Seperti biasa hari ini, aku berjualan nasi uduk. Setiap pagi aku bangun pukul 2 pagi. Lalu pergi ke pasar, belanja bahan masakan untuk dimasak, karena pada jam itu, harga jual masih murah karena biasanya yang pergi belanja adalah para pedagang juga. Menu di nasi uduk cukup banyak, ada kentang balado, tempe orek, oseng bihun, kerupuk, dan juga nasi uduk yang tebuat dari santan. Itu adalah menu yang kumasak setiap harinya.
Salima menagih jawabanku lewat aplikasi chat hijau, ia menanyakan kesanggupanku menjadi madunya, namun aku abaikan. Aku kembali menjalani rutinitasku sebagai penjual nasi uduk.Setelah kepergian Mas Arkan, mau tidak mau aku harus mencari nafkah sendiri. Orang tuaku sudah tua, Ayah hanya bekerja sebagai guru honorer yang bahkan gajinya saja hanya dibayar satu bulan sekali sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu sangat tidak cukup. Namun, ia tetap mengabdi menjadi pengajar meskipun gajinya sangat memprihatinkan. Saat menikah dengan Mas Arkan, beliau yang membantu perekonomian keluargaku. Mas Arkan memberi nafkah juga pada orang tuaku. Itulah salah satu hal yang membuatku semakin mencintainya.Ah, Mas Arkan ... Aku merindukanmu sungguh. Sebelum mulai berjualan, aku sempatkan untuk shalat tahajud, memohon pada Rabb Semesta Alam agar menghadiahi surga untuk Mas Arkan, dan juga memohon petunjuk atas permasalahan yang sedang kuhadapi.Ibu membantuku memasak dan berjualan. Sekarang, aku hanya tinggal dengan Ayah dan Ibu saja. Bagian warisanku dari Mas Arkan adalah motor yang kupakai untuk pergi ke pasar. Sedangkan sisanya, untuk keluarganya karena memang aku tidak punya anak dari Mas Arkan. Aku tidak menuntut apapun karena memang bukan warisan yang aku harapkan, tapi jiwanya. Separuh jiwaku seperti hilang saat dia dimakamkan. Beruntungnya aku, masih memiliki Ayah dan Ibu yang selalu mendukungku setiap saat, menguatkan dan menyadarkanku bahwa bukan hanya Mas Arkan yang menyayangiku, tapi mereka juga.Aku hanya punya satu kakak laki-laki, Mas Bram namanya. Mas Bram sudah menikah dan punya satu anak. Mereka tinggal di luar kota."Nak, ini kerupuknya sudah selesai digoreng, tolong bawakan wadahnya kesini," ujar Ibu yang membuyarkan lamunanku tentang Mas Arkan. Aku segera mengambil wadah kerupuk dan menyerahkannya pada Ibu. Lalu membawa piring berisi aneka menu untuk ditata di meja depan. Aku berjualan di depan rumah, karena kebetulan rumah orang tuaku terletak di pinggir jalan desa. Banyak dilalui orang terutama yang hendak pergi kerja dan belum sempat sarapan. Ibu membantuku karena aku seringkali keteteran dan kesiangan. Alhamdulillah sudah tiga bulan berjualan dan sudah punya pelanggan tetap. Aku berjualan dari pukul 5 pagi, dan biasanya sudah habis saat pukul 10 pagi."Teh, beli dong 2 bungkus, sambelnya dipisah ya," ucap pembeli pertamaku. Aku yang belum selesai persiapan segera buru-buru dan mempersiapkannya."Oke, tunggu sebentar ya, baru buka banget ini. Duduk dulu ya," jawabku sambil menyiapkan pesanan.Setelah itu, para pembeli lain mulai berdatangan, mulai dari anak sekolah, para buruh pabrik, petani, bahkan kuli bangunan pun sarapan disini. Alhamdulillah katanya nasi uduk buatanku enak dan harganya juga ramah di kantong. Sampai jam sembilan, daganganku ludes tak bersisa. Aku segera membereskan semua wadah dan bersiap untuk istirahat. Lelah sekali rasanya.