"Ide kamu gila, Aruna! lagipula kamu kan udah sering ngelakuin itu sama Kastara. Apa mempan ide itu buat ngancam Kastara supaya dia tetep nikahin kamu?" "Kita emang sering ngelakuin itu tapi gak ada yang tau kan, udah deh Liz percaya sama aku. Kali ini pasti berhasil," ucapnya dengan penuh percaya diri. Liza menggelengkan kepalanya, ia tidak habis pikir dengan Aruna. Masalah satu saja belum kelar ia malah ingin membuat masalah lain, jika kali ini rencana Aruna tidak berhasil maka Liza harus siap ditendang dari Yvaine management. "Aku balik dulu ya Liz, capek banget." Aruna meregangkan tubuh dan kaki jenjangnya. "Ya udah, aku juga mau balik ke apartemen." sahut Liza. ***** Aruna sampai di rumah mewahnya, rumah mewah yang Mahendra berikan sebagai uang tutup mulut untuknya. Semua kemewahan yang Aruna nikmati saat ini tidak seratus persen hasil kerja kerasnya, sebagian besar Mahendra yang memberikan kemewahan ini padanya saat ia menjadi simpanannya. "Mamah dimana bi?" tanya Aruna p
Kastara mengernyitkan kening saat melihat baju milik Anggasta terlempar tidak beraturan di ruang tamu, ia tahu persis kalau Anggasta tipikal orang yang rapih dalam segala hal bahkan baju kotorpun ia selalu letakkan di tempatnya. "Loh berantakan sekali apartemen kamu, Kastara." ucap Kinan, ibu Kastara. "Ini bukan pakaian Kastara bu, kayaknya ini milik mas Anggasta deh. Bentar aku cari mas Anggasta dulu ya?" Kastara mencari keberadaan Anggasta di setiap sudut rumah, dan kini tinggal kamarnya yang belum ia periksa. Kastara membuka pintu kamarnya, betapa terkejutnya ia saat melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Kastara melihat Anggasta dan Aruna tengah tertidur sembari berpelukan tanpa busana sehelaipun, Kastara tau persis apa yang sudah mereka lakukan. "Mas Anggasta!" panggilnya dengan intonasi nada tinggi. Anggasta dan Aruna terbangun bersamaan, mereka saling terkejut karena melihat Kastara yang sudah berada di dalam kamar. Anggasta kebingungan dan tidak tau menau dengan a
Aruna membuka kedua matanya perlahan, kepalanya terasa berat karena minum semalaman bersama Liza. Hingga pagi menjelang tidak terdengar suara Ayara memanggilnya, padahal Ayara biasa membangunkannya dan selalu menyuruhnya olahraga pagi untuk menjaga berat badan. Aruna turun ke lantai bawah dan pergi ke dapur, setiap bangun tidur pagi Aruna selalu menyempatkan diri untuk minum air putih sebelum melanjutkan aktifitasnya. "Bi, mamah kemana." tanya Aruna. "Gak tau non, dari kemarin Ibu gak pulang, terakhir si bibi liat dia pergi bawa koper kecil gitu." Aruna berdecak, ia tau persis kalau Ayara kabur menghindarinya. Aruna tau kalau mamahnya itu tidak mau sedikitpun dilibatkan dalam masalahnya, padahal jika untuk urusan uang Ayaralah yang paling getol mendampinginya meskipun uang dari jalur yang tidak baik. Aruna kembali ke kamarnya, dan merebahkan diri di sebelah Liza. Pikirannya masih menerawang soal kejadian memalukan kemarin, bisa-bisanya ia kepergok orang tua Kastara dan salah targe
