Kevin terus saja memompa Clara, keduanya mengabaikan suara bell. Suara bell itu berhenti tapi kini suara dering ponsel Clara terdengar nyaring memenuhi ruang. Namun, tetap saja diabaikan dengan dua manusia yang sedang dipenuhi hawa nafsu itu.
Kevin terus menaik turunkan tubuhnya, gerakannya itu semakin cepat sampai Lavanya keluar sempurna. Keduanya langsung terbaring lemah dengan posisi Kevin masih berada di atas Clara, karena senjatanya juga belum dilepaskannya. Dibiarkan ditanam di sana lama, untung saja Kevin sempat membuka satu pengamannya, jadi dirinya bisa dengan bebas mengeluarkan apa yang memang harus dikeluarkannya.
Lama mereka berdiam diri sambil menutup mata menikmati sisa-sisa kenikmatan yang dirasakan keduanya. Sampai-sampai pintu apartemen dibuka keduanya tidak sadar.
Daffin masuk saat dipencet bel tidak ada yang buka, teleponnya juga nggak diangkat, karena takut terjadi sesuatu pada Clara, Daffin pun mencoba untuk memutar handle pintu kayu itu yan
Daffin langsung saja menekan tombol hijau guna menelepon kembali sang papi. Langkah Dennis semakin lebar, ia ingin cepat-cepat sampai di ruangannya.Papi yang diteleponinya tak juga menjawabnya. Reiki yang mengikuti di belakang dari tadi merasa aneh dengan sikap bosnya yang tiba-tiba berjalan cepat sambil terus meletakkan ponselnya di telinga.Saat sudah berada di depan ruangan Daffin, Reiki langsung berjalan mendahului Daffin ingin membukakan pintu kayu itu untuk bosnya.“Fin.”Daffin menghentikan langkahnya, kemudian ia membalikkan tubuhnya.“Pi,” sahutnya.“Ada apa Pi?” tanya Daffin.“Ayo kita masuk dulu,” lanjut Daffin lagi.“Saya permisi ya pak,” ucap Reiki yang langsung pergi menuju ruangannya.Daffin menjawabnya hanya dengan anggukan saja.Kini mereka sudah duduk berhadapan di meja kerja milik Daffin.“Ada apa Pi?” ta
Sampai di rumah keduanya turun secara bersamaan, masih dalam keadaan sama-sama diam. Namun, tangan Daffin mengenggam tangan Alvira. Mereka pun langsung masuk ke dalam kamar.“Siap-siap habis makan malam kita pulang ke apartemen,” titah Daffin.Alvira langsung membola matanya mendengar ucapan Daffin. Alvira mengingat akan ucapan Daffin yang akan menghukumnya nanti malam, jantung Alvira langsung berdetak begitu cepat. Wajahnya berubah menjadi sedikit pucat.“Mati gua!” gumamnya dalam hati.“Kamu kenapa?” tanya Daffin.“Ah, nggak papa kok. Emang kenapa?”Alvira malah balik bertanya. Menutupi kegugupannya kali ini.“Wajahmu tiba-tiba pucat gitu.”“Masa sih, nggak kok,” kilah Alvira.Dirinya langsung berlari menuju meja rias melihat wajahnya di pantulan cermin yang ada di sana. Dipengangnya wajah itu.Daffin yang sedang melepaskan kancing kemejanya
Alvira langsung menghela nafas panjangnya mendengar ucapan Daffin. Sungguh dirinya sangat malas disuruh.“Kenapa harus aku, kamukan bisa cari sendiri,” tolak Alvira.“Tapikan kamu itu istri aku,” balasnya.“Iya tapi hanya untuk sementara.”“Tapi SAH!”Daffin sengaja menekan kata sahnya, biar Alvira mengingat tugas istri sewaktu diucapkan dengan ustadz yang menikahkan mereka.Dengan langkah yang malas, akhirnya Alvira mengikuti perintah Daffin ia pun mengambilkan pakaian Daffin. Tanpa bersuara, Alvira menyiapkan pakaian yang akan digunakan Daffin, pakaian itu diletakkannya di atas ranjang.Selesai dengan tugasnya, Alvira kembali melangkah ke arah pintu. Dirinya ingin segera bergabung dengan sang mami yang sudah menunggu di ruang keluarga.Tapi saat tangan Alvira sudah memengang handle pintu, lagi-lagi Daffin menghentikannya, dan menyuruh Alvira untuk tetap di dalam kamar menunggu d
Daffin melupakan jika dirinya sudah janji akan datang makan malam bersama Clara. Daffin langsung melihat jam yang terletak di dinding kamarnya.Ia pun menggeser icon berwarna hijau.“Elo gimana sih, gua sudah nunggu dari tadi ini. Lo jadikan datang,” cerocos Clara dari sebrang telepon.“Iya sory telat gua datang kok, tunggu aja gua di sana. Tadi ada sedikit masalah tapi sudah selesai kok,” balas Daffin berbohong.“Oke gua tunggu.”“Nit.”Panggilan itupun langsung berakhir, Daffin mengelengkan kepalanya.Alvira yang mendengar percakapan itu hanya diam saja ia memilih untuk duduk di sofa menunggu perintah suaminya kembali. Belum saja bokongnya mendarat sempurna di sofa. Namanya sudah dipanggil lagi dengan Daffin.“Ganti baju kamu, kita akan makan malam. Setelah makan malam kita langsung ke apartemen,” titah Daffin.“Tapi kita kan sudah makan malam,” pr
