Share

Bab 22

Author: Sils
last update Last Updated: 2025-02-03 01:04:04

Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju taman kota. Sejak pulang dari kondangan tadi, Rania masih mati gaya di dalam mobil. Ajakan spontan dari Mas Arsen tadi membuatnya canggung, ia tak tahu harus membuka percakapan seperti apa.

“Kok diem aja, Ran? Kamu sakit? Apa kita gak usah jalan-jalan aja?” tanya Arsen, melirik ke arah Rania sekilas dengan ekspresi khawatir.

Rania tersentak, buru-buru menggeleng. “Ah? Gak kok, Mas! Aman aku.”

“Beneran?”

“Iya, Mas. Beneran, suer deh!” Rania berusaha mengubah nada suaranya agar tak terdengar terlalu gugup.

Arsen tersenyum tipis. “Syukurlah. Saya kira kamu gak enak badan.”

Mereka kembali terdiam sejenak, sampai Arsen kembali membuka suara. “By the way, umur kamu berapa? Saya belum nanya soal itu. Kalau gak mau jawab, gak apa-apa.”

Rania mengerjapkan mata, sedikit heran dengan pertanyaan itu. “Mau kok, Mas! Saya dua puluh tahun.”

Arsen, yang sedang fokus menyetir, tiba-tiba menoleh sekilas dengan ekspresi kaget. “Lho?! Serius?”
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 23

    Suara riuh menyambut pagi Rania. Ia buru-buru keluar rumah, berpapasan dengan si Bibik yang juga tergesa-gesa menuju luar. "Ada apa, Bik? Kok rame banget?" tanyanya penasaran. Di luar, pemandangan yang tak biasa tersaji di depan matanya. Para warga komplek, yang biasanya jarang terlihat, kini berkerumun di depan salah satu rumah. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, rumah yang berjarak dua unit dari rumahnya dikepung oleh polisi dan tim BNN. Rania melangkah lebih dekat, mendengar bisik-bisik warga di sekelilingnya. "Katanya ada bandar narkoba, Mbak," seorang ibu-ibu berbisik pelan. Rania terbelalak. "Lho? Bandar narkoba?! Sejak kapan? Kok nggak ada yang tahu?" Matanya menyapu pemandangan di depannya. Beberapa petugas keamanan komplek tampak ikut berjaga, sementara wartawan mulai berdatangan, menyiarkan kejadian itu. Kehebohan pagi itu benar-benar di luar dugaan.Rania masih berdiri di tempatnya, mencoba mencerna situasi. Beberapa petugas tampak membawa barang bukti dalam

    Last Updated : 2025-02-06
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 1 - Tetangga Baru

    Dengan malas, gue buka gorden kamar. Sinar matahari langsung nyorot, bikin mata gue yang masih berat tambah pedes. Gue melirik jam dinding—baru juga jam delapan pagi. "Ah elah, berisik banget Bunda pagi-pagi gini," gumam gue. Bunda emang lagi heboh banget sejak subuh tadi. Mentang-mentang mau pergi arisan ke Bandung, malah gue yang di rusuhin. Padahal, jam kuliah gue masih jam sebelasan. Kan mumpung senggang, bisa kali gue tidur lebih lama. Tapi ya namanya juga Bunda, nggak ada remnya kalau udah sibuk. Gue menggerutu sambil keluar ke balkon kamar. Rambut gue udah kayak singa ngamuk, tapi bodo amat, nggak ada yang liat juga. Sambil nguap tipis-tipis, gue lirik ke arah jalanan depan rumah. Mata gue yang masih setengah melek langsung nangkep pemandangan baru. "Eh, rumah depan ada yang mau ngisi ya?" gumam gue sambil nyender ke pagar balkon. Di depan rumah tetangga yang selama ini kosong, ada dua mobil boks besar lagi parkir. Beberapa abang-abang pindahan sibuk nurunin barang-baran

    Last Updated : 2024-12-24
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 2 - Penasaran

    Mengingat perkataan barusan, Membuat gue ketawa sendiri sambil geleng-geleng kepala. "Ih, gue centil banget. Geli, asli." Gue bangun lagi, ngambil tas yang udah selesai gue packing, terus naruhnya di atas meja. Selesai beres-beres, gue liat treadmill yang ada di sudut kamar. Hmm, mumpung masih ada waktu, olahraga dulu kali ya. Setidaknya, biar badan gue nggak lemes-lemes amat kalau harus duduk lama di kampus nanti. Gue nyalain treadmill, atur kecepatan santai, terus mulai jalan cepat sambil nyalain musik dari speaker. Lagu upbeat ngiringin langkah gue, bikin semangat pagi ini lumayan kebangun. Dari bawah, samar-samar gue denger suara panci dan wajan di dapur. Bibik kayaknya lagi sibuk masak buat sarapan gue. "Mantep nih, pagi-pagi ada menu spesial lagi kayaknya," gumam gue sambil senyum kecil. Setelah beberapa menit treadmill, gue matiin mesinnya, terus ambil handuk kecil buat ngelap keringat. "Oke, sekarang mandi biar fresh." Gue jalan ke kamar mandi, sambil di kepala masih ad

