruna. "Nona Aruna mau menemui mas Anggasta?" "Turunkan saja saya pak, jangan banyak tanya." sahutnya. Dari kejauhan Anggasta menatapnya sendu dan penuh kerinduan, ingin rasanya Anggasta memeluk Aruna dan menatap wajah yang selalu ia rindukan selama tiga tahun ini. Hati Anggasta yang selama ini terasa mati saat berhadapan lawan jenis, kini mulai berdesir kembali saat melihat wajah Aruna meskipun Aruna hanya menatapnya tanpa ekspresi."Mau apa mas datang kesini?" tanya Aruna setelah posisinya dekat dengan Anggasta. "Na, kamu apa kabar?" tanya Anggasta. "Aku tanya mas Anggasta mau apa datang kesini?" Anggasta menghela nafas pelan, "Na, apa bena

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 109

    Setelah mengambil keputusan secara matang, Raja dan Aruna akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyudahi pengobatan Aruna di Jepang. Awalnya keputusan ini di tentang oleh Ayara, tapi setelah Aruna berusaha meyakinkannya akhirnya Ayara mau mengalah dan menerima keputusan mereka. Setelah menempuh perjalanan udara hampir delapan jam, mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul tiga sore. Setelah tiga tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Aruna akhirnya kembali lagi dengan kondisi yang sama seperti saat tiga tahun yang lalu ia meninggalkan negara ini. Tidak ada yang menjemput kedatangan mereka di bandara, Ayara sedang melakukan perjalanan bisnis ke Taiwan sedangkan dari pihak keluarga Raja tidak memungkinkan untuk menjemputnya. Firman sedang sibuk-sibuknya mengurus rumah sakit keluarga Hirawan, dan Haga yang sudah menetap di Dubai sejak tiga tahun yang lalu setelah menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Raja tidak mempermasalahkan ketidakhadiran kakak-

  • 100 Hari Bersamamu   Chapter 108

    Tiga tahun kemudian,POV Anggasta"Selamat sore pak Anggasta, hati-hati di jalan pulang." sapa penjaga keamanan kampus."Iya terimakasih pak kumis," sahutku.Tiga tahun berlalu aku lewati tanpa kamu, Aruna Clarabella Gistara. Tiga tahun aku lewati rasa sakit dan sepi ini sendirian, dengan di bubuhi sedikit mimpi kalau suatu saat kamu akan kembali padaku dengan senyum cantikmu yang selalu membuatku jatuh cinta. Tiga tahun aku mencoba move on darimu, meski begitu aku tidak pernah berniat mengganti posisi kamu dengan perempuan lain di hati ini. Kamu tetaplah ratu di dalam hatiku, namamu selalu bertakhta indah di hati ini. Bagaimana kabar kamu sekarang sayang? Apa kamu bahagia hidup tanpa aku? Apa kamu sudah menemukan lelaki yang membuatmu bahagia? Aku penasaran, tapi aku juga tidak mau tau karena aku takut cemburu jika tau kamu sudah bahagia bersama lelaki lain. Pernah satu kali aku mencari tau kabarmu lewat dokter Firman, dia bilang kamu bahagia sekarang dan semakin lengket dengan

DMCA.com Protection Status