All Chapters of Bayi Miliarder Yang Tak Terduga: Chapter 11 - Chapter 20

23 Chapters

Bab 11. Harapan dan rasa takut

Cahaya rembulan menyelinap melalui jendela kamar Brisa, menciptakan bayangan lembut di dinding. Malam begitu sunyi hanya suara detak jam yang terdengar samar, mengikuti irama debaran jantungnya. Brisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya menyala terang di genggaman. Satu notifikasi muncul. Sagara. Sudut bibirnya terangkat tipis saat ia membuka pesannya. "Bintang di langit malam ini sepertinya iri melihat kita yang sedang kasmaran. Kamu tahu, Sayang? Setiap kali aku melihat bulan, aku selalu teringat padamu. Cahayamu selalu menerangi hidupku." Dada Brisa menghangat. Jari-jarinya gemetar pelan saat membalas pesan itu. "Aku juga selalu memikirkanmu, Sagara. Rasanya dunia ini jauh lebih indah saat bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada untukku." Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tenang namun tak pernah berhenti. Setiap pesan yang masuk dari Sagara membuatnya tersenyum, membuat hatinya melayang di antara bintang-bintang. "Aku ingin kita s
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 12. Jejak yang lenyap

Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya kini tak sadarkan diri. Harapannya seakan runtuh dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti hatinya."Tidak...," bisik Brisa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi."Brisa hampir tidak bisa merasakan apa pun selain kekacauan di dalam dirinya."Dokter, apakah ada kemungkinan untuk bertemu dengan perawat yang membantu dokter Angga saat itu?" tanyanya dengan suara lemah.Dokter Andra tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Ayo, kita temui dia!"Brisa mengikuti dokter Andra menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar begitu kencang, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apakah pertemuan ini akan membawanya lebih dekat ke jawaban yang ia cari atau justru semakin menjauhkannya.Di ruang perawat, dokter Andra mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sambil merapikan berkas."Suster Ani, apakah Anda ada waktu untuk berbicar
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 13. Jejak kebenaran yang terkubur

Wanita di hadapannya masih menatapnya dengan sorot curiga. Matanya memperhatikan setiap ekspresi Brisa, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, wanita itu akhirnya menghela napas pelan dan mengangguk."Masuklah!"Brisa melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di ruang tamu yang terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai menceritakan semuanya tentang kehamilannya, tentang kesalahan prosedur inseminasi buatan, dan tentang kebingungannya yang terus menghantuinya.Wanita itu mendengarkan tanpa menyela, ekspresinya sulit terbaca. Lalu, setelah hening yang mencekam, ia akhirnya berbicara."Suami saya sudah meninggal dunia sebulan yang lalu."Napas Brisa tercekat, seolah udara tiba-tiba menghilang dari ruangan itu."Apa?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.Wanita itu mengangguk perlahan, sorot matanya dipenuhi kesedihan. "Say
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 14. Ikatan yang telah lama direncanakan

Brisa menggigit bibirnya. Sudah lama ia tidak melakukan presentasi, dan ini bukan hanya pertemuan biasa. Ini adalah proyek besar, sesuatu yang bisa berdampak besar pada perusahaan ayahnya."Baiklah, Pa. Aku akan coba," ucapnya lirih, meski keraguan masih menggelayut di dadanya.Pak Aryan tersenyum, lalu mendekat dan duduk di sampingnya. "Ayo kita bahas bersama. Ini proposal yang sangat penting, dan kita harus bisa meyakinkan klien bahwa kita adalah pilihan terbaik."Dengan penuh kesabaran, Pak Aryan menjelaskan setiap detail dalam proposal. Ia berbicara tentang desain hotel yang modern dan mewah, konsep perumahan yang ramah lingkungan, hingga strategi pembangunan yang efisien dan inovatif."Yang paling penting, Brisa," ujar Pak Aryan dengan nada serius, "kamu harus bisa menunjukkan bahwa kita memiliki tim profesional dan berpengalaman. Klien harus yakin bahwa proyek ini akan selesai tepat waktu dengan kualitas terbaik."Brisa menyimak setiap kata ayahnya, mencatat poin-poin penting, m
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 15. Kafetaria

Siang itu, di kafetaria perusahaan, Sagara duduk santai menikmati makan siangnya bersama Brisa. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membelai wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Beberapa wanita di ruangan itu melirik ke arahnya, berbisik-bisik dengan tatapan penuh kekaguman. Sagara memang memiliki daya tarik alami—karismatik, tenang, dan penuh wibawa. Namun, saat bersama Brisa, ada sisi lain darinya yang jarang terlihat oleh orang lain. Mereka mengobrol santai, membahas banyak hal mulai dari pekerjaan hingga rencana-rencana masa depan. "Brisa, kamu tahu, aku sangat mengagumi kamu," ujar Sagara tiba-tiba, menatapnya dengan intens. "Kamu cerdas, berbakat, dan penuh semangat. Aku yakin kamu akan mencapai banyak hal dalam hidup." Brisa merasa wajahnya menghangat. Kata-kata Sagara membuat hatinya berdesir, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Sagara! Kamu juga luar biasa," balasnya dengan senyum malu. Sagara hanya tersenyum tipis, tetapi m
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 16. Pamit

