All Chapters of Kukira Satu-Satunya, Ternyata Aku Istri Kedua: Chapter 121 - Chapter 130

151 Chapters

BAB 121 — MENGINAP

"Bicara apa?"Janu mengalihkan pandangannya sejenak ke arah anak-anak yang sibuk bermain di ruang tengah, sebelum merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya.Sebuah kotak beludru berwarna merah. Janu lalu memberikan kotak itu kepada Gemintang. Apa ini?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih pelan, matanya menyelidik.“Hanya hadiah kecil,” ujar Janu sambil menatapnya lembut. “Aku tidak sengaja melihatnya saat di mall tadi. Aku harap kamu suka.”Gemintang membuka kotak itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah gelang emas sederhana yang berkilau di dalamnya. Gelang itu tidak mewah, tidak besar, tetapi dibuat dengan desain yang halus dan minimalis.Gemintang menatap gelang itu dengan pandangan penuh keraguan. “Kamu tidak perlu memberiku hadiah. Cukup anak-anak saja,” katanya lalu mengembalikannya lagi pada Janu, tetapi pria itu menahannya.“Anggap saja, sebagai rasa terima kasih, karena sudah mengijinkan aku bertemu dengan anak-anak beberapa hari ini.”“Terima kasih,” jawab Gemintang
Read more

BAB 122 — IBU JANGAN KHAWATIR

Janu terdiam sejenak, tertegun melihat Gemintang yang akhirnya mengangguk, meski ia bisa merasakan keraguan yang terlihat jelas dari sikap dinginnya. Maura, yang mendengar izin dari ibunya, langsung melompat kegirangan. “Yes! Nanti malam Maura tidur sama Ayah!” Dengan langkah cepat, ia berlari ke ruang tengah, meneriakkan kabar gembira itu kepada adik-adiknya, sementara Janu dan Gemintang tetap berdiri dalam kesunyian yang canggung. "Kamu berubah pikiran?" Janu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Gemintang tidak segera menjawab. Ia menatapnya sejenak, ekspresinya tetap datar, dingin, penuh jarak. “Jangan salah paham,” ucapnya akhirnya, nadanya pelan tapi tegas. “Aku hanya tidak mau Maura kecewa.” Janu mengangguk pelan, menahan perasaan perih yang menjalar di dadanya. Ia sudah terbiasa dengan dinding tebal yang istrinya bangun sejak mereka berpisah. Tapi di balik semua itu, Janu tetap menghargai kesempatan ini. Kesempatan untuk bisa bersama anak-anaknya, meski hanya
Read more

BAB 123 — SALAH MENILAI?

Setelah mengatakan itu kepada Bu Ningrum, Janu perlahan melangkah masuk ke dalam rumah Gemintang. Begitu masuk, Maura langsung menyambutnya dengan wajah ceria, sementara Kinara dan Keenan berlarian di sekelilingnya dengan antusias. Mereka tak henti-hentinya mengajak Janu bermain.“Ayah! Main lagi dong!” teriak Kinara sambil melompat-lompat di sofa.Janu tersenyum, meski lelah mulai menjalari tubuhnya. Ia tidak ingin mengecewakan anak-anak. “Oke, tapi sebentar ya, habis itu kalian harus mandi,” katanya menanggapi Kinara sambil melirik ke arah Gemintang yang sedang mempersiapkan makan malam di dapur.Anak-anak terus bermain dengan penuh tawa dan kebahagiaan, menciptakan suasana hangat yang jarang dirasakan di rumah itu belakangan ini. Janu, meskipun kelelahan, ikut terlarut dalam keceriaan mereka. Setiap canda dan tawa yang keluar dari mulut si kembar dan Maura adalah pengingat betapa berharga momen-momen kecil ini.Hingga waktu berjalan begitu cepat. Gemintang melirik ke arah jam dindi
Read more

