Semua Bab Nafkah 50 Ribu Rupiah: Bab 11 - Bab 15
15 Bab
11. Ancaman Ibu
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
Baca selengkapnya
12. Jebakan Ibu
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
Baca selengkapnya
13. Wanita Penuh Drama
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
Baca selengkapnya
14. Akal Bulus
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
Baca selengkapnya
15. Pucat
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status