Aruna memegangi perutnya yang terasa begah, belum pernah Aruna makan sebanyak ini dan kalau sampai Ayara tau ia bakal dimarahi habis-habisan. Dari sekian banyak menu yang Anggasta minta, ia hanya memakan dua jenis saja. Anggasta cukup takjub melihat selera makan Aruna yang begitu banyak, padahal ketujuh jenis makanan itu biasa dipesan untuk 3-4 anggota keluarga. "Kenyang?" tanya Anggasta. Aruna mengangguk, ia tengah memikirkan berapa banyak kalori yang masuk ke tubuhnya dan berapa lama olahraga yang harus ia lakukan. Dan yang paling memenuhi pikirannya saat ini adalah siapa yang akan membayar semua makan ini. "Ya sudah saya pamit," ucap Anggasta. "Eeee tunggu mas, ini siapa yang bayar?" tanya Aruna, "Ini semua gratis," jawabnya. "Makasih mas Anggasta," Aruna menampilkan cengirnya lebar. Anggasta melenggang pergi, tidak ada senyum sejak pertama mereka bertemu hingga kini. Selesai sudah urusan Aruna disini, saatnya ia kembali ke Yvaine untuk jadwal pemotretan dengan merek pakaian
Anggasta membuka aplikasi peramban di ponselnya, Anggasta berniat mencari tahu tentang Aruna lewat internet padahal kalau mau ia bisa mencari tahu lewat Kastara. Banyak berita negatif tentang Aruna yang tersebar di internet, apalagi berita terbaru tentang skandalnya. Anggasta mengalihkan pencariannya ke informasi pribadi Aruna, hanya sedikit informasi tentangnya yang ditulis di internet namun Anggasta terkejut saat mengetahui kalau Aruna kuliah di kampus tempat ia mengajar. Anggasta memang baru mengajar disana, dan mungkin Aruna juga bukan mahasiswi yang ia ajar. Tapi Anggasta pernah mendengar kalau ada mahasiswi yang diberi julukan 'Dewi Aphrodite' Universitas Surya Cakra, mahasiswi itu terkenal karena kecantikannya tapi juga terkenal karena berita negatifnya. Cukup bagi Anggasta untuk mencari tahu tentang Aruna, karena Anggasta juga sebenarnya tidak terlalu mempercayai berita yang tersebar di internet. Seharusnya dua hari kedepan adalah hari pertunangan Aruna dan Anggasta, agar ti
Anggasta mengelilingi seluruh sudut kampus untuk mencari keberadaan Alana, tapi sayangnya Alana hari ini sedang libur mengajar dan pulang ke rumah orang tuanya. Anggasta melirik arloji di tangan kirinya, lima belas menit lagi waktunya Anggasta mengajar dan ia tidak bisa meninggalkan tugasnya. Selama mengajar pikiran Anggasta sama sekali tidak fokus, banyak kesalahan yang ia perbuat bahkan sampai penyampaian materipun ia salah. "Pak, kalau memang keadaan bapak sedang tidak baik gak apa kok kalau kelasnya di undur aja." saran seorang mahasiswa. Dengan berat hati Anggasta menyudahi pelajaran hari ini, beberapa murid ada yang senang dan beberapa lagi ada yang kecewa karena mereka memang sedang mengejar materi kuliah. Anggasta segera pergi menuju ke parkiran mobil, tapi ternyata ada seseorang yang tengah menunggunya tepat di depan kap mobilnya. "Hai, kamu Anggasta kan?" sapa Liza. "Iya, ada apa ya?" "Saya Liza, kedatangan saya kesini ingin memberitahukan soal konferensi pers yang aka
Aruna merapihkan kerah kemeja Anggasta yang terlihat sedikit berantakan, mereka harus tampil perfek di depan kamera meskipun semuanya hanya sandiwara. Aruna memakai dress selutut berwarna peach, sedangkan Anggasta memakai setelan celana bahan berwarna krem dan juga kemeja berwarna biru soft. "Lima menit lagi konferensi pers di mulai, tolong jangan buat kesalahan saat wawancara nanti." titah Theana. "Oke mi, aku dan mas Anggasta bakal keluarin statement terbaik ke media." Anggasta gugup, ia terus-menerus menarik nafas lalu membuangnya untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Na, aku gak perlu hapalin skrip gitu buat wawancara nanti?" tanyanya. Aruna tertawa mendengar pertanyaan Anggasta, "Kita bukan mau syuting mas, buat apa pake skrip." "Jadi aku harus jawab spontan gitu?" "Iya dong lagian tenang aja mas, urusan itu biar serahin aja ke aku. Aku bakal oper jawaban ke mas yang menurut aku mudah dan bisa mas jawab," Anggasta mengangguk, dan kini waktunya konferensi pers di mulai. Kila
