Semua Bab Neng Zulfa: Bab 81 - Bab 90
124 Bab
Part 7
Adhim baru selesai melakukan workout di apartemen yang ditinggalinya saat sebuah pesan masuk ke dalam ponsel canggih yang ia letakkan di atas salah satu meja sudut ruangan. Adhim melepas sarung tangan tinju yang baru ia gunakan untuk memukuli samsak tinju warna hitam yang menggantung di tengah ruang olahraga itu lantas menenggak air mineralnya setelah pergi mencari tempat duduk. Laki-laki berambut gondrong yang rambutnya kali ini tampak diikat menggunakan karet itu menyeka keringat yang ada di wajah, leher, dan lengannya dengan handuk kecil lalu meraih ponselnya dari meja dan menyalakannya. Sebuah pesan singkat datang dari saudara sepupunya, Shodiq Emir Bahauddin. Putra pakdenya yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya. Cak Shodiq: Gus Fatih hari ini stay di ndalem. Laki-laki itu menghela napasnya setelah membaca pesan itu. Tidak berniat membalasnya. Ndalem adalah sebutan lain untuk kediaman kiai, bu nyai beserta keluarganya di sebuah pondok pesantren. Dan yang disebut ole
Baca selengkapnya
Part 8
"Kenapa, Bang? Tumben, pagi-pagi lo udah nyuruh anak-anak ngumpul di basecamp?" Aldo yang baru sampai dengan beberapa orang laki-laki di belakangnya menghampiri Adhim yang tampak duduk dengan tangan terlipat di atas sebuah peti kayu yang ada di sebuah ruangan mirip gudang yang luasnya hampir menyerupai lapangan sepak bola itu. Ada sebuah arena kick boxing di salah satu sudut ruangannya dengan berbagai peralatan latihan bela diri, perkakas bengkel, meja-kursi, juga barang-barang lain di tempat yang Aldo sebut basecamp itu. Adhim tidak langsung menjawab. Ia membiarkan Aldo mencari tempat duduk di meja-kursi yang ada di sekitarnya bersama pemuda-pemuda yang lain lalu mulai bersuara. "Gue mau balik ke Kediri," katanya yang langsung membuat Aldo dan pemuda-pemuda yang datang bersamanya saling menatap dengan tatapan bingung. "Maksud lo, Bang?" Aldo bertanya mewakili semuanya. Adhim tersenyum simpul. "Gue mau balik ke Kediri karena ada urusan di rumah. Dan sekarang, tujuan gue ngumpuli
Baca selengkapnya
Part 9
Dua tahun yang lalu Tampilan sebuah layar plasma: Semua orang memiliki ketakutan terbesar masing-masing dalam hidupnya. Aku juga. Dan ketakutan terbesarku, adalah Mamaku. Bukan! Aku tidak benar-benar takut dengan Mama. Tapi aku merasa takut dengan kematiannya. Aku takut dengan apa yang menimpa Mama. Saat semua orang mengatakan Mama meninggal karena bunuh diri---bahkan Papa, laki-laki yang sangat dicintai Mama dan kepadanya Mama mengabdikan seluruh hidupnya, aku tidak mempercayainya. Aku tahu Mamaku. Dan Mamaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia adalah wanita paling baik yang pernah kutemui selama hidup. Mama yang cantik. Mama yang lemah lembut. Mama yang penuh kasih sayang. Mama yang penyabar. Mama yang perhatian. Mama adalah anugerah terbaik dari Tuhan yang pernah kupunya, juga terenggut dariku dengan begitu kejamnya. Hari itu usiaku masih tujuh belas tahun. Seorang siswi SMA. Hari di mana aku menemukan Mama sudah dalam kondisi tak bernyawa di kamarnya dengan tali ta
Baca selengkapnya
Part 10