***Tok tok tok"Adinda, bangun nak," ucap Ibu dari luar pintu. Aku segera terbangun mendengar ketukan dari luar. Kemudian aku mengecek jam lewat ponsel, ternyata pukul 2 siang."Iya Bu, kenapa Bu? Dinda udah shalat dzuhur ko tadi," jawabku yang masih meringkuk di kasur. Biasanya Ibu membangunkanku untuk shalat."Ada tamu Nak, temui dulu. Pakai kerudungnya," ucap Ibu lagi.Tamu? Perasaan aku tidak janjian dengan siapapun. Apakah keluarganya Mas Arkan yang datang kesini?Aku segera bangun dan pakai kerudung. Kebetulan daster yang kukenakan ukurannya panjang dan menutup aurat, jadi tidak perlu berganti baju. Aku segera keluar hendak menemui tamu yang dimaksud Ibu.Tak kusangka, mereka sekarang ada di ruang tamu rumahku. Orang yang sedang kuhindari, sedang duduk di ruang tamu bersama Ayah. Fahri dan istrinya, Salima."Dinda, sini kok malah bengong disitu? Temui dulu, katanya mereka temanmu saat SMA. Sini duduk," ajak ayah padaku. Ia menggeser duduknya agar aku bisa duduk di sebelah Ayah. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Fahri sedang menatapku, ketika aku balas menatapnya, ia langsung menunduk. Harus kuakui ada gelenyar aneh saat aku melihatnya. Bagaimanapun, Fahri dan aku pernah bersama meskipun itu hanya di masa lalu.Ingin kabur rasanya melihat mereka karena aku sudah tahu apa niat mereka kesini. Namun, Ayah dan Ibu sepertinya senang dengan kehadiran mereka. Aku segera duduk di samping Ayah sambil menundukkan pandangan."Ini katanya mereka temanmu, kok malah diam gitu sih, biasanya juga cerewet," ucap Ayah dengan tatapan herannya."Yaudah, mungkin kalian canggung karena ada Ayah disini, Ayah tinggal dulu ke belakang kalau begitu ya, mau bantuin Ibu masak dulu, diminum dulu tehnya.""Iya terima kasih Om," jawab Salima dengan sopan.Ayah bangkit dari kursinya dan meninggalkan kami bertiga."Mau apa kalian kesini?" ucapku dengan nada setengah berbisik. Aku takut Ayah dan Ibu mendengar pembicaraan kami."Kami hanya ingin bersilaturahmi denganmu Din, masa tidak boleh?" jawab Salima. Dia tersenyum menatapku."Aku sudah tahu niat kalian, tolong jangan ganggu hidupku. Aku sudah cukup menderita setelah ditinggal Mas Arkan, jangan tambah lagi permasalahan kalian dalam hidupku," jawabku masih dengan nada rendah. Sepertinya bukan hal yang tepat membicarakan ini di rumah. Aku takut Ayah dan Ibu mendengarkan pembicaraan kami."Tolong jangan disini, aku tidak ingin Ayah dan Ibu terlibat lebih jauh dengan kalian."Fahri hanya diam saja tak menimpali pembicaraan kami. Bahkan dia terlihat seperti orang yang kebingungan."Kami kesini dengan niat baik Dinda ... kami hanya ingin bersilaturahmi dengan Ayah dan Ibu. Apa itu salah?" tutur Salima masih dengan nada yang tenang."Ayo kita cari tempat aja kalo gitu, kalo di cafe gimana?" tanya Salima padaku."Baiklah, tunggu aku bersiap dulu sebentar," aku segera ke kamar dan berganti baju secepatnya, karena takut mereka menunggu lama. Aku menyiapkan mental dan bertekad untuk menolak permintaan Salima yang kemarin. Aku tidak ingin terlibat dengan rumah tangga mereka. Setelah berganti baju, aku menemui Salima dan Fahri yang masih duduk di ruang tamu."Loh, Dinda mau kemana? Kan lagi ada tamu masa ditinggal pergi?" tanya Ayah yang melihatku sudah berganti baju dan membawa tas kecil."Aku mau pergi sama mereka kok, mau ke cafe biar enak ngobrolnya," jawabku pada Ayah, "kita berangkat dulu," ucapku sambil berpamitan pada Ayah."Oh iya hati-hati ya, Nak," ucap Ayah sambil tersenyum. Fahri dan Salima juga ikut berpamitan dengan Ayah.Kami lekas menaiki mobil yang dibawa Fahri. Aku duduk di belakang, sedangkan Salima duduk di samping Fahri."Apa kabarmu, Dinda?" tanya Fahri memecah keheningan diantara kami."A-aku baik Alhamdulillah," entah mengapa, tiba-tiba aku gugup. Tolonglah hati, jangan bergetar dengan apapun yang Fahri lakukan. Aku masih mencintai Mas Arkan, tidak boleh ada siapapun yang menggantikannya. Titik!"Kamu sekarang berjualan, Din?" tanya Salima."Ya, aku jualan