Home / Pernikahan / Aku Bosan Menjadi Istrimu / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Aku Bosan Menjadi Istrimu: Chapter 21 - Chapter 30

32 Chapters

Minta Maaf

Tak disangka, Ibas pergi meninggalkanku begitu saja. Begitu marahkah dia, padaku? Harusnya, dia bisa mengerti perasaanku. Bukan hanya menilai, dari apa yang dilihatnya saja. Toh, aku juga tidak diam saja. Aku sudah berani mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. "Bas, mau ke mana?" kejarku.Dia tak menjawab, langsung menuju kamar Ibuk, lalu mengetuknya pelan.Tok tok"Buk, ini Ibas!" "Ibuk istirahat, Bas, jangan diganggu!" Ucapku dengan nada khawatir. Entah khawatir karena apa, aku juga bingung.Tanpa menunggu jawaban Ibuk, dia langsung mendorong pintu, seolah ini kamarnya sendiri. Aku mengekor di belakangnya, takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Benar saja, Ibuk terpejam. Tapi tidak, tangannya memegang tasbih. Mulutnya melantunkan asma Allah. "Buk, Ibas pamit. Ibuk sehat-sehat, ya!" pamitnya. Ibuk langsung membuka mata, seraya menatap heran kepada kami."Kenapa buru-buru?"Ibas hanya diam, seraya memandangku jengkel. Aku semakin kikuk dibuatnya."Jangan bilang, kalian s
Read more

Mendadak Diabetes

Ternyata Ibas. Dia sudah berdiri di ambang pintu, dengan rambut sedikit basah. Aroma parfum maskulin, menguar dari tubuhnya. Sepertinya sudah mandi, terlihat dari pakaiannya, juga sudah ganti. Kalau dipikir, ini belum ada satu jam, dan dia sudah kemari lagi. Memang ,rumahku dengan Ibas, berjarak hanya beberapa langkah saja. Jadi tak heran memang, dia secepat kilat sampai sini lagi."Sekarang sudah lepas Maghrib, jadi aku bebas kemari," ucapnya dibarengi senyum termanisnya."Duh, lama-lama bisa diabetes aku," gumamku."Kenapa, Rin?" "Gak, mau ngapain lagi, kamu?" tanyaku gugup."Mau ngajak kamu, sama Ibuk, makan malam di luar."Tanpa permisi, dia menyelonong masuk. Aku yang berdiri di ambang pintu, dianggapnya tidak ada."Gak sopan," sungutku, sambil mengimbangi langkahnya."Sejak kapan aku harus sopan sama kamu?" ejeknya, tak mau kalah. "Dasar, kepala batu!" "Dasar, cerewet!" "Ibaaaas..." geramku.Hendak kucubit perutnya, ,namun dia bisa dengan gesit menghindar. "Beginilah, kal
Read more

Wanita Lain

"Rini ...!" Haris sangat terkejut, begitu melihatku, bagai melihat setan di siang bolong. Ibuk dan Ibas tak kalah terkejutnya, melihat sepasang manusia ini. Tanpa malu, tangan si wanita, bergelayut manja di lengan Haris. "Haris," ucap Ibuk tak percaya, pada mantan menantunya, yang sudah menggandeng wanita lain. Haris terlihat sangat gelisah, melihat kami bertiga."Siapa dia, Mas?" tanya si wanita dengan nada dibuat-buat. Gaya manjanya, semakin membuatku muak.Ibas menatapku intens. Seperti sedang mencari kebenaran. Mungkin dia kira, aku cemburu dengan Haris. Salah. Dia salah besar. Hatiku sudah mati rasa dibuatnya. Bukan cemburu yang kurasa, namun, kecewa, ternyata Haris bersikap sangat rendah. Baru saja dia menduda, dengan gampangnya melabuhkan hatinya ke wanita lain. "Rin, aku bisa jelaskan," Haris setengah memaksa. Tangannya hendak memegang tanganku, dengan sigap, segera kutepis. "Aku tak butuh penjelasan. Yang kubutuhkan sekarang, hanya uangku. Jangan lupa kembalikan uangku."
Read more