June Aldrian Adams POV Melihat Pelita bersikap seolah ia baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit. Sekali lagi aku merasa telah gagal melindunginya, melindungi Pelita, perempuan yang kucinta. Firasatku sudah buruk sejak kemarin. Dan hal itu terbukti benar saat pagi-pagi sekali Pelita tidak bisa kuhubungi padahal ponselnya menyala. Ia mengabaikan telepon yang masuk dariku---sesuatu yang sangat jarang terjadi kecuali dirinya sedang sibuk pemotretan. Selama ini, Pelita akan selalu menjawab teleponku meski dirinya sedang meeting atau setidaknya mengirimiku pesan jika dirinya sedang mengikuti kelas di kampus. Dan pagi ini Pelita benar-benar mengabaikannya. Aku juga sempat menelepon Arina dan memintanya menelepon Pelita. Arina menjawab teleponku pada dering percobaan kelima dengan suara serak khas bangun tidur. Siapa tahu Pelita akan merespons temannya, tapi sama saja, Pelita juga tidak mengangkat telepon gadis bersurai kecokelatan hasil pewarna rambut itu. Tanpa membuang-bu
Baca selengkapnya
Part 11
June Aldrian Adams POV Seperti yang sudah kukatakan, melihat Pelita bersikap seolah dirinya baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit dan aku merasa gagal melindunginya. Menjaga Pelita, memastikannya bahagia dan baik-baik saja adalah tujuan hidupku sejak lama. Pukul 06.30, Pelita turun dari kamarnya di lantai dua dengan dandanannya seperti biasa setiap kami akan menemui klien. Jika tidak mengenakan dress panjang yang dilapisi jaket atau kardigan, Pelita biasanya memakai celana jins dengan atasan kemeja atau blus yang kadang juga dilapisi jaket. Dan kali ini, Pelita memakai opsi yang kedua. Ia memakai celana jins hitam dan kemeja kuning bergaris yang dipadukan kerudung cokelat muda. Make up tipis terpoles di wajah cantiknya yang menurutku lebih memesona saat tidak memakai make up dengan kacamata hitam yang bertengger sempurna di atas hidung. Kami duduk saling berhadapan di meja makan saat aku menyuruhnya memakan sarapan yang sudah kusiapkan. Setangkup sandwich isi sayuran
Baca selengkapnya
Part 12
[Den, Aden di mana? Ibu sama Bapak bertengkar lagi. Barang-barang di rumah banyak yang dilempar pecah.] Aldo menghela napas setelah membaca SMS yang masuk ke ponsel miliknya dari salah satu pembantu di rumahnya. Seperti biasa, orang tuanya kembali bertengkar. "Dan, gue pergi dulu, ya. Lagi ada urusan mendadak di rumah," katanya menepuk bahu Bondan yang duduk sambil mengunyah gorengan di sampingnya. Setelah melihat kepergian Adhim yang katanya pulang ke rumahnya di Kediri, Aldo, Bondan, dan beberapa pemuda lain yang mengaku tidak memiliki kegiatan sepakat meluncur ke warung Abah Suta untuk ngopi dan mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan selama Adhim yang notabenennya ketua klub motor mereka tidak ada. Khususnya membicarakan mengenai anak-anak yang tinggal di rumah singgah. Anak-anak itu adalah anak-anak jalanan yang ditolong Adhim dari kekejaman premanisme Bandung, anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki rumah dan kel
Baca selengkapnya
Part 13
"Pelita, di sini!" Seorang perempuan berambut panjang dikuncir dengan setelan jins biru tua dan kaos lengan pendek warna putih yang dilapisi kardigan rajut warna moka melambaikan tangan ke arah pintu masuk kafe begitu orang yang ditunggunya terlihat di pandangan. "Di sini, di sini!" ulangnya yang membuat beberapa pengunjung kafe yang lain menatap bergantian ke arahnya dan ke arah seseorang yang baru masuk ke dalam kafe. Keduanya terlalu eye chatching untuk tidak menarik perhatian. Pelita yang baru datang hanya mengulas senyum cerah, melambaikan tangan sebentar sebagai balasan kemudian berjalan ke arah Cecilia, perempuan berambut panjang dikuncir yang barusan menyerukan namanya. "Mbak Cecil, udah lama, ya?" tanyanya sembari menarik kursi untuk duduk. "Enggak. Baru aja. Tuh, mejanya masih kosong belum ada apa-apanya." Pelita memasang senyum lagi. "Oh, ya udah, Mbak. Aku pesenin min
