Home / Romansa / Balada Cinta Sang Presdir / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Balada Cinta Sang Presdir: Chapter 11 - Chapter 20

27 Chapters

Bab 10: Pertemuan Hati

Sore itu, kafe kecil di kawasan Senopati dipenuhi aroma kopi panggang. Mesin espresso bersuara pelan, meja-meja kayu sederhana berjajar rapi. Dari jendela besar membiarkan cahaya mantahari menyelinap masuk. Andreas dan Lara duduk. Andreas mengenakan kemeja putih, sementara Lara sweater cokelat longgar. Rambutnya disisir rapi dan di meja mereka terdapat kopi hitam mengepul. Segelas latte disesap Lara, memburamkan gambar hati di atasnya.“Jadi, ini tempat ngopi favorit Bos Besar?” tanya Lara dengan mata berkilat penuh godaan. “Aku kira bakal diajak ke kafe fancy yang pake gelas emas gitu.”Andreas tersenyum kecil, tangan memutar cangkir kopinya. “Nggak, aku suka yang sederhana untuk ngobrol santai. Di sini kopinya enak, nggak terlalu rame.”Lara mengangguk, menatap sekeliling. “Bagus sih, cozy. Aku juga lebih suka tempat kayak gini dibanding heboh. Apalagi abis kerja rasanya pengen duduk diam aja.”“Ngomongin kerja.” Andreas meiliriknya. “Setelah dari perusahaanku, kamu sekarang ngapain?
last updateLast Updated : 2025-02-27
Read more

Bab 11: Kenangan Dulu

Tumpukan sketsa menghiasi apartemen Lara. Lampu meja tua di sudut ruang tamu menyala redup. Milo, kucing oranye-nya meringkuk di atas bantal sofa. Dia mendengkur, menemani Lara yang duduk bersila di karpet. Ponsel menyala dengan notifikasi yang diabaikan sedari tadi. Pikirannya terpaku pada nama di layar: Rendra.Dengan napas berat, Lara akhirnya mengetuk pesan itu. Layar terbuka, menampilkan rangkaian kata yang membuat jantungnya bergetar. “Lara, apa kabar? Aku tahu udah lama banget nggak kontak tiga tahun ini. Aku kerja di USA, tapi minggu depan balik ke Indo bentar. Mau ketemu boleh? Ada yang pengen aku omongin.”Lara mengerutkan kening. Jarinya berhenti di atas tombol balas. “Udah bertahun-tahun, mendadak mau ketemu? Mau ngapain?” Nadanya penuh sarkasme. “Dasar nggak penting.”Setelah beberapa menit menatap layar, Lara mengetik balasan singkat. Ia tekan send, lalu meletakkan ponsel di karpet. Berusaha mengalihkan perhatian ke sketsa-nya. Tak sampai lima menit, sebuah pesan dari Ren
last updateLast Updated : 2025-02-28
Read more

Bab 12: Garis Takdir

Lima hari kemudian, di sebuah lapangan terbuka di kawasan Kemang, sebuah bazaar seni dan desain lokal digelar. Booth-booth kayu berjejer dihiasi lampu gantung dan kain warna-warna. Tempat itu menawarkan karya seni dan pernak-pernik handmade. Pedagang kaki lima juga andil menjajakan makanannya secara keliling.Lara berdiri di salah satu booth, mengenakan jaket denim longgar. Di depannya terdapat meja kecil berisi sketsa cetak dan stiker desain buatannya. Lara kadang mengerjakan proyek sampingan untuk menambah penghasilan. Ia melayani pembeli sambil mengobrol dengan mereka. Selama lima hari Lara mencoba melupakan kekesalannya terhadap Rendra dengan terus berkarya. Kepalanya refleks menepis bayang-bayang lelaki itu setiap datang.Tak jauh dari situ, Andreas melangkah masuk area bazaar. Ia datang atas saran Bima, asistennya yang bilang ada booth bertema teknologi di sini yang mungkin bisa dijadikanmitra proyek berikutnya. Lebih dari itu, Andreas butuh udara segar. Kantor terasa pengap akhi
last updateLast Updated : 2025-03-01
Read more

Bab 13: Langkah Pelan

Pertemuan tak sengaja itu terasa berbeda bukan hanya karena kehadiran Rendra yang membawa ketegangan, tapi senyum Lara yang lagi-lagi meringankan beban dada. Andreas menghela napas, jari-jarinya memutar gelas air. "May, aku nggak tahu ini apa," gumamnya dalam keheningan malam. "Aku cuma ngobrol sama dia, tapi rasanya menyenangkan banget."Malam itu, langit Jakarta digantungi awan tipis. Andreas duduk di balkon apartemen sambil membawa segelas air. Benda itu menggantikan wiski yang menemani hari-hari sebelumnya.Pesan Lara menyadarkan Andreas dari lamunan: "Pak Bos, stikernya udah dipasang belum? Jangan cuma disimpan ya? Milo bakal sedih." Disertai emotikon kucing menangis.Andreas segera menanggapi gadis itu sambil membayangkan wajahnya. "Makasih buat sore tadi, seru banget liat kamu jualan. Bentar lagi aku pakai."Tak sampai semenit Lara menyahut: "Sama-sama, seneng kamu di sana. Tapi lain kali bantu jualan beneran ya. Aku kasih komisi 30%, pasti laris manis kalau yang handle ganteng
last updateLast Updated : 2025-03-02
Read more