Penggantiku

Setelah semua selesai, kami akhirnya memutuskan pulang. Kasihan juga Ibuk, kalau lama-lama di luar, terkena angin malam. Udang asam manis, yang belum habis tadi, jadi kami bungkus. Sesuai janji, Ibas yang membayarkan semuanya. Setelah membayar, kami beriringan menuju mobil Ibas, yang berjejer dengan mobil-mobil pengunjung lainnya. Pulangnya, kami lebih banyak diam, terutama aku, mungkin efek kekenyangan. Semuanya hening, larut dalam pikirannya masing-masing. "Gak mau turun?" Ibas membangunkanku. Ternyata tadi aku ketiduran, efek kekenyangan, mata juga ikut kelelahan."Mau kemana, kita?" kukucek mata, saat menoleh ke belakang, Ibuk sudah tidak ada."Ke rumah, lah, kemana lagi? Mau diajak ke pelaminan sekalian?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Apaan sih, gak lucu tahu," sungutku kesal. Orang tanya serius, malah diajak bercanda.Dengan menahan kantuk, akhirnya aku ikut turun, setelah pintu dibukakan oleh Ibas."Kenapa gak bilang dari tadi, kalau sudah sampe rumah?" aku menoyor ke
Read more

Maling

"Eh ...eh ..., kenapa perabotan anakku di maling?" Suara khas yang sangat kukenal, tiba-tiba masuk, diikuti anak perempuannya. Sontak, Bulik menghentikan aktivitasnya. "Rin, kamu cerai, mah, cerai aja, gak usah bawa-bawa barang anak saya!" cerocos Ibu mertua.Aku yang sudah kebal, tak terlalu menggubrisnya. Namun, Bulik terlihat agak takut, terlihat dari wajahnya, yang mulai pias."Nduk, bagaimana, ini?" tanya Bulik lirih. Aura ketakutan jelas sekali nampak dari wajahnya."Tenang Bulik, ada Rini." Aku mencoba menghiburnya, walau hatiku juga tidak tenang."Rin, jangan kurang ajar. Sudah minta cerai, sekarang malah maling di rumah suaminya," hardiknya."Iya, nih, Mbak. Jangan bikij malu!" Suci ikut menambahi.Seketika, aku begitu marah. Kuhentikan aktivitasku, lalu melangkah ke depan. Kuhampiri mereka berdua, dengan tangan masih memegang spatula. "Maaf Ibuk mertua yang terhormat, tolong disaring dulu, kalau mau berbicara. Anda sebagai orang tua, tentunya tahu, mana yang baik dan tidak
Read more

Ikhlaskan Uangmu

"Astaghfirullah, Ibuk!" Aku terkejut, melihat Ibuk limbung ke lantai. Suci dan Haris, sibuk mengangkat tubuh Ibuk yang bongsor. Mereka terlihat sangat kewalahan, karena tenaganya tidak seimbang. "Bulik, Ibuk pingsan," teriakku panik, di ambang pintu.Semua yang ada di rumah ini, langsung menuju kamar. Mereka berbondong-bondong, melihat keadaan Ibuk. "Nduk, tolong ambilkan minyak kayu putih!" perintah Bulik dengan nada cemas.Aku pun bergegas mencarinya, di tempat biasa aku meletakan. Meskipun hatiku masih sakit, atas ucapan Ibuk, namun aku juga masih punya hati. Biar bagaimanapun, sisi kemanusiaanku terketuk."Lama amat sih, Mbak," sungut Suci.Andai saja tidak dalam kondisi begini, sudah kujitak, kepalanya dari tadi. Mulutnya luwes sekali, kalau untuk mencari kesalahan orang lain. "Haris ..., Suci ...," ucap Ibuk pelan.Akhirnya beliau sadar juga, setelah Haris memberikan minyak kayu putih, tepat di bawah hidungnya."Ibuk mau minum?" tanya Haris. Dia begitu perhatian pada Ibunya.
Read more

Tidak Akan Bercerai

Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up
Read more

Profesi Alvin

Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju
Read more

Kerja Sama

"Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k
Read more

Balas Dendam

"Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status