All Chapters of Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan: Chapter 11 - Chapter 20

29 Chapters

Bab 11

Selesai dari gym, gue langsung menuju locker room buat ngambil tas. Langkah gue santai, tapi dalam hati masih terbayang-bayang obrolan sama Mas Arsen tadi. Rasanya hari ini salah satu momen terbaik sepanjang bulan. Pas gue keluar dari pintu gym, tiba-tiba mata gue menangkap sosoknya lagi di parkiran. Dia lagi jalan ke arah mobilnya, tapi sempat nengok ke gue. "Ran, saya duluan ya," katanya sambil melambai santai, senyumnya—ya ampun—itu senyuman paling manis yang pernah gue lihat. Asli, gak bohong. Gue buru-buru balas lambaian tangannya sambil senyum juga. "Hati-hati di jalan, Mas Arsen," jawab gue, suaranya setenang mungkin, walau hati udah kayak kembang api di malam tahun baru. Dia cuma angguk, terus masuk ke mobilnya, sebuah Mercedes hitam yang sleek banget, pas banget sama auranya yang elegan. Gue diem sejenak, ngeliatin mobil itu meluncur pergi dari parkiran. Rasanya campur aduk, seneng, gugup, tapi juga sedikit gak sabar buat ketemu dia lagi. Sambil jalan ke mobil, gue
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

Bab 12

Gue lagi selonjoran di kamar, nonton TV sambil ngemil keripik. Berita di layar menampilkan penggerebekan besar-besaran polisi, gembong narkoba yang katanya udah buron berbulan-bulan akhirnya ketangkep juga. Gambar di layar penuh dengan polisi berseragam, ada juga yang penampilannya beda. Pakaian mereka kasual, gak kayak polisi biasanya. "Intel nih pasti," gumam gue sok tahu, tangan gak berhenti nyomot keripik dari bungkusnya. Di layar, polisi-polisi itu lagi ngangkutin dus-dus besar, mungkin isinya barang bukti. Gue ketawa kecil, bikin komentar yang gak ada gunanya, "Biasanya yang begini-begini tuh suka ada abang tukang dagang yang jual dagangan murah terus porsinya banyak, tapi langsung ketangkep. Udah, mampus kan lo semua." Gue ngomong sendiri sambil tetep mantengin TV, ngerasa kayak pengamat kriminal profesional, padahal mah ya cuma nyari hiburan. Sebenernya gue lagi ngerjain tugas kuliah. Laptop kebuka di meja belajar, dokumen Word masih nongkrong di halaman pertama. Tapi
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more

Bab 13

Sejujurnya, gue masih bingung setengah mati gimana caranya bisa lebih deket lagi sama Mas Arsen, si tetangga sexy itu. Basa-basi model apalagi yang harus gue katakan? Otak gue kayak kehabisan bahan. Semua ide yang tadinya terdengar brilian di kepala, sekarang cuma berakhir jadi wacana.Hari-hari gue jalanin sambil mikir, tapi kayaknya gak ada progres. Malah, udah sehari belakangan ini, sosok Mas Arsen kayak lenyap ditelan bumi. Gak keliatan sama sekali di sekitar rumah. Yang ada cuma anak SMA yang pertama kali gue liat waktu mereka pindahan. Beberapa kali dia keluar masuk rumah itu, tapi gue juga gak basa-basi sama dia. Mau bilang apa juga? "Halo, adek tetangga sexy?" Kan aneh banget.Di rumah, suasananya sepi. Ayah sibuk banget sama pasien-pasien di rumah sakit. Bunda? Jangan ditanya. Restoran selalu penuh, apalagi jam makan siang. Mas Abi? Dia bahkan jarang kelihatan karena sibuk sama kasus di firma hukumnya. Kakak perempuan gue? Ya, dia udah punya kehidupan sendiri, sibuk kerja dan
last updateLast Updated : 2025-01-15
Read more