Ivana mengangguk. "Iya, aku akan berangkat besok. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Anda, Pak Sagara. Aku sudah tidak sabar untuk memulai hidup baru di sana." Brisa menoleh ke arah Sagara, yang hanya mengangguk mengerti. "Ivana akan melanjutkan kuliah di sana," jelas Brisa dengan suara yang mulai bergetar. Hati Brisa terasa mencelos. Ada kehangatan yang tiba-tiba menghilang dari dadanya, digantikan oleh rasa kehilangan yang menyelinap tanpa izin. "Aku sangat sedih kamu harus pergi," ujar Brisa jujur. "Aku akan sangat merindukanmu." Ivana tersenyum lembut. "Aku juga akan merindukanmu, Brisa," katanya. "Penerbanganku besok pagi." Brisa terdiam sejenak, merasa dadanya semakin sesak. "Besok pagi?" ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. Ivana mengangguk. "Penerbanganku cukup pagi, jadi aku harus berangkat lebih awal. Aku tidak mau terlambat," jelasnya dengan nada ringan, meski Brisa tahu sahabatnya itu juga menyembunyikan perasaan yang sama. Brisa menundukka
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 17. Rumah bagi hatinya sendiri

Sagara melangkah mantap menuju ruang kerjanya, seperti seorang raja yang tengah melewati singgasananya. Sorak sorai dan bisikan para karyawan wanita menyambutnya, seperti biasa. Tatapan penuh kagum tertuju padanya—CEO muda yang tak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga begitu sulit untuk diabaikan. Namun, hari ini, perhatian itu tak berarti apa-apa baginya.Setibanya di ruang kerja, Sagara berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya pagi membias lembut di balik kaca, melukis bayangan gedung pencakar langit menjadi lukisan abstrak yang seharusnya menenangkan. Namun, keindahan itu gagal meredakan kegelisahan yang terus berkecamuk dalam dadanya. Pikirannya masih terpaku pada satu nama—Brisa.Kemarin siang, pertemuan mereka masih membekas di benaknya. Brisa, dengan presentasinya yang begitu percaya diri, tampak begitu berkilau di matanya. Namun, di balik senyuman tipisnya, ada sesuatu yang mengusik hati Sagara—seberkas kesedihan yang tak bisa ia abaikan. Itu bukan han
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 18. Taman kota

Kembali ke kantor, Sagara langsung menuju ruang rapat. Sore ini, ia mengadakan pertemuan rutin dengan tim manajemen untuk membahas kinerja perusahaan secara keseluruhan."Bulan ini, kita berhasil menyelesaikan tiga proyek besar," kata Sagara membuka rapat. Nada suaranya tegas, mencerminkan kepemimpinannya yang solid. "Ini pencapaian luar biasa, tapi kita tidak boleh berpuas diri. Kita harus terus berkembang."Satu per satu, para manajer memaparkan laporan mereka. Ada masalah yang perlu diatasi—keterlambatan pengiriman material, kurangnya tenaga kerja, hingga kendala teknis lainnya. Sagara menyimak dengan seksama, memberi masukan di setiap kesempatan. Namun, jauh di dalam benaknya, pikirannya melayang ke tempat lain.Ponselnya yang tergeletak di atas meja terasa begitu menggoda. Beberapa saat lalu, Brisa mengirim pesan—sesuatu yang sederhana, namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar. Sejak itu, ia tak bisa sepenuhnya fokus. Setiap kali ada jeda dalam pembicaraan, matanya tak sadar
last updateLast Updated : 2025-03-13
Read more

Bab 19. Masa lalu yang tak ingin diungkapkan

"Sagara punya kakak laki-laki. Namanya Brian," suara Bu Arini terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang enggan terucap. "Tapi kakak Sagara sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Dia sekarang tinggal di Inggris." Brisa mengernyit. "Kenapa?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang. Sekilas, Brisa bisa melihat keraguan di mata mereka, seolah ada luka lama yang tersimpan di sana—luka yang terlalu perih untuk diungkit kembali. "Sudahlah, Nak. Itu sudah masa lalu," ujar Pak Raditya dengan nada yang berat, seakan kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk Brisa. Keheningan menyelimuti ruangan. Brisa bisa merasakan sesuatu yang tidak diungkapkan, sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Ada cerita di balik nama Brian, cerita yang masih menghantui keluarga ini. Namun, ia tidak ingin memaksa mereka mengungkap luka yang belum sembuh. Jam dinding berdenting pelan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Brisa menarik napas, men
last updateLast Updated : 2025-03-14
Read more

Bab 20. Kehangatan yang menyelimuti hati

Sesampainya di rumah, Brisa langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit, tetapi pikirannya masih tertinggal di rumah Sagara. Ia memikirkan segalanya—keluarga Sagara yang begitu hangat, obrolan mereka yang menyenangkan, dan tentu saja perasaan yang kini semakin nyata tumbuh di dalam hatinya. Namun, di antara semua itu, ada sesuatu yang terus menghantuinya. Percakapan tentang Brian. Tatapan enggan yang saling dilemparkan oleh Pak Raditya dan Bu Arini. Suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Apa yang sebenarnya terjadi? Brisa meraih ponselnya dan membuka galeri. Ia menelusuri foto-foto yang diambilnya bersama Sagara dan keluarganya tadi malam. Senyumnya terukir saat melihat momen-momen itu, tetapi rasa penasaran di hatinya tetap menggelayut. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menciptakan suasana pagi yang hangat di ruang makan. Brisa duduk di meja, mengaduk minumannya pelan sambil sesekali melirik kedua orang tuanya yang tengah berbincang. "Bris
last updateLast Updated : 2025-03-14
Read more
PREV
123
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status