Sejujurnya, gue masih bingung setengah mati gimana caranya bisa lebih deket lagi sama Mas Arsen, si tetangga sexy itu. Basa-basi model apalagi yang harus gue katakan? Otak gue kayak kehabisan bahan. Semua ide yang tadinya terdengar brilian di kepala, sekarang cuma berakhir jadi wacana.Hari-hari gue jalanin sambil mikir, tapi kayaknya gak ada progres. Malah, udah sehari belakangan ini, sosok Mas Arsen kayak lenyap ditelan bumi. Gak keliatan sama sekali di sekitar rumah. Yang ada cuma anak SMA yang pertama kali gue liat waktu mereka pindahan. Beberapa kali dia keluar masuk rumah itu, tapi gue juga gak basa-basi sama dia. Mau bilang apa juga? "Halo, adek tetangga sexy?" Kan aneh banget.Di rumah, suasananya sepi. Ayah sibuk banget sama pasien-pasien di rumah sakit. Bunda? Jangan ditanya. Restoran selalu penuh, apalagi jam makan siang. Mas Abi? Dia bahkan jarang kelihatan karena sibuk sama kasus di firma hukumnya. Kakak perempuan gue? Ya, dia udah punya kehidupan sendiri, sibuk kerja dan
"Memangnya, dia suka apa, Mas? Hobi mungkin?" Gue mencoba gali informasi lebih jauh. Siapa tahu ada ide yang bisa gue bantu. Mas Arsen tetap fokus nyetir, tapi jawabannya keluar dengan nada santai. "Basket. Tapi sepatunya udah numpuk banyak, bola basket juga. Pokoknya, yang berbau basket sudah terlalu sering saya belikan, Ran." Gue manggut-manggut, pura-pura ngerti, padahal otak gue lagi kerja keras. Aduh, pusing juga, terus gue kasih saran apa dong ya? Masa gue bilang beliin jersey, padahal pasti dia juga udah punya. "Terus Mas, dia pernah bilang pengen apa gitu? Kayak benda tertentu, atau mungkin... sesuatu yang lagi dia suka banget akhir-akhir ini?" Gue nebak-nebak, berharap pertanyaan gue nggak terkesan bodoh. Mas Arsen berpikir sejenak, alisnya sedikit terangkat. "Dia pernah bilang suka sama kamera, sih. Tapi saya belum tahu dia serius atau cuma iseng ngomong aja." "Kamera? Wah, itu ide bagus, Mas! Kan bisa dipakai untuk banyak hal, nggak cuma foto-foto biasa." Gue lang
Gak lama kemudian, Mas Arsen balik sambil bawa dua gelas minuman. Dia nyodorin satu ke gue, jus mangga yang gue minta tadi. "Ini jus mangganya, Ran. Kamu makan aja dulu makanannya, jangan nungguin saya," katanya, duduk di seberang gue. "Oh iya, makasih, Mas," jawab gue sambil ngebuka bungkus makanan yang ada di depan. Akhirnya gue mulai makan, dan Mas Arsen juga nyusul. Dia makan sambil sesekali ngeliatin gue, dan gue yang ngerasa diliatin langsung canggung. "Kenapa, Mas? Ada yang aneh ya?" tanya gue sambil nyengir. Dia ketawa kecil sambil ngelap tangannya pake tisu. "Enggak kok. Cuma lucu aja, tadi di rumah kelihatan malu-malu banget, sekarang malah ceria gini." Gue langsung nyengir lebih lebar. "Ya iyalah, Mas. Kalau di rumah kan suasananya beda, suka awkward aja." "Awkward? Sama saya?" Dia angkat alis, kayak gak percaya. "Iya, lah! Tetangga baru, Mas. Gimana gak awkward?" Gue mencoba nyari alasan, walaupun dalam hati gue tahu banget alesannya bukan cuma itu. Dia cuma ke