    Last Updated : 2025-01-03
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 3 - Kepikiran terus

    Kelas hari ini cukup padat, apalagi ada beberapa kuis yang bikin kepala gue nyut-nyutan. Gue nunduk sedikit sambil mencatat di buku, sesekali melirik arloji di tangan kiri. Jarum jam udah nunjukin pukul enam sore. "Waduh, satu mata kuliah lagi ini. Kuat gak, ya?" pikir gue sambil menghela napas. Mata kuliah terakhir akhirnya selesai juga. Gue keluar dari kelas bareng beberapa teman, tapi kayak biasa, gue lebih suka cari makan sendiri. Rasa lapar mulai merayap, perut gue udah minta diisi. Langkah gue menuju kantin yang nggak terlalu jauh dari gedung kelas. Kantin kampus ini lumayan nyaman, walau udah mulai sepi karena jam kuliah sore udah hampir selesai. Gue langsung nyamperin salah satu stand makanan langganan. “Buk, es jeruk satu, sama sotonya ya,” kata gue sambil mengacungkan jari buat pesanan. “Iya, Mbak. Tunggu sebentar ya, sotonya masih anget baru aja mateng,” jawab si Ibu kantin dengan senyum ramah. Gue milih duduk di pojokan, tempat favorit gue kalau lagi mau send

    Last Updated : 2025-01-03
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 4 - Jadi rajin

    Tanpa sepengetahuan Rania, di balik jendela besar ruang depan rumah itu, sepasang mata tajam mengawasinya dengan tenang. Lelaki itu berdiri, menyandarkan bahu pada kusen, memperhatikan gerak-gerik Rania yang terlihat jelas dari balkon kamarnya. Senyum miring tersungging di bibirnya. "Lucu," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Setelah itu, ia berbalik, langkahnya tenang menuju taman belakang, meninggalkan jendela dan gadis yang tampak terlalu penasaran tersebut. Hari pun bergulir. Tapi pagi ini berbeda untuk Rania. Jam masih menunjukkan pukul lima subuh, namun dia sudah terbangun, bahkan dengan semangat yang jarang sekali dia rasakan. Biasanya jam segini dia masih meringkuk di bawah selimut, tapi kali ini? Rania sudah berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian olahraga. Legging hitam dan kaos olahraga yang pas di badan, rambut dikuncir sederhana. Dia menatap bayangannya di cermin sambil tersenyum tipis. "Eh, kenapa gue jadi semangat banget ya pagi ini? Aneh," gumamnya s

    Last Updated : 2025-01-03
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 5 - Bertabur Visual

    Dengan langkah pelan, gue jalan balik ke rumah setelah lari pagi yang lumayan bikin ngos-ngosan. Keringet udah bercucuran, rambut lengket ke leher, tapi yaudahlah, olahraga gitu lho. Cuman sialnya, target utama gue—si Om misterius nan hot itu—gak nongol sama sekali. “Ah, jangkriklah!” gue menggerutu pelan sambil ngelap peluh di dahi pake punggung tangan. Tapi terus gue ngedumel lagi, kali ini buat nenangin diri sendiri. "Gak apa-apa, ini kan baru percobaan pertama. Lagian, mungkin dia masih capek, abis pindahan pasti jetlag tuh, masih istirahat kali di dalam rumah." Begitu nyampe di depan cluster rumah, gue nyapa satpam kayak biasa. “Pagi, Pak!” “Pagi, Mbak Rania. Tumben lari pagi?” jawab Pak Satpam sambil senyum. “Iya, Pak. Lagi semangat aja!” gue nimpalin sambil nyengir. Tapi langkah gue tiba-tiba berhenti pas ngelirik ke arah mobil yang baru parkir di depan rumah tetangga baru. Itu mobil Civic. Gue liat pintu mobil kebuka, terus muncul sosok cowok. Wah, ini beda lagi dari O

    Last Updated : 2025-01-03
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 6 - Misi mencari tahu

