Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of KEMBALINYA SANG RATU: Chapter 101 - Chapter 110

134 Chapters

Bab 100: Peluang Baru, Janji yang Terukir

Di balik riuh globalisasi yang menggemparkan, di mana pusat pertumbuhan Amerika Serikat berusaha memikul beban pembangunan dengan keras namun penuh perlawanan, terbitlah harapan baru bagi tanah yang telah lama menyimpan kisah abadi—Buton. Di negeri yang tak pernah lelah menatap cakrawala, Lintang berdiri di ambang perubahan, menyaksikan dunia yang bergolak dengan ambisi dan kepentingan yang tak terhingga, namun juga penuh dengan idealisme yang menyala-nyala.Pusat pertumbuhan AS, yang dulu menjadi simbol kekuatan ekonomi dunia, kini menghadapi perlawanan global yang menentang arus dominasi globalisme yang menindas keberagaman. Dalam simfoni kekacauan itu, muncul peluan-peluang bagi bangsa yang telah lama terlupakan oleh kebijakan dunia, di mana nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal kembali menggema sebagai benteng yang melindungi identitas dan martabat manusia.Di Amerika, kebijakan proteksionis memicu serangkaian kenaikan tarif dagang, menggoyahkan pasar gl
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more

Bab 101 — Diplomasi Daun dan Aroma Hutan

Mentari menetes perlahan dari sela-sela kanopi Hutan Lambusango, mengurai embun menjadi kristal bening yang memantulkan warna-warni alam. Di antara desir angin yang membawa aroma tanah basah dan daun mengering, Lintang berjalan menyusuri jalan setapak yang telah ditumbuhi semak bunga liar. Setiap langkahnya seperti membuka lembaran baru dalam kitab alam yang telah lama tertutup, seolah pohon-pohon tua itu menyambutnya kembali dalam pelukan sunyi yang menyimpan ribuan rahasia.Hutan ini bukan sekadar rimba belantara, melainkan perpustakaan hidup. Di sinilah peradaban tersirat dalam suara-suara burung yang bersahutan, dalam diamnya jamur yang tumbuh di batang kayu lapuk, dan dalam kehadiran tumbuhan langka yang tumbuh tanpa pernah disapa dunia luar. Lambusango menyimpan harta tak ternilai—bukan emas atau logam mulia, melainkan hasil hutan non-kayu yang menjadi cermin dari peradaban l
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

Bab 123 – Di Bawah Bayang Beruang Merah dan Makam Imam Bukhari

Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langit
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

Bab 102 – Singgasana yang Mendengar Daun Jatuh

 Langit Jakarta pagi itu berwarna seperti surat yang belum ditulis—putih, kosong, namun menjanjikan makna. Di bawah naungan awan yang menggantung diam, Istana Negara berdiri megah, tak berubah sejak abad lampau, menjadi saksi naik-turunnya suara rakyat dan bisu-bisunya kekuasaan. Namun hari itu, suara yang akan menggema berasal dari arah yang tak terduga: suara daun, suara tanah, suara yang biasanya tenggelam oleh gelegar mesin dan suara pasar saham.Lintang mengenakan kain tenun Buton dengan motif sulur laut dan akar pohon, disematkan pin perak berbentuk rempah cengkeh—lambang dagang masa silam yang kini ingin ia hidupkan kembali dalam narasi baru. Di hadapannya, jajaran menteri, duta besar, dan para pemimpin industri telah menunggu. Mereka mengira akan mendengar laporan bisnis biasa. Mereka salah.Lintang berdiri tegak. Nafasnya pelan seperti angin selatan yang mengantar kabut ke Lambusango. Ia tahu, ia bukan sekadar membawa riset, data, dan
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

Bab 103 – Di Tengah Riuh Dunia yang Terguncang

Langit dunia sedang keruh. Di utara, bayang-bayang perang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat nadi ekonomi global. Di barat, Amerika Serikat sibuk dengan retorika nasionalisme ekonomi, menaikkan tarif demi menyelamatkan industri yang sudah uzur. Di timur, Tiongkok merespons dengan penguatan ekonomi dalam negeri, membangun tembok-tembok halus dari kebijakan dan pasar digital.Krisis moneter mengintai seperti gelombang pasang yang mendekat pelan-pelan tapi pasti. Pasar-pasar dunia yang dulu riuh dengan perdagangan bebas kini berselimut ketidakpastian. Lintang, yang telah menginjakkan kaki di berbagai ruang kekuasaan, tahu bahwa dunia sedang mencari arah baru. Tapi di tengah badai, ia tidak ingin berlindung. Ia ingin menanam layar.Bersama tim kecilnya—yang terdiri dari pemuda Wakatobi, penenun Sumba, pedagang k
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