nasi uduk, dari ba'da subuh sampai habis, kalo tadi jam sembilan juga udah habis.""Wah hebat kamu Din, laris ya dagangnya." Salima menatapku lewat kaca depan, entahlah aku merasa ada maksud lain dalam setiap tatapannya itu.Setelah sampai di cafe kami segera memilih tempat duduk. Aku duduk di samping Salima yang berhadapan dengan suaminya."Sebelum memulai, baiknya kita pesan dulu, biar lebih enak ngobrolnya." Fahri menyerahkan buku menu pada Salima."Ayo pesan apa, Din?" tanya Salima padaku. Sungguh, aku sangat tidak nyaman disini, berada diantara mereka, berasa jadi orang ketiga."Aku pesan minum aja deh, ini milky strawberry," kataku sambil menunjuk salah satu menu."Kamu masih gak berubah dari dulu ya, masih suka sama milky strawberry," ucap Fahri tiba-tiba yang membuatku salah tingkah. Aku menoleh ke arah Salima, merasa bersalah. Aku tidak menanggapi ucapan Fahri. Sedangkan Salima, tatapannya berubah tajam pada suaminya.***"Gimana Din, kamu udah buat keputusan?" tanya Salima to the point begitu waiters telah pergi mengambil buku menu."Keputusanku masih sama seperti kemarin Sal, maaf banget." Aku menyatukan kedua tangan, memohon maaf pada Salima.Salima terlihat menghela napas dan menatapku dengan tatapan kekecewaan."Tapi Din, tolong pikirkan sekali lagi, poligami itu diperbolehkan dalam agama, mungkin banyak manfaat juga dengan menikahnya kamu dengan Mas Fahri, kamu tidak perlu bersusah payah lagi berjualan. Ekonomi keluargamu akan terbantu, dan yang paling penting, kamu akan menyelamatkan pernikahan sahabatmu ini. Aku mohon, tolong kamu pikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan."Salima menggenggam erat tanganku. Tatapannya penuh dengan permohonan. "Fahri, tak bisakah kamu membatalkan perjanjian itu? Bukannya aku mau ikut campur, tapi kalianlah yang menyeretku dalam permasalahan kalian.""Maaf Din, bukan maksudku membuatmu terlibat dalam masalah ini, aku sudah melakukan yang kubisa. Perjanj
"Assalamualaikum, Mas. Aku datang, aku minta maaf baru kesini lagi. Aku benar-benar kerepotan setelah kepergianmu Mas. Betapa bergantungnya aku padamu. Hampir saja aku hendak menyusulmu, Mas. Aku ..."Tidak sanggup lagi berbicara, aku menumpahkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Mengeluarkan semua rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Tenyata, aku masih begitu merindukannya."Aku mau cerita, Mas. Tapi tolong jangan marah ya, tentang apapun yang kukatakan. Tolong dengarkan dulu sampai tuntas."Setelah Menghela nafas, aku melanjutkan cerita."Kemarin aku bertemu teman SMA-ku, Salima namanya. Mungkin Mas pernah dengar aku sering menceritakannya dulu, dan kita pernah menghadiri pernikahannya tahun lalu. Namun ada hal yang belum pernah aku ceritakan padamu, Mas. Suaminya Salima, adalah mantanku saat SMA. Aku tidak pernah cerita karena takut menyakitimu. Tapi aku pastikan aku tidak pernah mengkhianatimu selama pernikahan kita. Kemarin, Salima datang padaku memintaku menjadi
Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama. Tok tok tok"Assalamu'alaikum ...""Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya."Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi. Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah
Bab 6Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut."Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal."Sa-salima