    Gue itu tipikal manusia mager abis. Setelah lulus SMA, hidup gue tuh datar banget. Kuliah sih kuliah, tapi ya nggak ngoyo. Sesekali keluar rumah, paling cuma buat ngemall atau nongkrong bentar, abis itu pulang lagi. Mayoritas waktu gue habis di rumah, mager level dewa. Siang-siang jadi momen paling gue tunggu-tunggu. Apa lagi kalau bukan tidur siang? Rasanya surga banget, serius deh. Gue rebahan di kasur, narik selimut, dan langsung merem. Nggak peduli ada suara ribut dari kamar Mas Abi di sebelah—entah dia lagi main PS atau ngapain, gue tetep tidur nyenyak. Nggak ada yang bisa ganggu gue kalau udah masuk zona rebahan. Tapi dalam hati, gue tahu. Ini semua bukan cuma soal mager. Gue lagi ngumpulin tenaga, seriusan. Soalnya, gue punya misi mulia, kepoin tetangga baru yang sexy itu. Kalau dipikir-pikir, niat banget nggak sih gue? Tapi ya gimana dong, rasa penasaran ini nggak bisa diabaikan begitu aja. "Gue harus tau," gumam gue setengah ngelindur, sambil meluk bantal. Mata gue masih

    Last Updated : 2025-01-07
  • Om, Nikah Yuk!   Bab 7 - Misi dimulai

    Hari-hari berlalu, tapi gue tetep aja stuck mikirin cara buat deketin tetangga baru yang sexy itu. Rasanya tiap malem gue kepikiran, tiap pagi juga. Ya Allah, ini kenapa gue jadi kayak bucin begini sih?Siang itu gue lagi di kantin kampus, duduk sendirian sambil ngulet. Pikiran gue penuh sama bayangan si Om. Gimana ya caranya? Kenalan kek, nyapa kek, apalah yang nggak bikin gue keliatan kayak stalker akut. Tapi, otak gue yang mungil ini malah buntu.Udah seminggu sejak dia pindahan, dan gue selama itu cuma bisa liatin dia dari jauh. Kan tolol banget nggak sih? Gue perlu solusi. Cepet. Pas gue lagi ngelamun sambil mainin sedotan es teh, tiba-tiba meja di depan gue digebrak keras. BUK!"Gila lo, Ran! Ngelamun aja, kesurupan apa lo!" Meta, sahabat gue yang mulutnya lebih tajam dari pisau dapur, muncul entah dari mana. Dia duduk santai di depan gue, nyengir kayak nggak ada dosa."Gila, kaget gue!" gue refleks mau jambak rambutnya, tapi inget kalo dia sahabat gue. Gue tahan diri, demi pe

    Last Updated : 2025-01-08

Latest chapter

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 23

    Suara riuh menyambut pagi Rania. Ia buru-buru keluar rumah, berpapasan dengan si Bibik yang juga tergesa-gesa menuju luar. "Ada apa, Bik? Kok rame banget?" tanyanya penasaran. Di luar, pemandangan yang tak biasa tersaji di depan matanya. Para warga komplek, yang biasanya jarang terlihat, kini berkerumun di depan salah satu rumah. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, rumah yang berjarak dua unit dari rumahnya dikepung oleh polisi dan tim BNN. Rania melangkah lebih dekat, mendengar bisik-bisik warga di sekelilingnya. "Katanya ada bandar narkoba, Mbak," seorang ibu-ibu berbisik pelan. Rania terbelalak. "Lho? Bandar narkoba?! Sejak kapan? Kok nggak ada yang tahu?" Matanya menyapu pemandangan di depannya. Beberapa petugas keamanan komplek tampak ikut berjaga, sementara wartawan mulai berdatangan, menyiarkan kejadian itu. Kehebohan pagi itu benar-benar di luar dugaan.Rania masih berdiri di tempatnya, mencoba mencerna situasi. Beberapa petugas tampak membawa barang bukti dalam

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 22

    Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju taman kota. Sejak pulang dari kondangan tadi, Rania masih mati gaya di dalam mobil. Ajakan spontan dari Mas Arsen tadi membuatnya canggung, ia tak tahu harus membuka percakapan seperti apa. “Kok diem aja, Ran? Kamu sakit? Apa kita gak usah jalan-jalan aja?” tanya Arsen, melirik ke arah Rania sekilas dengan ekspresi khawatir. Rania tersentak, buru-buru menggeleng. “Ah? Gak kok, Mas! Aman aku.” “Beneran?” “Iya, Mas. Beneran, suer deh!” Rania berusaha mengubah nada suaranya agar tak terdengar terlalu gugup. Arsen tersenyum tipis. “Syukurlah. Saya kira kamu gak enak badan.” Mereka kembali terdiam sejenak, sampai Arsen kembali membuka suara. “By the way, umur kamu berapa? Saya belum nanya soal itu. Kalau gak mau jawab, gak apa-apa.” Rania mengerjapkan mata, sedikit heran dengan pertanyaan itu. “Mau kok, Mas! Saya dua puluh tahun.” Arsen, yang sedang fokus menyetir, tiba-tiba menoleh sekilas dengan ekspresi kaget. “Lho?! Serius?”