Hari-hari Rania setelahnya terasa berubah. Segalanya mendadak terlihat lebih indah, penuh warna, seolah-olah dunia memutuskan untuk memberi bonus pemandangan yang lebih cerah hanya untuknya. Mood-nya terus saja baik setiap hari, bahkan hal-hal kecil yang biasanya bikin kesal sekarang terasa nggak seberapa. Di sudut hatinya, ia tahu apa yang menjadi alasan dari perasaan ini—Mas Arsen. Sementara itu, di sisi lain, Arsen memandang Rania sebagai sosok yang unik. Gadis itu punya gaya khas yang sulit dijelaskan, ada sesuatu dalam cara dia berbicara, cara dia tertawa, atau bahkan saat dia sekadar berjalan santai. Semua itu membuatnya tertarik dengan cara yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami. Ada rasa nyaman yang aneh tapi menyenangkan setiap kali ia berada di sekitar Rania, seakan-akan gadis itu punya kemampuan untuk menenangkannya tanpa perlu berkata apa-apa. Tapi bagi Arsen, hari-harinya masih diisi dengan kesibukan yang penuh tekanan. Pekerjaannya ada di lingkup yang tidak biasa, d
Tugas di meja kerja Arsen sudah menggunung. Setumpuk dokumen menanti untuk dianalisis, ditambah laporan-laporan yang harus ia tinjau sebelum rapat pagi. Rutinitas yang sibuk ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, tetapi bukan berarti ia terbiasa dengan tekanan yang terus-menerus. "Pagi, Pak Arsen. Meeting jam setengah sembilan, ya," ujar asistennya dengan nada ramah, berjalan melewatinya sambil membawa tumpukan berkas di tangan. Arsen hanya mengangguk, melirik sekilas jam di pergelangan tangan. Waktu masih cukup untuk ritual kecilnya sebelum tenggelam dalam pekerjaan. Ia berjalan ke arah pantry kantor, berharap secangkir kopi hitam bisa membantunya bertahan sepanjang hari. Di pantry, aroma kopi hangat sudah lebih dulu menyapa. Di sudut ruangan, berdiri Jaka, salah satu teman sejawatnya, sedang mengaduk kopi dengan santai. "Pagi, bro. Lo keliatan cerah banget pagi ini. Ada apa?" tanya Jaka sambil menoleh ke arah Arsen yang baru saja masuk. Arsen tersenyum tipis sambil menga
Gue duduk di balkon kamar, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Sepulang kuliah, pikiran gue malah melayang-layang, memikirkan hal yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Satu pertanyaan muncul di kepala gue: abis lulus kuliah, gue mau ngapain? Kerja? Lanjut S2? Tapi kenapa, kok, bayangan gue malah ujung-ujungnya sampai ke... nikah sama Mas Arsen? "Astaga, Rania. Haluuu banget sih lo," gue pukul kepala pelan-pelan pakai tangan sendiri, berharap halu gue bisa hilang secepat itu. Belum tentu juga, kan, Mas Arsen mau. Gue ngedumel sendiri, berusaha menormalkan pikiran. Tapi makin gue berusaha nggak mikir, malah makin terbayang wajah dia. Senyumnya, suaranya, caranya memperlakukan orang dengan santai tapi bikin nyaman... Meta bener. Siapa tau Mas Arsen itu cuma baik doang ke gue, bukan karena ada rasa apa-apa. Baik karena dia memang tipe orang yang seperti itu. Nggak ada niat lebih. Gue nunduk, ngetuk-ngetuk lantai balkon dengan jari, sambil nahan perasaan yang me
Setelah selesai makan sushi, gue memutuskan buat mandi. Rasanya badan udah lengket banget, apalagi habis seharian kuliah tadi. Baru aja keluar dari kamar mandi, ponsel gue bunyi. Ada pesan masuk dari Mas Arsen. "Kado yang kamu pilih buat anak saya sudah saya kasih, dan dia suka. Makasih atas usulannya, Ran."Hati gue langsung hangat pas baca pesan itu. Entah kenapa, rasanya seneng banget. Kayak akhirnya ada kontribusi gue yang berarti di hidup dia, walau cuma sekadar saran soal kado. Gue senyum sendiri, sambil duduk di pinggir kasur dan baca ulang pesan itu. Mata gue melirik ke arah jendela kamar. Dari sini, gue bisa lihat rumah Mas Arsen di seberang. Lampu di ruang tamu rumahnya masih menyala. Sosoknya nggak kelihatan, tapi pikiran gue udah melayang-layang ke arah dia. Mas Arsen tuh emang misterius banget. Kadang baik, kadang serius, tapi di saat yang sama selalu bikin gue penasaran. Apa sih sebenarnya yang ada di pikiran dia? Apa gue cuma tetangga biasa buat dia, atau... ada s