Aruna kini tengah sibuk mengacak-acak isi lemarinya dan mengeluarkannya tanpa rasa bersalah, sedangkan di sudut ruangan ada Imah yang tengah melirih karena melihat pakaian-pakaian itu berserakan tidak beraturan. "Bi, aku gak punya baju!" pekik Aruna. "Itu yang non acak-acak kan baju, bukan keset atau lap dapur." ucapnya sedikit agak kesal. "Bi, ini semua tuh udah aku pakai. Malu dong kalau harus di pakai lagi," gerutunya, dan sekarang Aruna beralih ke rak sepatunya. "Tapi kan baru sekali non, apa mau pinjem daster bibi?" Aruna melotot mendengar perkataan Imah, "Bi, ih ada-ada aja! tapi boleh deh aku liat daster punya bibi yang belum di pakai ada gak?" "Eh, non bibi kan cuma bercanda." "Bi, udah nawarin loh. Mana cepet dasternya," Dengan berat hati Imah mengambil daster miliknya yang masih baru untuk diberikan kepada Aruna, daster ini memiliki belahan serut di bagian kanan dan memiliki panjang selutut. Yang paling Aruna suka adalah model dari bahunya yaitu model off shoulder, A
Hingga setengah tahun pernikahan, Aruna masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Anggasta memang tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal anak, tapi sejujurnya Aruna sudah ingin merasakan kembali rasanya mengandung dan menjadi calon ibu. Saat melihat tetangga yang sedang hamil ataupun memiliki bayi, rasa iri dan sedih di hati Aruna langsung muncul secara bersamaan. Aruna takut jika ia memang benar-benar tidak bisa mengandung dan memiliki anak, Aruna takut jika suatu saat Anggasta berubah pikiran dan menginginkan seorang anak darinya tapi ia tidak bisa mewujudkan yang Anggasta inginkan. "Sayang kamu kenapa?" tanya Anggasta seraya menghapus air mata Aruna."Aku cuma sedih aja, udah setengah tahun umur pernikahan kita tapi gak ada sedikitpun tanda-tanda kalau aku akan hamil.""Gak usah pikirin hal itu sayang, udah aku bilang berkali-kali kan kalau kita memang gak di takdirkan menjadi orang tua aku tetap akan mencintai dan menerima keadaan kamu." Anggasta mengelus pelan
Satu minggu kemudian, "Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Clarabella Gistara binti Rei Takahiro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Anggasta lantang di hadapan semua saksi dan tamu undangan. "Bagaimana bapak-bapak? sah?" tanya penghulu. Semua orang serempak mengucapkan kata sah, mulai detik ini Aruna resmi menjadi istrinya Anggasta. Setelah ijab qobul selesai, Anggasta membawa Aruna ke meja inti untuk bergabung bersama kedua orang tua mereka. Tidak ada pelaminan disini dan hanya menyediakan meja untuk pengantin beserta keluarga juga meja untuk para tamu undangan, Anggasta sengaja tidak membuat konsep pelaminan karena Aruna tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang. Raja terpaku di balik stir mobil, rasanya berat sekali untuk masuk ke dalam gedung dan melihat Aruna menjadi istri orang lain. Seharusnya ia yang menjadi suami Aruna bukan Anggasta, semua impiannya berantakan karena perjodohannya dengan Celine. Hingga detik ini Raja belum bisa menerima Celine di hatinya meski