Baca selengkapnya
Part 14
"Pulang kamu gimana? Aku antar, ya! Sekali-kali boleh lah mampir ke tempat kamu! Aku penasaran gimana selera tempat tinggal kamu." Pelita hanya terkekeh kecil menanggapi kata-kata yang dilontarkan Cecilia kepadanya. "Ayolah! Nggak akan nggak, aku nggak akan bocorin alamat kamu ke orang lain! Kita udah kerja sama selama dua tahun nerbitin buku. Tapi di data pribadi penulis yang kamu isi, alamat yang kamu sertakan selalu alamat kamu yang ada di Jogja. Kamu ... sebenarnya orang mana sih? Jogja, Jakarta, atau Bandung?" Pelita tertawa lagi dengan sedikit lebih keras. "Kalau bisa aku pengin liat KTP kamu secara langsung rasanya," tambah Cecil lagi. Yang diajak bicara Cecil kembali tertawa di balik kacamata hitam yang masih dikenakannya. "Buat apa sih, Mbak Cecil?" balas Pelita kemudian. "Aku itu seperti salah satu judul tetralogi novelnya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. Anggap aja gitu. Jadi tinggalku bis
Baca selengkapnya
Part 15
"Hufft ...." Pelita menghembuskan napas kasar.Ingatan itu masih terasa sangat baru di kepalanya. Seolah terjadi baru saja. Saat dirinya memutuskan pergi meninggalkan Jakarta setelah berselisih paham dengan Papa dan istri barunya lalu disusul June di Bandung.Pelita tidak menyangka jika sudah dua tahun lamanya waktu berputar sejak hari itu. Tapi dirinya masih sama dan belum bisa berdamai dengan masa lalu. Mungkin tidak akan pernah bisa.June mengemudikan mobilnya dalam diam di kursi kemudi yang ada di sebelah kanan Pelita. Tidak ada percakapan. Benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing yang sama-sama berkecamuk.Seberapa besar usaha Pelita untuk melupakan masa lalu, masa lalu itu selalu datang menghantuinya. Lagi dan lagi. Tidak peduli seberapa keras dirinya menyibukkan diri. Kuliah, modeling, menulis dengan beberapa akun sekaligus, mengolah channel YouTube dan mengelola Instagram. Masa lalu itu selalu menemukan celah untuk mengusiknya diam-d
Baca selengkapnya
Part 16
June dan keluarganya. Keluarga laki-laki itu adalah keluarga yang suka memberikan kebebasan. Robert Aldrian Adams dan Camelia Margareth, kedua orang tua June itu sama-sama orang yang berpikiran terbuka dan akan mendukung apa pun keputusan June yang mereka anggap baik dan bisa membahagiakannya. Mereka tidak pernah mengekang June meski laki-laki itu adalah anak tunggal---Itulah kenapa, June tidak ragu saat dirinya mengajak Pelita meninggalkan Indonesia dan hidup bersama di Australia dua tahun yang lalu, di negeri tempat Papanya dilahirkan. Sebab June tahu benar, orang tuanya akan mengizinkannya meski di awal mereka mungkin akan marah kepadanya karena ia yang mengambil keputusan sendiri dan secara tiba-tiba. Mereka bahkan tidak melarangnya saat June keluar dari UI dan pindah ke tempat kuliah Pelita di Bandung. Meninggalkan universitas ternama Indonesia dan memilih masuk swasta. Mereka merasa kecewa? Iya. Tapi kebahagiaan putra
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
13
DMCA.com Protection Status