Sesak rasanya hatiku melihat Ayah yang tidak kunjung sadar, dokter bilang kepala Ayah terbentur. Namun tidak ada luka serius di kepalanya. Ayah hanya tertidur karena di beri obat penghilang rasa sakit. Tadi Ayah sempat berteriak kesakitan saat sedang diobati.Ibu masih setia duduk di sebelah ranjang Ayah sambil memegang tangan yang tidak diinfus. Pikiranku kacau karena memikirkan dari mana aku bisa dapat uang untuk mengurus rujukan Ayah ke Rumah Sakit Umum dan biaya lainnya untuk perawatan Ayah. Sedangkan Ayah sama sekali tidak punya asuransi kesehatan. Itu berarti, harus memakai biaya pribadi."Bu, aku keluar dulu sebentar. Mau shalat dzuhur. Kita shalat barengan yuk, Bu?" "Kamu duluan, nanti kalau sudah kesini ya, Ibu juga mau shalat.""Barengan aja sekarang, Bu.""Ibu takut Ayahmu bangun, tapi gak ada siapa-siapa. Ibu disini dulu aja, nanti shalatnya gantian." Tidak bisa memaksa,
"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
"Dinda ... Kamu serius mau jadi istri kedua?" tanya Ibu begitu aku mengutarakan niat Fahri yang akan datang melamar besok sore."Iyah, Bu.""Tunggu sebentar, bukankah Fahri itu yang kemarin kesini sama istrinya yang bernama, Salima?" Ayah ikut nimbrung diantara aku dan Ibu."Betul, Ayah.""Ya Allah Nak ... Mengapa kamu tega sekali? Kamu menikung temanmu sendiri yang meminjamkan uang untuk operasi Ayah?" sengit Ayah tidak terima.Aku menunduk, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Salima bilang, tidak boleh ada yang tahu bahwa aku menerima pernikahan ini karena menerima uang 30 juta. Lalu apa alasan yang paling tepat?"Salima yang memintaku Ayah, dia yang memaksa. Tapi tolong rahasiakan ini dari Fahri dan keluarganya karena mereka tidak tahu bahwa aku meminjam uang pada Salima.""Salima yang memintamu, benarkah?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.Aku mengangg
Bab 10"Kamu selalu cantik Adinda. Di mataku, kamu adalah wanita tercantik di dunia." Fahri memulai gombalannya. Aku hanya tersenyum karena teringat sikap ia yang sejak dulu memang jago menggombal."Bolehkah ... Malam ini, aku mencicipimu?" tanya Fahri sambil mengelus pipiku."Aku bukan kue!" jawabku akhirnya setelah menetralisir degup jantung.Fahri mengusap kepalaku dan membaca doa. Lalu ia menuntunku ke atas pembaringan. Aku tidak menolak karena ini adalah hak nya Fahri dan sudah kewajibanku untuk melayaninya.Tak kusangka, Fahri yang pendiam dan pemalu di luar bagaikan singa jantan jika di atas pembaringan. Aku kelelahan dibuatnya karena setelah selesai, ia mengambil wudhu lalu mendatangiku kembali seolah belum melakukan apapun tadi. "Maaf karena ini adalah pembalasanku padamu karena pernah meninggalkanku saat lagi sayang-sayangnya," terang Fahri saat ia telah selesai untuk yang kesekian kalinya
Bab 24Kedatangan Ibu Mertua“Eh, Ibu. apa kabar, Ibu sehat?” tanyaku menepis rasa gugup yang mendera. Ibu masih bergeming dan tak menjawab sapaan dariku. Ia masih menatapku tajam dan menelisik dari atas sampai bawah. Ia juga seperti sedang mengamati sekitar rumah.Aku meneguk ludah, lalu membungkuk dan mencoba meraih tangannya ingin mencium tangannya. Namun, Mama langsung menepis tanganku dengan kasar. “Jangan sentuh tanganku, pelakor!”Aku mengelus dada sambil beristigfar dalam hati. Andaikan ada Mas Fahri disini, mungkin aku tak akan mati kutu seperti sekarang ini. Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Bu Halimah. Harusnya ini semua dilakukan oleh Mas Fahri.“Mas Fahri sedang tak ada di rumah, Bu. Sedang di luar kota.” Aku berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan darinya.“Saya tahu. Makanya saya kesini, mau lihat seperti apa sosok wanita yang menggoda anakku untuk melakukan poligami, dan menjadikannya anak durhaka dalam sekejap. Sama sekali aku tak diunda