Arsen sedang sibuk merapikan jasnya di depan cermin besar di ruang tengah, bersiap untuk menghadiri pernikahan salah satu bawahannya di kantor. Suasana pagi di rumahnya terlihat tenang, hanya terdengar suara pelan dari tayangan di handphone Pradipta, anak tunggalnya, yang duduk santai di meja makan sambil menikmati sarapan. Sambil meraih sepotong roti dari meja dapur, Arsen berjalan mendekati putranya. Pandangannya tertuju pada piring sarapan yang nyaris tak disentuh. "Kak, makan jangan sambil main handphone," tegurnya lembut. Meski Pradipta adalah anak tunggal, sejak kecil dia tetap dipanggil "Kakak," panggilan yang entah kenapa sudah melekat di keluarga kecil itu. Pradipta menoleh sedikit, ekspresinya datar. "Hem..." jawabnya singkat sambil terus fokus pada layar ponselnya, tidak terlihat terganggu sama sekali oleh teguran ayahnya. Arsen hanya bisa menggeleng kecil sambil duduk di meja makan, menyiapkan kopinya. Dia tahu persis kebiasaan putranya yang cenderung santai itu, tap
Mas Arsen berdehem pelan, menarik perhatian gue yang masih pura-pura sibuk minum. Gue menoleh, menunggu dia bicara, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. "Lalu," katanya pelan, nadanya terdengar seolah dia lagi mikirin sesuatu. "Kalau dalam waktu dekat ada yang melamar kamu, gimana?" Gue hampir keselek minuman gue sendiri. "Ha?" Gue menatap dia dengan mata membesar. "Maksudnya, Mas?" Dia tetap tenang, pandangannya lurus ke depan, seolah pertanyaan itu bukan hal besar. "Ya, misalnya aja ada seseorang yang serius ingin melamar kamu. Apa kamu siap?" Jantung gue berdebar kencang. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, terlalu langsung, dan—tunggu, kenapa gue merasa ini bukan sekadar iseng? Gue tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Duh, Mas, pertanyaannya berat banget pagi-pagi gini." Arsen masih diam, tapi gue bisa merasakan kalau dia menunggu jawaban gue. Gue menarik napas dalam-dalam, mencoba menjawab dengan santai. "Kayaknya... aku belum kepikiran sejauh itu, si
Setelah pulang dari acara makan malam yang cukup panjang, gue ngerasa capek banget. Ayah dan Bunda udah langsung masuk ke kamar mereka, ngelanjutin istirahat setelah seharian penuh aktivitas. Gue pun masuk ke kamar, melemparkan tas di meja dan rebahan di tempat tidur, berharap bisa tidur cepat.Tapi, saat gue membuka handphone, tiba-tiba ada notifikasi chat dari Mas Arsen yang bikin gue berhenti sejenak. Gue langsung membuka pesan itu, membaca dengan cermat.Mas Arsen_Gimana makan malamnya? Seru nggak?_Gue terdiam beberapa detik, mikir dulu sebelum ngetik balasan. Makan malam tadi penuh dengan obrolan yang bikin gue penasaran, terutama setelah ketemu Mbak Savia. Tapi gue gak mau terlalu cerita banyak, takut dia malah makin bingung atau ngira gue terlalu over sharing.Akhirnya, gue ngetik singkat, berharap tetap terdengar santai. Me _Seru Mas, jarang-jarang ada family time kayak tadi. Mas gimana hari ini?_Setelah menekan tombol kirim, gue beranjak menuju kamar mandi, mau bersih-be
