Chapter: Bab 29Mas Arsen berdehem pelan, menarik perhatian gue yang masih pura-pura sibuk minum. Gue menoleh, menunggu dia bicara, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. "Lalu," katanya pelan, nadanya terdengar seolah dia lagi mikirin sesuatu. "Kalau dalam waktu dekat ada yang melamar kamu, gimana?" Gue hampir keselek minuman gue sendiri. "Ha?" Gue menatap dia dengan mata membesar. "Maksudnya, Mas?" Dia tetap tenang, pandangannya lurus ke depan, seolah pertanyaan itu bukan hal besar. "Ya, misalnya aja ada seseorang yang serius ingin melamar kamu. Apa kamu siap?" Jantung gue berdebar kencang. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, terlalu langsung, dan—tunggu, kenapa gue merasa ini bukan sekadar iseng? Gue tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Duh, Mas, pertanyaannya berat banget pagi-pagi gini." Arsen masih diam, tapi gue bisa merasakan kalau dia menunggu jawaban gue. Gue menarik napas dalam-dalam, mencoba menjawab dengan santai. "Kayaknya... aku belum kepikiran sejauh itu, si
Terakhir Diperbarui: 2025-02-20
Chapter: Bab 28Setelah pulang dari acara makan malam yang cukup panjang, gue ngerasa capek banget. Ayah dan Bunda udah langsung masuk ke kamar mereka, ngelanjutin istirahat setelah seharian penuh aktivitas. Gue pun masuk ke kamar, melemparkan tas di meja dan rebahan di tempat tidur, berharap bisa tidur cepat.Tapi, saat gue membuka handphone, tiba-tiba ada notifikasi chat dari Mas Arsen yang bikin gue berhenti sejenak. Gue langsung membuka pesan itu, membaca dengan cermat.Mas Arsen_Gimana makan malamnya? Seru nggak?_Gue terdiam beberapa detik, mikir dulu sebelum ngetik balasan. Makan malam tadi penuh dengan obrolan yang bikin gue penasaran, terutama setelah ketemu Mbak Savia. Tapi gue gak mau terlalu cerita banyak, takut dia malah makin bingung atau ngira gue terlalu over sharing.Akhirnya, gue ngetik singkat, berharap tetap terdengar santai. Me _Seru Mas, jarang-jarang ada family time kayak tadi. Mas gimana hari ini?_Setelah menekan tombol kirim, gue beranjak menuju kamar mandi, mau bersih-be
Terakhir Diperbarui: 2025-02-18
Chapter: Bab 27Begitu sampai di restoran, gue langsung keluar duluan, sementara Ayah dan Bunda menyusul dari belakang. "Ayo, malah berdiri di situ," kata Bunda, sedikit gak sabaran. Gue menghela napas, kenapa malah deg-degan sih? Padahal dulu waktu Mbak Risya ngenalin suaminya, gue gak gini-gini amat. Gue akhirnya ngekor aja di belakang Ayah dan Bunda yang jalan duluan. Dari kejauhan, gue melihat Mbak Risya melambai ke arah kami. Ya ampun, kangen banget!"Mbak!" seru gue, langsung mempercepat langkah. Begitu sampai di meja, gue langsung meluk Mbak Risya erat. "Mbak, udah lama banget gak ketemu! Kangen!" Dia ketawa kecil sambil membalas pelukan gue. "Mbak juga kangen banget sama kamu." Gue melepas pelukan dan langsung nanya, "Eh, Dara mana? Kok gak keliatan?" Dara, anak Mbak Risya yang masih satu tahunan itu, biasanya selalu ada di sekitar. "Oh, biasa, lagi di toilet sama Papanya," jawabnya santai. Sementara itu, Ayah dan Bunda bersalaman dengan Mbak Risya. Gue duduk di sampingnya dan
Terakhir Diperbarui: 2025-02-16
Chapter: Bab 26 Suara pintu utama terbuka terdengar dari lantai atas. Gue langsung bangkit dari kasur dan turun ke bawah. Begitu sampai di ruang tamu, Ayah masih pakai jas dokternya, wajahnya keliatan capek tapi tetap tersenyum. "Ayah!" Gue langsung berlari ke arahnya, mencium tangannya, lalu beralih ke Bunda, mencium tangannya juga. "Adek!" Ayah menyambut gue dengan pelukan hangat. "Siap-siap ya, biar nanti gak buru-buru. Ayah harus balik ke rumah sakit lagi, ada jadwal operasi." Gue langsung cemberut. "Ih, Ayah sibuk banget! Padahal acara kayak gini jarang juga. Aku kan masih kangen!" Bunda ikut menimpali sambil melipat tangan di dada. "Tuh, dengerin, Pak Dokter. Kerja mulu, anak istri di rumah jadi nomer sekian." Ayah terkekeh kecil, melepas jasnya dan menggantungnya di sandaran kursi. "Bukan gitu, Sayang. Pasien gak bisa nunggu. Nanti Ayah buru-buru pulang kalau operasi selesai, ya?" Gue masih manyun, tapi tahu juga gak bisa ngapa-ngapain. "Pokoknya janji ya, Ayah gak boleh lama!" A
Terakhir Diperbarui: 2025-02-14
Chapter: Bab 25Gue berdeham pelan, nunggu siapa yang barusan ngomong sama Pradita. Suaranya berat, tapi kayaknya bukan suara yang familiar. Mas Arsen? Enggak, bukan. Apa suaranya berubah? Sosoknya akhirnya keluar dari dalam rumah. Cowok tinggi, keliatan masih muda, ekspresinya santai. "Siapa, Kak? Temen kamu?" tanyanya, nada suaranya ramah tapi matanya penuh selidik. Oh God. Bukan. Gue hampir aja refleks mundur karena kaget. Jantung gue langsung naik drastis. Pradita cuma mengangguk santai ke arah gue, "Tetangga sebelah." Lelaki itu—oke, gue baru ngeh sekarang—ternyata lumayan ganteng juga. Hehehe. Gue ngasihin wadah makanan ke tangan Pradita, terus menjulurkan tangan buat menjabat lelaki di dekatnya. "Saya Rania, tetangganya Pradita," gue ngenalin diri sambil tersenyum. "Saya Dewo, Omnya Pradita," katanya, suaranya lebih ramah dari ekspresi keponakannya yang tetap datar. Dia melirik wadah makanan yang gue bawa. "Ini, bua
Terakhir Diperbarui: 2025-02-12
Chapter: Bab 24"Gimana, barang buktinya sudah diterima semua?" tanya Arsen, langkahnya mantap menuju kubikel Anton, rekannya yang bertugas di bagian Penyidik Kriminal. Anton mengangguk, menyodorkan setumpuk laporan yang tertata rapi. "Sudah, Pak. Hari ini kita juga punya jadwal interogasi untuk tersangka bandar yang kemarin ditangkap," lapornya dengan nada serius. "Bagus," Arsen mengambil salah satu lembar laporan, matanya tajam menelusuri setiap detail yang tercetak di sana. Setiap nama, setiap keterkaitan dalam jaringan itu—semuanya berpotensi mengarah ke sesuatu yang lebih besar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam. "Pastikan kita nggak kecolongan. Gue mau semua titik yang mereka sebutin diawasi penuh," perintahnya akhirnya, suaranya tenang, tapi tegas. Anton mengangguk mantap. “Siap, Pak. Tim sudah disebar di beberapa lokasi yang dicurigai sebagai tempat transaksi. Kita tinggal tunggu perkembangan dari lapangan.” Arsen meletakkan laporan itu, menatap Anton
Terakhir Diperbarui: 2025-02-09