Home / Fiksi Remaja / Pacarku Si Ketua OSIS / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Pacarku Si Ketua OSIS: Chapter 21 - Chapter 30

35 Chapters

Pengumuman Arga

Suasana di kantin mendadak terasa dingin setelah Dina berbalik pergi dengan wajah yang marah. Aku bisa melihat jelas bagaimana sorot matanya berubah ketika Arga membelaku tadi. Dina tampak seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku tahu, sikapnya yang seolah menantang itu tak akan berhenti di sini. Di sudut mataku, aku melihat dia menghentakkan kakinya saat berjalan menjauh dengan genggaman tangannya yang terkepal rapat. Aku menoleh ke arah Arga yang kini berdiri di sampingku, masih dengan tatapan yang penuh ketenangan. Namun, di balik ketenangan itu aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya. "Arga... kamu nggak apa-apa?" tanyaku dengan nada pelan, takut jika pertanyaan itu malah menambah bebannya. Arga menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku nggak apa-apa, Nay. Aku hanya merasa... bersalah." "Bersalah?" ulangku bingung. "Kenapa? Kamu kan cuma membela aku." "Ya, aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau Dina
Read more

Rencana Balas Dendam Dina

Aku kembali ke sekolah dengan perasaan yang senang. Di gerbang sana, Arga menungguku dengan senyum manisnya. "Pagi, Nay," sapanya lembut. Aku tersenyum dan langsung membalasnya. "Pagi, Arga."Suasana di antara kami terasa lebih ringan setelah kejadian kemarin di kantin."Ayo, aku antar kamu ke kelas," ujar Arga sambil mengenggam tanganku erat. Aku bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan di sana, seolah-olah dia ingin memastikan aku baik-baik saja. Namun, di dalam diriku aku tahu akan ada badai besar yang sedang menantiku.Aku mencoba tersenyum pada Arga, mencoba menunjukkan bahwa aku baik-baik saja meskipun sebenarnya pikiranku masih sibuk dengan tatapan penuh amarah Dina. Dina tidak pernah suka denganku, itu jelas. Tapi setelah pengumuman Arga di kantin kemarin, aku tahu dia akan semakin gila untuk membuatku menderita.Saat kami berjalan menuju kelas, Maya datang berlari kecil mendekati kami. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak khawatir. Aku bisa melihat ada sesuatu yang
Read more

Dina Memang Pelakunya

Setelah Dina pergi, aku terduduk kembali di kursiku. Tanganku gemetar hebat, tapi aku berusaha keras untuk menenangkan diri. Arga masih di sampingku, tapi suasana di antara kami terasa lebih berat."Nayla, apa kamu yakin tidak kenal cowok di foto itu?" Arga bertanya pelan, tapi aku bisa merasakan keraguan dalam suaranya.Aku mengangguk, berusaha menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk mataku. "Aku benar-benar nggak tahu siapa dia, Arga. Seseorang pasti mengeditnya. Dina ingin menghancurkan aku."Arga menarik napas panjang, lalu menggenggam tanganku. "Aku percaya sama kamu, tapi kita harus berhati-hati. Kita harus cari cara untuk buktikan kalau ini semua fitnah."Aku tersenyum samar. Di satu sisi, aku lega Arga masih ada di sisiku, tapi di sisi lain aku tahu bahwa keraguan sudah mulai muncul di pikirannya.---Sepulang sekolah, aku berjalan cepat keluar gerbang berharap bisa langsung pulang dan melupakan kejadian hari ini. Semua gosip dan bisik-bisik di lorong membuatku merasa
Read more

Arga Jangan Sampai Terlibat

Setelah Dina pergi, pikiranku berkecamuk. Aku tahu ancamannya bukan main-main. Ayah Arga bekerja untuk ayahnya Dina? Itu membuat segalanya jadi lebih rumit. Jika aku melawan, bisa-bisa bukan hanya hidupku yang hancur, tapi juga hidup Arga dan keluarganya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tapi diam saja? Tidak. Aku tidak akan biarkan Dina menang dengan mudah. Aku harus melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan Arga. Aku berjalan cepat menuju halte bus dekat sekolah, berharap bisa segera sampai rumah dan menenangkan pikiran. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Maya berdiri di depan halte. Dia melambai, dan ekspresi khawatir terlihat jelas di wajahnya. "Nayla! Ada apa? Kamu kelihatan pucat," katanya sambil mendekatiku. Aku terdiam sejenak, menatap sahabatku itu. Maya selalu ada di sisiku, tapi kali ini aku ragu untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dina terlalu berbahaya, dan aku tidak ingin melibatkan siapa pun terutama Arga. Namun, rasa cemas yang sema
Read more

Papa Nayla Sakit

Aku dan Maya baru saja menyusun rencana untuk melawan Dina, dan aku merasa sedikit lega. Tapi di dalam hatiku, rasa cemas masih bergejolak. Dina bukan seseorang yang bisa dianggap enteng. Apalagi sekarang dia sudah melibatkan Arga dan keluarganya. Segalanya jadi jauh lebih rumit lagi.Setelah sampai di halte bus, aku dan Maya berpisah. Maya pulang ke rumahnya, sementara aku menunggu bus yang akan membawaku pulang. Pikiranku melayang-layang, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Apa yang harus kulakukan jika Dina benar-benar menjalankan ancamannya? Bagaimana caranya agar aku bisa melindungi Arga tanpa membuatnya terlibat?Bus akhirnya datang, dan aku duduk di salah satu kursi di dekat jendela. Aku memandang keluar, tapi pemandangan jalan yang biasanya aku nikmati terasa hambar hari ini. Bayangan Dina dan ancamannya terus menggangguku. Sekolah, Arga, dan masa depanku semuanya berada di ujung tanduk. ---Ketika aku tiba di rumah, keheningan menyambutku. Tidak ada suara
Read more

Papa Harus Sembuh

Hatiku masih terasa seperti dihantam palu berat ketika aku dan Mama duduk di bangku ruang tunggu rumah sakit. Isak tangis Mama yang menggema di kepalaku membuatku sadar bahwa aku harus kuat, setidaknya untuk saat ini. Dalam benakku, aku terus mengulang-ulang kalimat yang kukatakan pada Papa "Papa harus kuat. Kami ada di sini untuk Papa".Di tengah kesunyian itu, suara ponselku berdering menggetarkan tasku. Nama Arga muncul di layar. Aku mendesah pelan. Ini bukan waktunya! Aku tidak ingin diganggu. Bukan karena aku tidak peduli, bahkan sekarang aku tidak bisa mengurus diriku sendiri. Apalagi menjelaskan situasiku pada orang lain.Dengan tangan gemetar, aku mengabaikan teleponnya dan memasukkan ponselku kembali ke dalam tas. Sekarang, yang paling penting adalah Papa. Masalahku dengan Arga dan Dina, terasa begitu sepele dibandingkan dengan nyawa Papa yang kini di ujung tanduk. Aku mencoba menenangkan diri, tetapi rasa takut terus menggerogoti pikiranku.“Papa akan baik-baik saja, M
Read more

Nayla Mau Dijodohkan

Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku
Read more

Kenapa Harus Dia?

Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Read more

Bara Kakaknya Dina!

Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Read more

Apakah Ada Pilihan Lain?

Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status