Begitu sampai di restoran, gue langsung keluar duluan, sementara Ayah dan Bunda menyusul dari belakang. "Ayo, malah berdiri di situ," kata Bunda, sedikit gak sabaran. Gue menghela napas, kenapa malah deg-degan sih? Padahal dulu waktu Mbak Risya ngenalin suaminya, gue gak gini-gini amat. Gue akhirnya ngekor aja di belakang Ayah dan Bunda yang jalan duluan. Dari kejauhan, gue melihat Mbak Risya melambai ke arah kami. Ya ampun, kangen banget!"Mbak!" seru gue, langsung mempercepat langkah. Begitu sampai di meja, gue langsung meluk Mbak Risya erat. "Mbak, udah lama banget gak ketemu! Kangen!" Dia ketawa kecil sambil membalas pelukan gue. "Mbak juga kangen banget sama kamu." Gue melepas pelukan dan langsung nanya, "Eh, Dara mana? Kok gak keliatan?" Dara, anak Mbak Risya yang masih satu tahunan itu, biasanya selalu ada di sekitar. "Oh, biasa, lagi di toilet sama Papanya," jawabnya santai. Sementara itu, Ayah dan Bunda bersalaman dengan Mbak Risya. Gue duduk di sampingnya dan
Suara pintu utama terbuka terdengar dari lantai atas. Gue langsung bangkit dari kasur dan turun ke bawah. Begitu sampai di ruang tamu, Ayah masih pakai jas dokternya, wajahnya keliatan capek tapi tetap tersenyum. "Ayah!" Gue langsung berlari ke arahnya, mencium tangannya, lalu beralih ke Bunda, mencium tangannya juga. "Adek!" Ayah menyambut gue dengan pelukan hangat. "Siap-siap ya, biar nanti gak buru-buru. Ayah harus balik ke rumah sakit lagi, ada jadwal operasi." Gue langsung cemberut. "Ih, Ayah sibuk banget! Padahal acara kayak gini jarang juga. Aku kan masih kangen!" Bunda ikut menimpali sambil melipat tangan di dada. "Tuh, dengerin, Pak Dokter. Kerja mulu, anak istri di rumah jadi nomer sekian." Ayah terkekeh kecil, melepas jasnya dan menggantungnya di sandaran kursi. "Bukan gitu, Sayang. Pasien gak bisa nunggu. Nanti Ayah buru-buru pulang kalau operasi selesai, ya?" Gue masih manyun, tapi tahu juga gak bisa ngapa-ngapain. "Pokoknya janji ya, Ayah gak boleh lama!" A
Gue berdeham pelan, nunggu siapa yang barusan ngomong sama Pradita. Suaranya berat, tapi kayaknya bukan suara yang familiar. Mas Arsen? Enggak, bukan. Apa suaranya berubah? Sosoknya akhirnya keluar dari dalam rumah. Cowok tinggi, keliatan masih muda, ekspresinya santai. "Siapa, Kak? Temen kamu?" tanyanya, nada suaranya ramah tapi matanya penuh selidik. Oh God. Bukan. Gue hampir aja refleks mundur karena kaget. Jantung gue langsung naik drastis. Pradita cuma mengangguk santai ke arah gue, "Tetangga sebelah." Lelaki itu—oke, gue baru ngeh sekarang—ternyata lumayan ganteng juga. Hehehe. Gue ngasihin wadah makanan ke tangan Pradita, terus menjulurkan tangan buat menjabat lelaki di dekatnya. "Saya Rania, tetangganya Pradita," gue ngenalin diri sambil tersenyum. "Saya Dewo, Omnya Pradita," katanya, suaranya lebih ramah dari ekspresi keponakannya yang tetap datar. Dia melirik wadah makanan yang gue bawa. "Ini, bua
"Gimana, barang buktinya sudah diterima semua?" tanya Arsen, langkahnya mantap menuju kubikel Anton, rekannya yang bertugas di bagian Penyidik Kriminal. Anton mengangguk, menyodorkan setumpuk laporan yang tertata rapi. "Sudah, Pak. Hari ini kita juga punya jadwal interogasi untuk tersangka bandar yang kemarin ditangkap," lapornya dengan nada serius. "Bagus," Arsen mengambil salah satu lembar laporan, matanya tajam menelusuri setiap detail yang tercetak di sana. Setiap nama, setiap keterkaitan dalam jaringan itu—semuanya berpotensi mengarah ke sesuatu yang lebih besar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam. "Pastikan kita nggak kecolongan. Gue mau semua titik yang mereka sebutin diawasi penuh," perintahnya akhirnya, suaranya tenang, tapi tegas. Anton mengangguk mantap. “Siap, Pak. Tim sudah disebar di beberapa lokasi yang dicurigai sebagai tempat transaksi. Kita tinggal tunggu perkembangan dari lapangan.” Arsen meletakkan laporan itu, menatap Anton