Bab 23Kembali ke Masa KiniAku sudah memasukkan kembali baju ke dalam koper. Tak banyak barangku disini, hanya sebuah koper yang aku bawa saat pertama datang.“Sudah selesai packingnya?” tanya Mas Fahri sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar.“Sudah Mas,” jawabku sambil berdiri dan menyeret koper.Mas Fahri langsung mengambil alih koper itu dari tanganku, “Mas aja yang bawa.”“Makasih sayang,” gumamku pelan. Menjadi istrinya masih seperti mimpi saja. Mas Fahri langsung berhenti melangkah dan berbalik menatapku.“Bilang apa tadi, merdu banget dengernya,” katanya. Dia tertawa sambil terus menatapku.Aku hanya menggelengkan kepala dan mendorong punggungnya dari belakang agar dia mempercepat langkah. Masih banyak yang harus kami lakukan hari ini.Setelah semua barang masuk ke dalam mobil, aku menghampiri Salima yang sedang berdiri di dekat pintu.“Makasih banyak ya, Sal sudah diizinkan tingga
Bab 22Pov SalimaBeberapa hari sebelum pernikahan Adinda-FahriAku sudah menyiapkan surat perjanjian berisi pernyataan bahwa Adinda hanya akan menjadi istri simpanan dan harus menyembunyikan pernikahannya di depan umum. Dan perjanjian kedua berisi kerahasiaan perjanjian yang harus dijaga agar Fahri jangan sampai tahu. Jika ada yang melanggar maka konsekuensinya adalah membayar denda sebesar 100 juta rupiah. Entah kapan Adinda menandatangani kertas ini, namun aku harus menyiapkan segala kemungkinan.Aku puas melihat isi perjanjian itu. Tentu saja sudah kupikirkan dengan matang apa yang akan kulakukan kedepannya. Aku bukan lagi Salima yang hanya mendamba cintanya Fahri. Namun aku akan tetap menjadi orang ketiga yang ada dalam hubungan mereka, dan memastikan sendiri mereka tidak akan bahagia karena cinta mereka telah membuat hidupku merana.Setelah kemarin menemui Adinda dan menawarkan Adinda agar menjadi adik maduku, ternyata Adinda menola
Bab 21Salima menunggu dengan sabar setiap harinya. Sebentar lagi adalah jadwal menstruasinya. Dia mendadak gelisah karena sangat berharap datang bulan itu tak akan datang. Salima bahkan sudah menyiapkan beberapa buah testpack yang akan segera dipakai jika sudah melewati masa menstruasinya.Setelah melewati satu minggu setelah masa datang bulannya terlewat, Salima memantapkan hati untuk menggunakan salah satu testpacknya. Setelah beberapa menit menunggu, dia melihat hasilnya ternyata … negative.“Apa aku belum ditakdirkan memiliki anak dari Mas Fahri?” Salima membatin dalam hatinya.Hatinya dilanda cemas luar biasa, bagaimana tidak, kehadiran anak tentunya akan berdampak besar akan kelanjutan hubungan antara dia dengan Fahri. Salima tidak rela jika dia harus bercerai dengan Fahri setelah satu tahun. Fahri adalah tipe suami idaman Salima yang tak akan pernah dilepas begitu saja.Dan hari berlalu dengan cepat. Fahri bersikap dingin seperti sedia kala. Tidak ada malam panas yang terulang
Pihak laboratorium mengatakan jika sample yang diberikan oleh Fahri sudah berhasil diidentifikasi. Fahri segera pergi ke lab untuk mengecek langsung. Petugas lab mengatakan jika botol itu mengandung ramuan herbal yang berfungsi sebagai obat perangsang dan obat kuat. Fahri mengepalkan tangannya mendengar pemberitahuan itu. Dia merasa dicurangi karena tak diberi tahu apapun mengenai obat itu sebelumnya.Fahri langsung memacu mobilnya untuk pulang ke rumah. Sudah dua hari sejak kejadian itu, dia tak pulang ke rumah dan bermalam di kantornya. Tentu saja dia masih marah pada dirinya sendiri karena melanggar janji yang sudah dia ucapkan.Tok tok tokFahri langsung mengetuk pintu dengan keras. Amarahnya telah berada di level puncak. Dan dia harus segera meluapkannya.Beberapa saat kemudian, Salima membukakan pintu. Tangan Salima terlipat di dada. Tentu saja dia kesal. Fahri dua hari tak pulang, dan sekarang mengetuk pintu dengan tak sabaran. Apa maksudnya?“Masih ingat jalan pulang ternyata?