BAB 124 — TIDAK RELA

Setelah menghabiskan waktu bersama anak-anak seharian penuh, sore harinya Janu merasa saatnya tiba untuk berpamitan. Ada rasa tidak rela saat dia menarik koper dan tasnya ke ruang tengah. Terlebih ketika melihat anak-anaknya yang masih bermain dengan ceria. Maura duduk di meja kecilnya, asyik menggambar, sementara Kinara dan Keenan berlarian di sekelilingnya sambil tertawa riang.Janu berhenti sejenak, memperhatikan mereka. Kembali dia dilema. Ingin tetap tinggal bersama anak-anaknya, tetapi kenyataan memaksanya untuk pergi. Keharusan pekerjaan dan tanggung jawab lain menuntut kehadirannya di tempat lain. Dengan helaan napas yang berat, Janu meniup udara dari bibirnya dan melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah.“Kamu sudah mau pergi?” tanya Gemintang yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Pandangannya sekilas menuju anak-anak yang masih belum menyadari kepergian ayah mereka.Janu mengangguk pelan. "Sebentar lagi, taksi online-ku datang."Gemintang mengerutkan kening, terlihat rag
Read more

BAB 125 — RAWAT INAP

Beberapa jam setelah kepergian Janu, suasana rumah kembali sepi. Anak-anak sudah tertidur, sementara Gemintang masih duduk di ruang tengah, cangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Matanya memandang kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban di luar sana.Bu Ningrum, yang sejak tadi mengamati putrinya dari sudut ruangan, perlahan mendekat. Ia tahu, sejak berpisah dengan Janu, meskipun Gemintang terlihat tegar di luar, ada pergulatan emosi yang tengah terjadi di dalam dirinya."Gemintang," panggil Bu Ningrum pelan. Wanita paruh baya itu duduk di sebelah putrinya, menyentuh bahunya dengan lembut. “Ini sudah larut, kenapa belum istirahat?”Gemintang mengangkat wajahnya ke arah ibunya, lalu menegakkan tubuhnya dan meletakkan cangkir di tangannya ke atas meja. "Aku... sedang tidak bisa tidur saja, Bu. Ibu sendiri, kenapa belum tidur?"“Ibu baru saja dari kamar mandi, baru mau tidur, tapi malah lihat kamu di sini. Ada apa, Gemintang? Ibu lihat kamu sedang memikirkan sesuatu,” tanya
Read more

BAB 126 — BERUBAH PIKIRAN

Sekitar dua puluh menit kemudian, Janu terbangun. Matanya perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali saat ia mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang menerangi ruangan bernuansa biru itu. Kepalanya terasa berat, namun jauh lebih baik daripada sebelumnya.Sayup-sayup, telinganya menangkap beberapa suara dari luar ruangan—percakapan perawat dan dokter yang terdengar samar, roda troli berderak di sepanjang lorong, serta langkah kaki yang lalu-lalang. Begitu menyadari sebuah infus terpasang di tubuhnya, Janu mendesah pelan. Ia paling benci berada di tempat seperti ini.“Kau sudah bangun?” tanya Manggala, segera berdiri dan membantu Janu yang mencoba duduk. “Apa yang kau rasakan? Sudah lebih baik?”Janu mengangguk sedikit, meskipun wajahnya masih menunjukkan ketidaknyamanan. “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya lalu melirik selang infus di tangan kirinya.“Lalu kau mau aku membawamu langsung ke pemakaman?” sindir Manggala kemudian. Pria itu mendengkus kesal, meski setelahnya
Read more

BAB 127 — GANTIKAN AKU

Janu terdiam sejenak, tarikan napas pria itu terdengar berat. Tatapannya beralih ke arah lain, mengamati setiap tetes cairan saline dari kantung infus yang mengalir perlahan menuju tubuhnya.Manggala masih menunggu, rasa penasarannya berbuih-buih, tetapi dia dia berusaha sabar menunggu jawaban dari sepupunya. Detik demi detik berlalu dalam hening.Ia tahu ada banyak hal yang ingin diutarakan oleh Janu, namun sepertinya lelaki itu memilih untuk menyimpan sebagian besar dalam hati.Akhirnya, Janu berbicara dengan suara serak dan nyaris tak terdengar, "Nanti saja. Kita bicara soal ini lain waktu." Matanya tetap tertuju ke dinding, menghindari tatapan Manggala.Manggala hanya bisa menghela napas pelan. Meski kecewa, dia memahami situasinya. "Kau bisa bicara kapan saja saat sudah siap. Kalau begitu, istirahatlah dulu. Aku akan ke kantin sebentar, beli kopi," ucapnya sambil bangkit perlahan dan meninggalkan ruangan.***Beberapa hari kemudian, meski telah mendapatkan perawatan intensif kond
Read more