Suara riuh menyambut pagi Rania. Ia buru-buru keluar rumah, berpapasan dengan si Bibik yang juga tergesa-gesa menuju luar. "Ada apa, Bik? Kok rame banget?" tanyanya penasaran. Di luar, pemandangan yang tak biasa tersaji di depan matanya. Para warga komplek, yang biasanya jarang terlihat, kini berkerumun di depan salah satu rumah. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, rumah yang berjarak dua unit dari rumahnya dikepung oleh polisi dan tim BNN. Rania melangkah lebih dekat, mendengar bisik-bisik warga di sekelilingnya. "Katanya ada bandar narkoba, Mbak," seorang ibu-ibu berbisik pelan. Rania terbelalak. "Lho? Bandar narkoba?! Sejak kapan? Kok nggak ada yang tahu?" Matanya menyapu pemandangan di depannya. Beberapa petugas keamanan komplek tampak ikut berjaga, sementara wartawan mulai berdatangan, menyiarkan kejadian itu. Kehebohan pagi itu benar-benar di luar dugaan.Rania masih berdiri di tempatnya, mencoba mencerna situasi. Beberapa petugas tampak membawa barang bukti dalam
Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju taman kota. Sejak pulang dari kondangan tadi, Rania masih mati gaya di dalam mobil. Ajakan spontan dari Mas Arsen tadi membuatnya canggung, ia tak tahu harus membuka percakapan seperti apa. “Kok diem aja, Ran? Kamu sakit? Apa kita gak usah jalan-jalan aja?” tanya Arsen, melirik ke arah Rania sekilas dengan ekspresi khawatir. Rania tersentak, buru-buru menggeleng. “Ah? Gak kok, Mas! Aman aku.” “Beneran?” “Iya, Mas. Beneran, suer deh!” Rania berusaha mengubah nada suaranya agar tak terdengar terlalu gugup. Arsen tersenyum tipis. “Syukurlah. Saya kira kamu gak enak badan.” Mereka kembali terdiam sejenak, sampai Arsen kembali membuka suara. “By the way, umur kamu berapa? Saya belum nanya soal itu. Kalau gak mau jawab, gak apa-apa.” Rania mengerjapkan mata, sedikit heran dengan pertanyaan itu. “Mau kok, Mas! Saya dua puluh tahun.” Arsen, yang sedang fokus menyetir, tiba-tiba menoleh sekilas dengan ekspresi kaget. “Lho?! Serius?”
Sekelompok pria di sudut ruangan berseru memanggil nama Arsen. Pria itu langsung mengenali suara mereka—rekan-rekan kerjanya. Dengan langkah santai, ia menggandeng Rania mendekati grup kecil itu. "Bro! Widih, siapa nih? Masih muda, gue liat-liat!" seru salah satu dari mereka, pria berambut cepak dengan senyum penuh godaan. Yang lain ikut tertawa, jelas menikmati momen ini. Arsen hanya menghela napas pendek sebelum memperkenalkan Rania. "Kenalin, Ran. Ini teman-teman saya di kantor," ujarnya dengan nada tenang. "Yang ini Arga, yang di sebelahnya Praja, dan ini Halim." Rania tersenyum ramah, meski ada sedikit rasa gugup. "Halo, Mas. Saya Rania… salam kenal ya," sapanya sopan. Ketiganya saling bertukar pandang sejenak sebelum kembali tertawa kecil. "Santai aja, Rania. Lo bareng Arsen di sini, berarti udah spesial!" goda Halim dengan ekspresi jahil. Rania melirik Arsen sekilas, berusaha membaca reaksinya. Pria itu hanya tersenyum kecil tanpa membantah, membuat Rania semakin sala