Pagi hari saat Aruna dan Ayara sedang sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Rajasa beserta keluarganya dengan membawa barang hantaran lamaran yang cukup banyak. Ayara memang menyuruh Anggasta menunjukkan keseriusannya pada Aruna dalam waktu dekat, tapi ia tidak menyangka jika Anggasta datang pagi ini juga untuk menunjukkan keseriusannya. "Maaf, saya tidak menyiapkan apapun untuk keluarga pak Rajasa." ucap Ayara kikuk. "Tidak apa-apa Ayara, saya tau Anggasta lupa mengabari kamu karena dia terlalu sibuk kemarin menyiapkan semua ini." sahut Rajasa. Di sebelah Ayara Aruna duduk dengan tatapan tanpa ekspresi menatap semua orang, sedangkan di hadapannya ada Anggasta yang nampak gugup setengah mati. Setelah melewati obrolan panjang lebar antar dua keluarga, kini tinggal Aruna yang menjawab permintaan Rajasa tentang lamaran Anggasta. "Bagaimana sayang? apa kamu menerima lamaran Anggasta?" tanya Ayara karena Aruna tidak kunjung membuka suara. Aruna menarik nafas panjang dan menghe
Setelah menghabiskan waktunya seharian bersama Anggasta, kini Aruna tertidur pulas setelah menyantap pancake buatan Anggasta. Meskipun ia belum bisa menerima kehadiran Anggasta, namun kedatangan Anggasta hari ini membuatnya sedikit terhibur setelah beberapa hari ia habiskan sendirian di rumah tanpa teman mengobrol. Saat kedua mata Anggasta hendak terpejam menyusul Aruna, tiba-tiba pintu kamar Aruna di buka oleh seseorang. "Anggasta?!" "Mamah eh maksudnya tante Ayara," "Sedang apa kamu di kamar Aruna, Anggasta?" tanya Ayara berbisik, matanya melotot menatap Anggasta tidak suka. "Tante, kita ngobrol di luar aja ya? Aruna baru aja tertidur." Ayara mengangguk dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar Aruna, di ruang tamu ia duduk bagaikan nyonya besar yang siap menginterogasi anak buahnya. Anggasta mengambil posisi duduk bersebrangan dari Ayara, ia sudah siap dengan hal apapun yang akan Ayara katakan padanya bahkan sebuah penghinaan. "Kalau kamu ada di sini, saya bisa tebak pasti k
"Alisya," panggil Aruna untuk yang ke sekian kalinya, namun asisten rumah tangganya itu tidak kunjung datang.Aruna cukup kerepotan tanpa seorang perawat yang membantunya untuk berpindah posisi ataupun mengambil barang, apalagi Alisya tidak selalu ada di rumah entah kemana ia pergi. Semenjak Takahiro meninggal pekerja di rumah ini di kurangi hingga tersisa dua orang saja dan satu penjaga keamanan di depan, juga satu orang supir kantor yang di panggil bekerja di rumah jika Ayara sedang membutuhkan supir. "Alisya, Tuti!" panggil Aruna mulai tidak sabaran. Tenggorokan Aruna rasanya sudah kering sekali, tapi air yang tersedia di kamar sudah habis. Entah kemana perginya dua asisten rumah tangga itu, sampai Aruna memanggil dan menunggu hampir setengah jam lamanya mereka tidak kunjung datang juga. Mau tidak mau Aruna terpaksa mengambil air di dapur sendirian jika begini, Aruna menyeret tubuhnya menuju tepi kasur dan saat hendak menyentuh nakas untuk menarik kursi roda pijakan tangannya ter
Setelah kemarin Anggasta yang datang, kini gantian Rajasa dan Kinan yang datang menemuinya. Meskipun mereka mengatakan hanya ingin menjenguk keadaannya sekaligus bersilaturahmi, tapi Aruna yakin mereka ingin mencoba meluluhkan hatinya untuk menerima Anggasta kembali dengan cara yang halus. "Gimana kabar kamu nak?" tanya Kinan. "Seperti yang ibu lihat, saya masih di kursi roda sampai sekarang." Aruna tersenyum tipis dengan nada bicara yang sedikit sarkastik. "Oh iya mamah kamu kemana Aruna?" tanya Rajasa. "Mamah masih d Taiwan pak Rajasa, rencananya baru pulang besok." sahut Aruna. "Panggil saja saya ayah seperti dulu, Aruna." "Maaf pak, tapi sekarang Aruna bukan lagi menantu pak Rajasa. Yang lebih berhak memanggil pak Rajasa ayah ya istri mas Anggasta yang selanjutnya nanti," sahut Aruna. Kinan dan Rajasa terdiam sejenak, sepertinya meluluhkan kembali hati Aruna tidak bisa tergesa-gesa tapi mereka tidak mau menyerah demi Anggasta. Untuk mengalihkan pembicaraan, Kinan mengajak