Bab 19Mencari DalangFahri telah sampai di laboratorium, dia segera menyerahkan botol itu kepada petugas. Lalu mereka memintanya untuk kembali lagi nanti jika hasilnya sudah keluar. Petugas meminta Fahri untuk menuliskan nomor ponsel agar mudah dihubungi.Fahri berjalan gontai memasuki mobilnya. Ia memukul stir berkali-kali sebagai bentuk meluapkan amarahnya. Pikirannya kacau sekarang. Bagaimana jika sampai Salima hamil anaknya? Sudah pasti tak akan ada masa depannya bersama Adinda.“Semoga perbuatanku yang semalam tidak menghasilkan anak,” harapnya dalam hati. Fahri bertekad, mulai sekarang ia akan lebih berhati-hati terhadap apapun yang diberikan Salima. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan memakan atau meminum sesuatu yang dibuat oleh tangan Salima lagi.“Mulai sekarang, kamu tak perlu lagi menyiapkan makanan untukku, siapkan saja untuk dirimu sendiri. Aku akan makan diluar mulai hari ini.” Fahri mengirimkan pesan itu pada nomor Salima.Lalu Fahri menghidupkan mobilnya dan
Malam penuh gairahFahri menatap Salima dengan dahi berkerut, tak biasanya Salima mengetuk pintu kamar malam-malam. Lalu pandangannya tertuju pada botol yang digenggam oleh Salima.“Ada apa?” tanya Fahri ketus.“Ini, ada titipan dari Ibu, katanya bagus buat stamina,” jawab Salima sedikit berbohong. Maksudnya mungkin, bagus untuk stamina pengantin baru di malam pertama. Salima tertawa dalam hati.“Minuman apa ini? Bukan yang aneh-aneh kan?” Fahri menelisik botol. Tidak ada bacaan komposisi atau apapun. Sepertinya ini minuman racikan.“Masa Mas Fahri curiga sama Ibu sendiri? Kata Ibu harus habis diminum malam ini, kalau besok udah basi. Terserah mau diminum atau enggak, aku hanya menyampaikan amanat.” Salima berbalik dan masuk ke kamarnya. Ia tidak boleh terlihat menunggu dan berharap Fahri meminum itu. Bisa membuat Fahri curiga.Salima masuk ke kamar dan berniat meminum botol satunya lagi, Bu Halimah bilang jika botol itu untuk mereka berdua, biar gairahnya sama-sama meningkat. Namun
Kedatangan Bu HalimahFahri dan Salima memutuskan untuk pulang ke rumah sore hari. Meskipun villa yang dipesan Bu Halimah masih tersisa satu hari lagi, namun mereka mengabaikan itu. Untuk apa berduaan di tempat romantis jika mereka berdua bukanlah sepasang suami istri sungguhan. Fahri langsung membawa Salima ke rumah miliknya, rumah yang sudah dibeli Fahri dari hasil kerja kerasnya.“Ini kamar kamu,” ujar Fahri sambil menunjuk pada salah satu kamar yang terletak di tengah rumah.“Maksudnya, kamar kita?” tanya Salima yang tak mengerti maksud Fahri.“Disini kita pisah kamar aja, biar kejadian semalam gak terjadi lagi. Kalau kamu sampai rayu aku lagi, maka kita akan bercerai lebih cepat dari yang kamu duga.” Tatapan mata Fahri menghunus tajam pada Salima, membuat Salima sedikit ciut. Padahal ia sudah merencanakan banyak hal untuk merayu Fahri lagi.“Jangan geer!” jawab Salima pura-pura tak acuh. Ia masuk ke kamar dan membereskan barang-barang yang dibawanya. Padahal sebenarnya ia ketar-k
Bab 16Malam Pertama yang MenyedihkanFahri masih bergeming, tak mengeluarkan suara sedikitpun. Sedangkan Salima masih setia menunggu reaksi Fahri. Salima mulai merasa dingin karena busana minimalisnya. Ia masih mencoba tetap tersenyum sambil menunggu reaksi suaminya.Fahri mengerjapkan matanya. Ia mulai mengumpulkan kesadaran dan menekan hasratnya kuat-kuat. Ia tak boleh tergoda dengan rayuan Salima. Bagaimana jika nanti Salima hamil anaknya? Tentu saja ia tak akan bisa meninggalkan anaknya begitu saja.“Kamu mau apa?” tanya Fahri ketus seolah ia sama sekali tak tertarik dengan pemandangan indah di depan matanya. Kulit mulus Salima terekspos di banyak tempat. Fahri berusaha sebaik mungkin hanya menatap matanya Salima, bukan ke tempat lain yang lebih menggoda untuk dilihat.“Aku mau melaksanakan kewajiban sebagai istri, dan juga meminta hak sebagai istri tentu saja.” Salima berusaha sebaik mungkin memaparkan alasan. Ia tak boleh kalah terus dari Fahri. Ia sudah berjanji pada Bu Hali