Bab 14

"Memangnya, dia suka apa, Mas? Hobi mungkin?" Gue mencoba gali informasi lebih jauh. Siapa tahu ada ide yang bisa gue bantu. Mas Arsen tetap fokus nyetir, tapi jawabannya keluar dengan nada santai. "Basket. Tapi sepatunya udah numpuk banyak, bola basket juga. Pokoknya, yang berbau basket sudah terlalu sering saya belikan, Ran." Gue manggut-manggut, pura-pura ngerti, padahal otak gue lagi kerja keras. Aduh, pusing juga, terus gue kasih saran apa dong ya? Masa gue bilang beliin jersey, padahal pasti dia juga udah punya. "Terus Mas, dia pernah bilang pengen apa gitu? Kayak benda tertentu, atau mungkin... sesuatu yang lagi dia suka banget akhir-akhir ini?" Gue nebak-nebak, berharap pertanyaan gue nggak terkesan bodoh. Mas Arsen berpikir sejenak, alisnya sedikit terangkat. "Dia pernah bilang suka sama kamera, sih. Tapi saya belum tahu dia serius atau cuma iseng ngomong aja." "Kamera? Wah, itu ide bagus, Mas! Kan bisa dipakai untuk banyak hal, nggak cuma foto-foto biasa." Gue lang
last updateLast Updated : 2025-01-17
Read more

Bab 15

Gak lama kemudian, Mas Arsen balik sambil bawa dua gelas minuman. Dia nyodorin satu ke gue, jus mangga yang gue minta tadi. "Ini jus mangganya, Ran. Kamu makan aja dulu makanannya, jangan nungguin saya," katanya, duduk di seberang gue. "Oh iya, makasih, Mas," jawab gue sambil ngebuka bungkus makanan yang ada di depan. Akhirnya gue mulai makan, dan Mas Arsen juga nyusul. Dia makan sambil sesekali ngeliatin gue, dan gue yang ngerasa diliatin langsung canggung. "Kenapa, Mas? Ada yang aneh ya?" tanya gue sambil nyengir. Dia ketawa kecil sambil ngelap tangannya pake tisu. "Enggak kok. Cuma lucu aja, tadi di rumah kelihatan malu-malu banget, sekarang malah ceria gini." Gue langsung nyengir lebih lebar. "Ya iyalah, Mas. Kalau di rumah kan suasananya beda, suka awkward aja." "Awkward? Sama saya?" Dia angkat alis, kayak gak percaya. "Iya, lah! Tetangga baru, Mas. Gimana gak awkward?" Gue mencoba nyari alasan, walaupun dalam hati gue tahu banget alesannya bukan cuma itu. Dia cuma ke
last updateLast Updated : 2025-01-19
Read more

Bab 16

Hari-hari Rania setelahnya terasa berubah. Segalanya mendadak terlihat lebih indah, penuh warna, seolah-olah dunia memutuskan untuk memberi bonus pemandangan yang lebih cerah hanya untuknya. Mood-nya terus saja baik setiap hari, bahkan hal-hal kecil yang biasanya bikin kesal sekarang terasa nggak seberapa. Di sudut hatinya, ia tahu apa yang menjadi alasan dari perasaan ini—Mas Arsen. Sementara itu, di sisi lain, Arsen memandang Rania sebagai sosok yang unik. Gadis itu punya gaya khas yang sulit dijelaskan, ada sesuatu dalam cara dia berbicara, cara dia tertawa, atau bahkan saat dia sekadar berjalan santai. Semua itu membuatnya tertarik dengan cara yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami. Ada rasa nyaman yang aneh tapi menyenangkan setiap kali ia berada di sekitar Rania, seakan-akan gadis itu punya kemampuan untuk menenangkannya tanpa perlu berkata apa-apa. Tapi bagi Arsen, hari-harinya masih diisi dengan kesibukan yang penuh tekanan. Pekerjaannya ada di lingkup yang tidak biasa, d
last updateLast Updated : 2025-01-22
Read more

Bab 17

Tugas di meja kerja Arsen sudah menggunung. Setumpuk dokumen menanti untuk dianalisis, ditambah laporan-laporan yang harus ia tinjau sebelum rapat pagi. Rutinitas yang sibuk ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, tetapi bukan berarti ia terbiasa dengan tekanan yang terus-menerus. "Pagi, Pak Arsen. Meeting jam setengah sembilan, ya," ujar asistennya dengan nada ramah, berjalan melewatinya sambil membawa tumpukan berkas di tangan. Arsen hanya mengangguk, melirik sekilas jam di pergelangan tangan. Waktu masih cukup untuk ritual kecilnya sebelum tenggelam dalam pekerjaan. Ia berjalan ke arah pantry kantor, berharap secangkir kopi hitam bisa membantunya bertahan sepanjang hari. Di pantry, aroma kopi hangat sudah lebih dulu menyapa. Di sudut ruangan, berdiri Jaka, salah satu teman sejawatnya, sedang mengaduk kopi dengan santai. "Pagi, bro. Lo keliatan cerah banget pagi ini. Ada apa?" tanya Jaka sambil menoleh ke arah Arsen yang baru saja masuk. Arsen tersenyum tipis sambil menga
last updateLast Updated : 2025-01-22
Read more