Clara masih bengong melihat Daffin juga Alvira.Daffin yang bingung langsung menyadarkan Clara.“Jadi gua berdiri aja nih di sini?” tanya Daffin.“Ah, iya. Duduk, ayo duduk,” suruh Clara pada akhirnya.Daffin dan Alvira langsung duduk berhadapan dengan Clara yang melihat ke arah Alvira dengan sedikit sinis. Clara melambaikan tangannya memanggil pelayan yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.“Kalian pesan aja ya,” suruh Clara saat pelayan resto itu datang.“Kami sudah makan, aku minum aja deh. Kamu sayang?” tanya Daffin pada Alvira sengaja Daffin melihatkan kemesraannya di depan Clara.“Sama aku juga minum aja deh,” jawab Alvira.Daffin langsung menyebutkan minum yang dipesannya.“Kenapa nggak makan?” tanya Clara.“Masih kenyang gua,” sahut Daffin yang masih melingkarkan tangannya di punggung Alvira.“Sendiri aja, paca
Alvira masih menatap Daffin tapi pikirannya kini sudah jalan ke mana-mana. Daffin mencoba melambaikan tangannya di depan wajah Alvira. Alvira langsung mengahlikan pandangannya. “Habisi buahnya, setelah itu kita ke kamar,” ajak Daffin. Ucapan Daffin itu berhasil membuat jantung Alvira kembali berdetak begitu cepat, sungguh dirinya binggung harus melakukan apa.”Tamat riwayat gua,” batin Alvira. “Tapi kenapa harus di kamar?” lanjut Alvira yang membatin dalam hati. Sambil mengunyah menghabiskan buah yang dipotongnya, ia pun berpikir hukuman apa yang akan didapatnya. Mengepel lantaikah atau membersihkan apartemennya ini? “Sudah ayo,” ajak Daffin lagi yang sudah menarik Alvira untuk berdiri dan mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar. “Sumpah jantung gua mau lepas,” batin Alvira lagi. “Kamu bersih-bersih dulu sana,” suruh Daffin lagi yang mendorong pelan tubuh Alvira di depan kamar mandi. Sebelum masuk kamar mandi dan tidak in
Saat ini Daffin dan Alvira sedang menuju rumah sakit. Raka tadi menelepon memberi tahu jika sang ayah dilarikan ke rumah sakit karena terkena serangan jantung. Alvira tidak berhenti menanggis sejak tadi, tangisnya terdengar begitu lirih, Daffin mencoba untuk menenangkannya, tangan Daffin mengelus lembut lengan Alvira. Satu tangannya lagi difokuskan untuk memengang stir kendali. Sampainya di rumah sakit Alvira langsung keluar tanpa mempedulikan Daffin yang teriak memanggil namanya. Langkahnya begitu lebar, ia ingin segera sampai di tempat di mana ayahnya dirawat. Daffin yang melihat Alesya sudah mulai menjauh dengan cepat ia menyusulnya. Ia berlari kecil agar sampai di tempat Alvira. Alvira mematung melihat ibu dan juga adiknya masih berdiri menunggu pintu perawatan sang ayah di buka. Di tempat berbeda tidak jauh dari tempat ibunya ada Tante Maya yang juga menunggu di sana. Langkah yang tadi cepat kini menjadi pelan, Daffin yang sudah sampai, l
Alvira di dampingi Daffin masuk ke dalam ruangan seba putih itu. Ia mendekat dan duduk di sisi Pria yang sangat dicintainya, cinta pertamanya terlihat lemah di atas tempat tidur dengan selang yang menempel dibeberapa bagian tubuhnya. Hening, hanya suara mesin yang terdengar di telinga mereka.Alvira sudah tidak mampu untuk berkata, ia hanya diam menatap sang ayah. Di pandangnya wajah yang pucat itu, dengan air mata yang tak henti keluar.Perlahan diambilnya tangan sang ayah lalu diciumnya hingga berkali-kali,” Bangun yah,” lirihnya.Daffin yang berada di belakangnya bisa merasakan apa yang sedang dialami istrinya, ia juga pernah ada dalam situasi seperti ini. Daffin mencoba untuk membuat Alvira tenang, dielusnya pundak sang istri dengan lembut. Sesekali ia mencium puncak kepala Alvira.Suara Alvira yang semakin terdengar lirih itu membuat Daffin lebih dekat lagi. Iapun berlutut di depan Alvira mensejajarkan dirinya dengan wanita yang tel