"Nona Aruna, itu mas Anggasta kan?" tunjuk supir Ayara ke halaman rumah Takahiro yang sekarang menjadi milik Aruna. Aruna menajamkan penglihatannya di tengah gelapnya halaman rumah, ternyata itu benar-benar Anggasta dengan bola mata yang memerah seperti habis menangis juga kelopak matanya yang sembab. "Pak, tolong bantu saya turun." pinta Aruna. "Nona Aruna mau menemui mas Anggasta?" "Turunkan saja saya pak, jangan banyak tanya." sahutnya. Dari kejauhan Anggasta menatapnya sendu dan penuh kerinduan, ingin rasanya Anggasta memeluk Aruna dan menatap wajah yang selalu ia rindukan selama tiga tahun ini. Hati Anggasta yang selama ini terasa mati saat berhadapan lawan jenis, kini mulai berdesir kembali saat melihat wajah Aruna meskipun Aruna hanya menatapnya tanpa ekspresi."Mau apa mas datang kesini?" tanya Aruna setelah posisinya dekat dengan Anggasta. "Na, kamu apa kabar?" tanya Anggasta. "Aku tanya mas Anggasta mau apa datang kesini?" Anggasta menghela nafas pelan, "Na, apa bena
Setelah mengambil keputusan secara matang, Raja dan Aruna akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyudahi pengobatan Aruna di Jepang. Awalnya keputusan ini di tentang oleh Ayara, tapi setelah Aruna berusaha meyakinkannya akhirnya Ayara mau mengalah dan menerima keputusan mereka. Setelah menempuh perjalanan udara hampir delapan jam, mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul tiga sore. Setelah tiga tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Aruna akhirnya kembali lagi dengan kondisi yang sama seperti saat tiga tahun yang lalu ia meninggalkan negara ini. Tidak ada yang menjemput kedatangan mereka di bandara, Ayara sedang melakukan perjalanan bisnis ke Taiwan sedangkan dari pihak keluarga Raja tidak memungkinkan untuk menjemputnya. Firman sedang sibuk-sibuknya mengurus rumah sakit keluarga Hirawan, dan Haga yang sudah menetap di Dubai sejak tiga tahun yang lalu setelah menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Raja tidak mempermasalahkan ketidakhadiran kakak-
Tiga tahun kemudian,POV Anggasta"Selamat sore pak Anggasta, hati-hati di jalan pulang." sapa penjaga keamanan kampus."Iya terimakasih pak kumis," sahutku.Tiga tahun berlalu aku lewati tanpa kamu, Aruna Clarabella Gistara. Tiga tahun aku lewati rasa sakit dan sepi ini sendirian, dengan di bubuhi sedikit mimpi kalau suatu saat kamu akan kembali padaku dengan senyum cantikmu yang selalu membuatku jatuh cinta. Tiga tahun aku mencoba move on darimu, meski begitu aku tidak pernah berniat mengganti posisi kamu dengan perempuan lain di hati ini. Kamu tetaplah ratu di dalam hatiku, namamu selalu bertakhta indah di hati ini. Bagaimana kabar kamu sekarang sayang? Apa kamu bahagia hidup tanpa aku? Apa kamu sudah menemukan lelaki yang membuatmu bahagia? Aku penasaran, tapi aku juga tidak mau tau karena aku takut cemburu jika tau kamu sudah bahagia bersama lelaki lain. Pernah satu kali aku mencari tau kabarmu lewat dokter Firman, dia bilang kamu bahagia sekarang dan semakin lengket dengan