Bab 18

Gue duduk di balkon kamar, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Sepulang kuliah, pikiran gue malah melayang-layang, memikirkan hal yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Satu pertanyaan muncul di kepala gue: abis lulus kuliah, gue mau ngapain? Kerja? Lanjut S2? Tapi kenapa, kok, bayangan gue malah ujung-ujungnya sampai ke... nikah sama Mas Arsen? "Astaga, Rania. Haluuu banget sih lo," gue pukul kepala pelan-pelan pakai tangan sendiri, berharap halu gue bisa hilang secepat itu. Belum tentu juga, kan, Mas Arsen mau. Gue ngedumel sendiri, berusaha menormalkan pikiran. Tapi makin gue berusaha nggak mikir, malah makin terbayang wajah dia. Senyumnya, suaranya, caranya memperlakukan orang dengan santai tapi bikin nyaman... Meta bener. Siapa tau Mas Arsen itu cuma baik doang ke gue, bukan karena ada rasa apa-apa. Baik karena dia memang tipe orang yang seperti itu. Nggak ada niat lebih. Gue nunduk, ngetuk-ngetuk lantai balkon dengan jari, sambil nahan perasaan yang me
last updateLast Updated : 2025-01-24
Read more

Bab 19

Setelah selesai makan sushi, gue memutuskan buat mandi. Rasanya badan udah lengket banget, apalagi habis seharian kuliah tadi. Baru aja keluar dari kamar mandi, ponsel gue bunyi. Ada pesan masuk dari Mas Arsen. "Kado yang kamu pilih buat anak saya sudah saya kasih, dan dia suka. Makasih atas usulannya, Ran."Hati gue langsung hangat pas baca pesan itu. Entah kenapa, rasanya seneng banget. Kayak akhirnya ada kontribusi gue yang berarti di hidup dia, walau cuma sekadar saran soal kado. Gue senyum sendiri, sambil duduk di pinggir kasur dan baca ulang pesan itu. Mata gue melirik ke arah jendela kamar. Dari sini, gue bisa lihat rumah Mas Arsen di seberang. Lampu di ruang tamu rumahnya masih menyala. Sosoknya nggak kelihatan, tapi pikiran gue udah melayang-layang ke arah dia. Mas Arsen tuh emang misterius banget. Kadang baik, kadang serius, tapi di saat yang sama selalu bikin gue penasaran. Apa sih sebenarnya yang ada di pikiran dia? Apa gue cuma tetangga biasa buat dia, atau... ada s
last updateLast Updated : 2025-01-26
Read more

Bab 20

Arsen sedang sibuk merapikan jasnya di depan cermin besar di ruang tengah, bersiap untuk menghadiri pernikahan salah satu bawahannya di kantor. Suasana pagi di rumahnya terlihat tenang, hanya terdengar suara pelan dari tayangan di handphone Pradipta, anak tunggalnya, yang duduk santai di meja makan sambil menikmati sarapan. Sambil meraih sepotong roti dari meja dapur, Arsen berjalan mendekati putranya. Pandangannya tertuju pada piring sarapan yang nyaris tak disentuh. "Kak, makan jangan sambil main handphone," tegurnya lembut. Meski Pradipta adalah anak tunggal, sejak kecil dia tetap dipanggil "Kakak," panggilan yang entah kenapa sudah melekat di keluarga kecil itu. Pradipta menoleh sedikit, ekspresinya datar. "Hem..." jawabnya singkat sambil terus fokus pada layar ponselnya, tidak terlihat terganggu sama sekali oleh teguran ayahnya. Arsen hanya bisa menggeleng kecil sambil duduk di meja makan, menyiapkan kopinya. Dia tahu persis kebiasaan putranya yang cenderung santai itu, tap
last updateLast Updated : 2025-01-29
Read more
PREV
123
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status