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 21

    Sekelompok pria di sudut ruangan berseru memanggil nama Arsen. Pria itu langsung mengenali suara mereka—rekan-rekan kerjanya. Dengan langkah santai, ia menggandeng Rania mendekati grup kecil itu. "Bro! Widih, siapa nih? Masih muda, gue liat-liat!" seru salah satu dari mereka, pria berambut cepak dengan senyum penuh godaan. Yang lain ikut tertawa, jelas menikmati momen ini. Arsen hanya menghela napas pendek sebelum memperkenalkan Rania. "Kenalin, Ran. Ini teman-teman saya di kantor," ujarnya dengan nada tenang. "Yang ini Arga, yang di sebelahnya Praja, dan ini Halim." Rania tersenyum ramah, meski ada sedikit rasa gugup. "Halo, Mas. Saya Rania… salam kenal ya," sapanya sopan. Ketiganya saling bertukar pandang sejenak sebelum kembali tertawa kecil. "Santai aja, Rania. Lo bareng Arsen di sini, berarti udah spesial!" goda Halim dengan ekspresi jahil. Rania melirik Arsen sekilas, berusaha membaca reaksinya. Pria itu hanya tersenyum kecil tanpa membantah, membuat Rania semakin sala

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 20

    Arsen sedang sibuk merapikan jasnya di depan cermin besar di ruang tengah, bersiap untuk menghadiri pernikahan salah satu bawahannya di kantor. Suasana pagi di rumahnya terlihat tenang, hanya terdengar suara pelan dari tayangan di handphone Pradipta, anak tunggalnya, yang duduk santai di meja makan sambil menikmati sarapan. Sambil meraih sepotong roti dari meja dapur, Arsen berjalan mendekati putranya. Pandangannya tertuju pada piring sarapan yang nyaris tak disentuh. "Kak, makan jangan sambil main handphone," tegurnya lembut. Meski Pradipta adalah anak tunggal, sejak kecil dia tetap dipanggil "Kakak," panggilan yang entah kenapa sudah melekat di keluarga kecil itu. Pradipta menoleh sedikit, ekspresinya datar. "Hem..." jawabnya singkat sambil terus fokus pada layar ponselnya, tidak terlihat terganggu sama sekali oleh teguran ayahnya. Arsen hanya bisa menggeleng kecil sambil duduk di meja makan, menyiapkan kopinya. Dia tahu persis kebiasaan putranya yang cenderung santai itu, tap

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 19

    Setelah selesai makan sushi, gue memutuskan buat mandi. Rasanya badan udah lengket banget, apalagi habis seharian kuliah tadi. Baru aja keluar dari kamar mandi, ponsel gue bunyi. Ada pesan masuk dari Mas Arsen. "Kado yang kamu pilih buat anak saya sudah saya kasih, dan dia suka. Makasih atas usulannya, Ran."Hati gue langsung hangat pas baca pesan itu. Entah kenapa, rasanya seneng banget. Kayak akhirnya ada kontribusi gue yang berarti di hidup dia, walau cuma sekadar saran soal kado. Gue senyum sendiri, sambil duduk di pinggir kasur dan baca ulang pesan itu. Mata gue melirik ke arah jendela kamar. Dari sini, gue bisa lihat rumah Mas Arsen di seberang. Lampu di ruang tamu rumahnya masih menyala. Sosoknya nggak kelihatan, tapi pikiran gue udah melayang-layang ke arah dia. Mas Arsen tuh emang misterius banget. Kadang baik, kadang serius, tapi di saat yang sama selalu bikin gue penasaran. Apa sih sebenarnya yang ada di pikiran dia? Apa gue cuma tetangga biasa buat dia, atau... ada s