Bab 14: Mimpi Berharga

Malam itu, dalam tidurnya Andreas bermimpi sedang berada di taman asing. Pohon-pohon tinggi mengelilinginya dengan daun bergoyang berisik. Di depannya Maya muncul dengan wajah pucat tapi lembut. Persis seperti sebelum kecelakaan. Ia mengenakan gaun putih sederhana. Rambut hitam Maya tergerai dan matanya menatap Andreas dengan senyum sederhana. Andreas ingin berlari memeluknya, tapi kakinya terasa berat seperti ditahan tanah."May?" panggilnya, serak penuh kerinduan.Maya tak menjawab, hanya tersenyum lebih lebar. Dia memeluk seorang gadis dari samping, yang rambutnya merah jambu. Andreas mengerutkan kening, jantungnya berdetak lebih kenceng. Ada sesuatu yang harusnya Andreas tahu, tapi kabut membuat wajahnya samar."Siapa?" gumam Andreas, melangkah maju susah payah.Maya menoleh ke arahnya, mata berkilat penuh ketenangan. Gadis berbaju merah jambu itu berbalik perlahan. Wajahnya terlihat jelas saat kabut disingkirkan cahaya bulan. Mata cokelat berkilau dengan pipi bersemu tipis. Sosok
last updateLast Updated : 2025-03-03
Read more

Bab 15: Ungkapan Hati

Trotoar Kafe Senopati terasa sesak meski tak ada kerumunan. Rendra duduk di aspal sambil bersitegang dengan Mile dan Lara. Darah menetes semakin deras di kemeja biru tuanya. Andreas berdiri tegak, napasnya masih cepat, belum sepenuhnya tenang. Keceplosan tadi membuat wajahnya merah, tapi tidak gentar. Ia melirik Lara yang ternyata mampu memahami ajakan aktingnya. Tanpa mengangguk Lara pun memeluk lengan pria itu seolah memamerkan sesuatu. “Ren, udah cukup,” kata Lara. "Aku sama Andreas--jadi jangan ganggu kami lagi. Apa yang kamu minta, lupain aja karena hal ini percuma." Rendra mendongak. “Sama dia?” ulangnya dengan mata menyipit sangsi. “Kamu bilang nggak mau terjebak drama, tapi tiba-tiba punya pacar? Mana ada orang tolol di dunia ini yang percaya." Andreas melangkah maju, posisinya benar-benar menyudutkan Rendra kali ini. “Sejak kapan urusan kami jadi urusanmu?” tanyanya penu
last updateLast Updated : 2025-03-04
Read more

Bab 16: Bertanya Ibu

Di apartemen, Lara melihat Milo meringkuk di bantal sofa. Sementara sang pemilik teringat Andreas yang ngotot mengantar pulang dan membantu membawa barang-barang sampai depan pintu. Pria itu membelikan sekotak makanan ringan, teh hijau premium, beberapa cokelat batangan, dan buku sketsa baru sore tadi, setelah mereka memutuskan masuk kafe usai drama trotoar. Gadis itu pun menatap semua oleh-oleh dengan wajah memerah.  “Ya Tuhan, ini beneran apa?” gumamnya penuh kebingungan. Lara teringat fakta sang bos ternyata duda dan bilang cinta kepadanya. Tangan Lara menutup wajah karena malu. Ia bolak-balik terkadang duduk, berdiri, atau jalan-jalan dengan pikiran penuh Andreas. Suaranya yang berwibawa menggetarkan jantung dalam dada. “Um, sebaiknya kusapa dulu lewat ponsel.” Ia membaca sebuah pesan yang berbunyi: “Sampai rumah istirahat dan jangan kerja terlalu larut.” Lara pun menghela napas, dengan jantung be
last updateLast Updated : 2025-03-05
Read more

Bab 17: Jawaban Lara

Pagi itu, matahari menyelinap masuk lewat celah tirai apartemen Lara. Saat sarapan, ponsel Lara menampilkan pesan dari Rendra: “Lara, hari ini aku balik ke USA. Maaf buat semuanya, aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Semoga hidupmu bahagia.”Lara melirik pesan Rendra sekilas. Ia mendengus pelan dan berkata datar. “Pamit sekarang?” gumamnya. Namun si manis tak membalas, langsung menggeser notifikasi ke samping tanpa peduli. Rendra sudah jadi masa lalu—sekotak kenangan yang tak lagi punya tempat di hidupnya. Lara menyesap teh, pikirannya tertuju ke obrolan semalam dengan ibunya.Ponsel bergetar lagi, kali ini dari Andreas. Lara tersenyum kecil tanpa sadar, membuka pesan tersebut: “Pagi, Lara. Siang nanti aku berangkat dinas ke Singapura, balik 10 hari lagi. Apa kabar?” Ia mengetik balas dengan jari lincah: “Pagi, Pak Bos. Aku baik, Milo juga. Dinas lancar ya, jangan capek.” Tak sampai semenit, Andreas membalas: “Makasih. Aku boleh telepon bentar nggak? Kangen denger suaramu.”Lara mengeru
last updateLast Updated : 2025-03-06
Read more

Bab 18: Foto Kencan Pertama

Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap. “Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.” Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir
last updateLast Updated : 2025-03-07
Read more

Bab 19: Kejujuran Andreas

Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap. “Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.” Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir seperti bisik.
last updateLast Updated : 2025-03-08
Read more
PREV
123
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status