Home / Pernikahan / Bukan Mauku jadi Madu / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Bukan Mauku jadi Madu: Chapter 1 - Chapter 10

24 Chapters

Bab 1

"Tolong, jadilah maduku!" ucap wanita berhijab di depanku. Matanya menatap lurus manik mataku. Kalimat yang sama sekali tidak aku duga bisa keluar dari bibirnya yang mungil itu. Aku menutup mulut, menatapnya tak percaya. Dia Salima, temanku saat SMA. Kami sudah lama tidak bertemu, pertemuan ini karena Salima yang mengajakku via chat di aplikasi hijau."Kamu jangan bercanda Sal, aku kesini buat ketemu kamu karena kangen, bukan buat dengerin omongan konyol kamu itu," jawabku tak terpengaruh ucapannya. Entah atas dasar apa dia bicara begitu padaku. Aku tak menanggapinya, melanjutkan makanku yang sempat terjeda oleh perkataan absurdnya. Hm ... ternyata enak juga makanan disini."Aku serius, Adinda ..." ucapnya lagi. Matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada kesungguhan pada matanya. Namun jika dia menangis, sudah pasti dia berbicara tentang sesuatu yang menyakiti hatinya bukan?"Kenapa kamu bicara gitu, Sal? Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu," timpalku lagi. Makanan buru
Read more

Bab 2

Seperti biasa hari ini, aku berjualan nasi uduk. Setiap pagi aku bangun pukul 2 pagi. Lalu pergi ke pasar, belanja bahan masakan untuk dimasak, karena pada jam itu, harga jual masih murah karena biasanya yang pergi belanja adalah para pedagang juga. Menu di nasi uduk cukup banyak, ada kentang balado, tempe orek, oseng bihun, kerupuk, dan juga nasi uduk yang tebuat dari santan. Itu adalah menu yang kumasak setiap harinya.Salima menagih jawabanku lewat aplikasi chat hijau, ia menanyakan kesanggupanku menjadi madunya, namun aku abaikan. Aku kembali menjalani rutinitasku sebagai penjual nasi uduk.Setelah kepergian Mas Arkan, mau tidak mau aku harus mencari nafkah sendiri. Orang tuaku sudah tua, Ayah hanya bekerja sebagai guru honorer yang bahkan gajinya saja hanya dibayar satu bulan sekali sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu sangat tidak cukup. Namun, ia tetap mengabdi menjadi pengajar meskipun gajinya sangat memprihatinkan. Saat menikah dengan Mas Arkan, beliau yang membantu perekon
Read more

Bab 3

"Gimana Din, kamu udah buat keputusan?" tanya Salima to the point begitu waiters telah pergi mengambil buku menu."Keputusanku masih sama seperti kemarin Sal, maaf banget." Aku menyatukan kedua tangan, memohon maaf pada Salima.Salima terlihat menghela napas dan menatapku dengan tatapan kekecewaan."Tapi Din, tolong pikirkan sekali lagi, poligami itu diperbolehkan dalam agama, mungkin banyak manfaat juga dengan menikahnya kamu dengan Mas Fahri, kamu tidak perlu bersusah payah lagi berjualan. Ekonomi keluargamu akan terbantu, dan yang paling penting, kamu akan menyelamatkan pernikahan sahabatmu ini. Aku mohon, tolong kamu pikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan."Salima menggenggam erat tanganku. Tatapannya penuh dengan permohonan. "Fahri, tak bisakah kamu membatalkan perjanjian itu? Bukannya aku mau ikut campur, tapi kalianlah yang menyeretku dalam permasalahan kalian.""Maaf Din, bukan maksudku membuatmu terlibat dalam masalah ini, aku sudah melakukan yang kubisa. Perjanj
Read more