Bab 104 – Madrasah Langit, Sekolah dari Akar

Malam turun perlahan, seperti seorang guru tua yang menyibak pintu kelas tanpa suara. Di halaman Lambusango, di tengah hutan yang disiram cahaya bulan, Lintang berdiri di antara anak-anak muda yang memegang lentera, buku catatan, dan potongan kayu dengan ukiran simbol-simbol tua. Mereka bukan sekadar murid. Mereka adalah penerus cerita. Penerus jiwa.“Dunia telah lama mengajar kita cara menjual,” ujar Lintang lirih, suaranya seperti angin yang menari di sela-sela dedaunan. “Kini saatnya kita belajar bagaimana memberi.”Malam itu, ia meresmikan Madrasah Langit, sebuah sekolah tanpa tembok, tanpa pagar, dan tanpa jarak antara guru dan alam. Di sini, pelajaran tidak berasal dari buku semata, tapi dari batu, sungai, bau tanah setelah hujan, dan lagu yang disimpan angin dalam lubang-lubang bambu.Lintang tidak ingin membangun sekolah yang mengejar kurikulum global. Ia ingin membangun sekolah yang mengejar kearifan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah sekolah
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more

Bab 105 — Napas yang Menjaga Peradaban

Di bawah langit jingga yang mulai merunduk ke peluk senja, langkah Lintang menyusuri jalur setapak Lambusango seolah menari dalam irama yang tak kasat mata. Daun-daun mengayun pelan, seperti menyambutnya dengan kidung rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti makna keheningan. Hutan itu tidak sekadar rimba—ia adalah kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca dengan hati.Udara lembap dan wangi resin dari pohon-pohon tua memenuhi dada. Ada keheningan yang tidak mati, melainkan tumbuh, seperti akar yang terus menyerap kearifan bumi. Di sinilah, di tengah jantung Lambusango, Lintang bersama timnya melakukan riset intensif mengenai hasil hutan non-kayu—resin, rotan, madu hutan, hingga tumbuhan obat yang disimpan oleh rimba dalam sunyi panjangnya.Mereka bukan sekadar peneliti. Mereka adalah para pembaca tanah, penyair bumi yang menuliskan ulang masa depan bukan dengan tinta, melainkan dengan dedikasi dan cinta. Lintang memandangi sebotol kecil madu
last updateLast Updated : 2025-04-16
Read more

Bab 106 — Di Antara Salju dan Api: Percakapan yang Menenun Harapan

 Langit Lambusango pagi itu berwarna kelabu lembut, seperti abu dupa yang naik dari altar doa. Hutan tampak lebih sunyi dari biasanya, seakan ikut menghela napas panjang dunia. Lintang duduk di bale bambu, di depan layar komputer yang memantulkan cahaya pucat. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau pelan, menandai bahwa hari baru telah dimulai, meski dunia belum benar-benar damai.Ia membuka ruang pertemuan daring internasional—sebuah diskusi lintas budaya yang melibatkan para sahabatnya dari Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat. Mereka tidak hadir sebagai wakil negara, tetapi sebagai anak-anak zaman yang ingin menjahit kembali kain dunia yang mulai koyak.Suara pertama datang dari Timur yang beku.“Halo, Lintang. Salju pertama turun kemarin,” ujar Mikhail, pemuda Rusia yang selalu berbicara seolah membawa denting lonceng gereja ortodoks. “Tapi yang dingin bukan hanya langit kami
last updateLast Updated : 2025-04-17
Read more

Bab 107 — Meja Bundar dari Pinggiran Dunia

 Hutan Lambusango masih berselimut embun pagi. Aroma tanah basah dan kayu tua mengalun perlahan seperti bait puisi purba. Di sebuah rumah panggung kayu, di tengah bentangan hijau yang tak pernah memihak siapa pun, Lintang duduk di depan layar, menyambut dunia.Hari ini, layar itu menjadi meja bundar virtual. Tapi bukan meja milik kekuasaan, bukan juga milik konferensi besar yang dikelilingi jas dan dasi. Ini adalah meja milik suara-suara kecil dari pelosok yang mulai berbicara, menolak dibungkam oleh jargon-jargon global.Lintang membuka pertemuan daring. Di layar muncul wajah-wajah dari benua yang berbeda—ada Mikhail dari Rusia, Alina dari Ukraina, Elias dari Jerman, dan kini bergabung pula wajah baru: Robert McAllister dari Amerika Serikat, Gao Yixuan dari China, Selene Ortega dari Meksiko, dan Camille Dupuis dari Kanada.Lintang membuka dengan senyum ya
last updateLast Updated : 2025-04-17
Read more

Bab 108 — Madrasah Langit dan Akar yang Memanggil

Angin dari selatan menggulung pelan, membawa wangi laut dan sisa embun hutan. Di halaman rumah kayu yang terpahat di bibir tebing, suara burung murai bersahut seperti zikir pagi yang tak putus. Di sana, di bawah atap yang teduh oleh pohon mangga tua, Lintang duduk berhadapan dengan dua wajah yang telah lama ia kenali, namun baru kini ia pandang sepenuh makna: Sinta, ibunya—wanita berdarah Melanesia dan Bangladeshi yang matanya menyimpan luka dan keberanian, serta Jun Hoo, ayahnya—lelaki berdarah Korea Selatan yang rambutnya telah memutih, namun sorotnya masih jernih seperti riak danau.Pertemuan ini bukan hanya temu darah, melainkan temu jiwa yang telah lama mencari ruang untuk bicara tanpa kata-kata tertunda.“Lintang...” Sinta meraih tangan putrinya dengan gemetar, seakan takut tangan itu hanya mimpi. “Kau datang tepat saat dunia mulai membuka pintu langit.”Lintang tersenyum. “Aku dat
last updateLast Updated : 2025-04-18
Read more
PREV
1
...
91011121314
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status