BAB 128 — NYARIS PERCAYA

Ketika hari ulang tahun Maura tiba, suasana di rumah Gemintang yang berada di kawasan elite tampak sangat meriah. Sejak pagi, berbagai aktivitas persiapan memenuhi rumah besar itu. Beberapa orang terlihat sibuk mengangkut peralatan interior untuk dekorasi, sementara yang lain mempersiapkan makanan di dapur dan halaman belakang.Sejak semalam, rumah tersebut telah dipenuhi hiruk-pikuk persiapan pesta ulang tahun Maura yang ke delapan. Gemintang, yang tak ingin ada satu detail pun terlewatkan, bekerja sama dengan Aruna dan timnya. Mereka kompak bahu-membahu membantu memastikan segala sesuatunya berjalan sempurna.Gemintang mengamati hasil kerja mereka dengan senyum puas. Ia baru saja menempelkan balon terakhir yang membentuk rangkaian huruf nama Maura di atas meja kue. Pandangannya terhenti sejenak, menyadari betapa cepat waktu berlalu. Putri kecilnya kini telah genap berusia delapan tahun. Kenangan saat Maura masih bayi berkelebat dalam pikirannya, membuat hatinya dipenuhi rasa syu
Read more

BAB 129 — EMPAT MATA

Gemintang mempercepat langkahnya menuju pintu, mengikuti Maura yang lebih dulu berlari ke depan rumah. Jantungnya berdebar, berharap yang muncul adalah sosok Janu. Namun, begitu pintu terbuka dan dia melihat siapa yang keluar dari mobil, harapan itu langsung padam.Sementara Maura mengerutkan kening, rasa bingung jelas terlihat di wajahnya.Selain karena yang hadir bukanlah sosok yang ia harapkan, ia mencoba mengingat siapa lelaki yang wajahnya terasa tidak asing itu. Di sisilain, Manggala terdiam sesaat, tak menyangka jika Maura kini sudah tumbuh begitu besar. Tak heran, pikirnya, Janu berjuang keras demi anak perempuannya. “Hai, Maura!” sapa pria yang tengah mengenakan pakaian casual itu. Seperti biasa senyum ramah terbit di bibirnya. “Ini Uncle Gala, kamu masih ingat?” “Uncle Gala?” ulang Maura seraya menekuk dahinya. Manggala mengangguk. “Iya, sepupu Ayahmu, dulu sering main denganmu waktu kamu sebesar ini,” dia berkata lagi sembari menunjukkan tinggi Maura waktu berusia empat
Read more

BAB 130 — SELAMA INI ....

Manggala menatap map di tangannya sejenak sebelum menyerahkannya kepada Gemintang. "Baca saja. Janu meminta aku untuk memberikannya langsung kepadamu."Gemintang memandangi map warna-warni itu dengan rasa was-was. Tangan gemetarnya perlahan membuka tutup map, dan ia melihat setumpuk dokumen di dalamnya. Sepintas pandangannya menangkap sebuah kata yang membuat darahnya seakan berhenti mengalir: Surat Gugatan Cerai.Hatinya langsung mencelos, napasnya tercekat. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya menatap surat itu dengan tatapan tak percaya. Janu, suami yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini menyerahkan tanggung jawabnya begitu saja, tanpa penjelasan apa pun. Ia bahkan mempersilakan dirinya untuk menjadi penggugat."Lucu sekali," ucap Gemintang dengan suara serak, "dia memintamu ke sini untuk memberikan surat cerai ini? Dia bahkan tidak repot-repot datang sendiri untuk menceraikanku?”Mendengar tawa hambar Gemintang, Manggala mengepalkan tangannya erat. “Janu sudah menandatangani surat
Read more
PREV
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status