Bab 4

"Assalamualaikum, Mas. Aku datang, aku minta maaf baru kesini lagi. Aku benar-benar kerepotan setelah kepergianmu Mas. Betapa bergantungnya aku padamu. Hampir saja aku hendak menyusulmu, Mas. Aku ..."Tidak sanggup lagi berbicara, aku menumpahkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Mengeluarkan semua rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Tenyata, aku masih begitu merindukannya."Aku mau cerita, Mas. Tapi tolong jangan marah ya, tentang apapun yang kukatakan. Tolong dengarkan dulu sampai tuntas."Setelah Menghela nafas, aku melanjutkan cerita."Kemarin aku bertemu teman SMA-ku, Salima namanya. Mungkin Mas pernah dengar aku sering menceritakannya dulu, dan kita pernah menghadiri pernikahannya tahun lalu. Namun ada hal yang belum pernah aku ceritakan padamu, Mas. Suaminya Salima, adalah mantanku saat SMA. Aku tidak pernah cerita karena takut menyakitimu. Tapi aku pastikan aku tidak pernah mengkhianatimu selama pernikahan kita. Kemarin, Salima datang padaku memintaku menjadi
Read more

Bab 5

Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama. Tok tok tok"Assalamu'alaikum ...""Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya."Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi. Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah
Read more

Bab 6

Bab 6Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut."Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal."Sa-salima
Read more

Bab 7

Sesak rasanya hatiku melihat Ayah yang tidak kunjung sadar, dokter bilang kepala Ayah terbentur. Namun tidak ada luka serius di kepalanya. Ayah hanya tertidur karena di beri obat penghilang rasa sakit. Tadi Ayah sempat berteriak kesakitan saat sedang diobati.Ibu masih setia duduk di sebelah ranjang Ayah sambil memegang tangan yang tidak diinfus. Pikiranku kacau karena memikirkan dari mana aku bisa dapat uang untuk mengurus rujukan Ayah ke Rumah Sakit Umum dan biaya lainnya untuk perawatan Ayah. Sedangkan Ayah sama sekali tidak punya asuransi kesehatan. Itu berarti, harus memakai biaya pribadi."Bu, aku keluar dulu sebentar. Mau shalat dzuhur. Kita shalat barengan yuk, Bu?" "Kamu duluan, nanti kalau sudah kesini ya, Ibu juga mau shalat.""Barengan aja sekarang, Bu.""Ibu takut Ayahmu bangun, tapi gak ada siapa-siapa. Ibu disini dulu aja, nanti shalatnya gantian." Tidak bisa memaksa,
Read more

Bab 8

"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
Read more

Bab 9

"Dinda ... Kamu serius mau jadi istri kedua?" tanya Ibu begitu aku mengutarakan niat Fahri yang akan datang melamar besok sore."Iyah, Bu.""Tunggu sebentar, bukankah Fahri itu yang kemarin kesini sama istrinya yang bernama, Salima?" Ayah ikut nimbrung diantara aku dan Ibu."Betul, Ayah.""Ya Allah Nak ... Mengapa kamu tega sekali? Kamu menikung temanmu sendiri yang meminjamkan uang untuk operasi Ayah?" sengit Ayah tidak terima.Aku menunduk, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Salima bilang, tidak boleh ada yang tahu bahwa aku menerima pernikahan ini karena menerima uang 30 juta. Lalu apa alasan yang paling tepat?"Salima yang memintaku Ayah, dia yang memaksa. Tapi tolong rahasiakan ini dari Fahri dan keluarganya karena mereka tidak tahu bahwa aku meminjam uang pada Salima.""Salima yang memintamu, benarkah?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.Aku mengangg
Read more

Bab 10

Bab 10"Kamu selalu cantik Adinda. Di mataku, kamu adalah wanita tercantik di dunia." Fahri memulai gombalannya. Aku hanya tersenyum karena teringat sikap ia yang sejak dulu memang jago menggombal."Bolehkah ... Malam ini, aku mencicipimu?" tanya Fahri sambil mengelus pipiku."Aku bukan kue!" jawabku akhirnya setelah menetralisir degup jantung.Fahri mengusap kepalaku dan membaca doa. Lalu ia menuntunku ke atas pembaringan. Aku tidak menolak karena ini adalah hak nya Fahri dan sudah kewajibanku untuk melayaninya.Tak kusangka, Fahri yang pendiam dan pemalu di luar bagaikan singa jantan jika di atas pembaringan. Aku kelelahan dibuatnya karena setelah selesai, ia mengambil wudhu lalu mendatangiku kembali seolah belum melakukan apapun tadi. "Maaf karena ini adalah pembalasanku padamu karena pernah meninggalkanku saat lagi sayang-sayangnya," terang Fahri saat ia telah selesai untuk yang kesekian kalinya
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status