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 18

    Gue duduk di balkon kamar, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Sepulang kuliah, pikiran gue malah melayang-layang, memikirkan hal yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Satu pertanyaan muncul di kepala gue: abis lulus kuliah, gue mau ngapain? Kerja? Lanjut S2? Tapi kenapa, kok, bayangan gue malah ujung-ujungnya sampai ke... nikah sama Mas Arsen? "Astaga, Rania. Haluuu banget sih lo," gue pukul kepala pelan-pelan pakai tangan sendiri, berharap halu gue bisa hilang secepat itu. Belum tentu juga, kan, Mas Arsen mau. Gue ngedumel sendiri, berusaha menormalkan pikiran. Tapi makin gue berusaha nggak mikir, malah makin terbayang wajah dia. Senyumnya, suaranya, caranya memperlakukan orang dengan santai tapi bikin nyaman... Meta bener. Siapa tau Mas Arsen itu cuma baik doang ke gue, bukan karena ada rasa apa-apa. Baik karena dia memang tipe orang yang seperti itu. Nggak ada niat lebih. Gue nunduk, ngetuk-ngetuk lantai balkon dengan jari, sambil nahan perasaan yang me

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 17

    Tugas di meja kerja Arsen sudah menggunung. Setumpuk dokumen menanti untuk dianalisis, ditambah laporan-laporan yang harus ia tinjau sebelum rapat pagi. Rutinitas yang sibuk ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, tetapi bukan berarti ia terbiasa dengan tekanan yang terus-menerus. "Pagi, Pak Arsen. Meeting jam setengah sembilan, ya," ujar asistennya dengan nada ramah, berjalan melewatinya sambil membawa tumpukan berkas di tangan. Arsen hanya mengangguk, melirik sekilas jam di pergelangan tangan. Waktu masih cukup untuk ritual kecilnya sebelum tenggelam dalam pekerjaan. Ia berjalan ke arah pantry kantor, berharap secangkir kopi hitam bisa membantunya bertahan sepanjang hari. Di pantry, aroma kopi hangat sudah lebih dulu menyapa. Di sudut ruangan, berdiri Jaka, salah satu teman sejawatnya, sedang mengaduk kopi dengan santai. "Pagi, bro. Lo keliatan cerah banget pagi ini. Ada apa?" tanya Jaka sambil menoleh ke arah Arsen yang baru saja masuk. Arsen tersenyum tipis sambil menga

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 16

    Hari-hari Rania setelahnya terasa berubah. Segalanya mendadak terlihat lebih indah, penuh warna, seolah-olah dunia memutuskan untuk memberi bonus pemandangan yang lebih cerah hanya untuknya. Mood-nya terus saja baik setiap hari, bahkan hal-hal kecil yang biasanya bikin kesal sekarang terasa nggak seberapa. Di sudut hatinya, ia tahu apa yang menjadi alasan dari perasaan ini—Mas Arsen. Sementara itu, di sisi lain, Arsen memandang Rania sebagai sosok yang unik. Gadis itu punya gaya khas yang sulit dijelaskan, ada sesuatu dalam cara dia berbicara, cara dia tertawa, atau bahkan saat dia sekadar berjalan santai. Semua itu membuatnya tertarik dengan cara yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami. Ada rasa nyaman yang aneh tapi menyenangkan setiap kali ia berada di sekitar Rania, seakan-akan gadis itu punya kemampuan untuk menenangkannya tanpa perlu berkata apa-apa. Tapi bagi Arsen, hari-harinya masih diisi dengan kesibukan yang penuh tekanan. Pekerjaannya ada di lingkup yang tidak biasa, d

  • Om, Nikah Yuk!   Bab 15

    Gak lama kemudian, Mas Arsen balik sambil bawa dua gelas minuman. Dia nyodorin satu ke gue, jus mangga yang gue minta tadi. "Ini jus mangganya, Ran. Kamu makan aja dulu makanannya, jangan nungguin saya," katanya, duduk di seberang gue. "Oh iya, makasih, Mas," jawab gue sambil ngebuka bungkus makanan yang ada di depan. Akhirnya gue mulai makan, dan Mas Arsen juga nyusul. Dia makan sambil sesekali ngeliatin gue, dan gue yang ngerasa diliatin langsung canggung. "Kenapa, Mas? Ada yang aneh ya?" tanya gue sambil nyengir. Dia ketawa kecil sambil ngelap tangannya pake tisu. "Enggak kok. Cuma lucu aja, tadi di rumah kelihatan malu-malu banget, sekarang malah ceria gini." Gue langsung nyengir lebih lebar. "Ya iyalah, Mas. Kalau di rumah kan suasananya beda, suka awkward aja." "Awkward? Sama saya?" Dia angkat alis, kayak gak percaya. "Iya, lah! Tetangga baru, Mas. Gimana gak awkward?" Gue mencoba nyari alasan, walaupun dalam hati gue tahu banget alesannya bukan cuma itu. Dia cuma ke

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status